Namaku
Milea. Milea Adnan Hussain. Jenis kelamin perempuan, dan tadi baru selesai
makan jeruk. Nama belakangku, diambil dari nama ayahku. Seseorang yang aku
kagumi, dan dia adalah TNI Angkatan Darat yang bertugas di Kodiklat. Dia lahir
di Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat.
Sejak
kecil aku tinggal di Jakarta, yaitu di daerah kawasan Slipi. Tahun 1990 ayahku
dipindah tugas ke Bandung, sehingga ibuku, aku, adik bungsuku, pembantuku, dan
semua barang-barang di rumah pun jadi pada ikut pindah.
Rumahku,
yang di Buah Batu, adalah milik Kakekku, Bapak Abidin, yaitu ayah dari ibuku.
Tapi Kakek sudah meninggal pada bulan Mei tahun 1989. Di rumah itu, jadi cuma
ada nenek, karena ibuku adalah anak tunggal.
Khabar
bahwa kami mau pindah ke Bandung, membuat nenek sangat senang dan meminta kami
untuk tinggal di rumahnya. Tapi sayang, tahun 1990, kira-kira sebulan sebelum
pindah, nenekku meninggal dunia.
Rumah
yang berukuran type 70 itu, kemudian jadi milik ibuku sepenuhnya. Ada halaman
di depannya, meskipun ukurannya tidak luas, tapi cukup. Tempat tumbuh berbagai
bunga dan satu pohon jambu, yaitu jambu batu, yang ibuku suka kesel kalau sudah
mulai banyak ulatnya.
2
Aku
juga pindah sekolah, ke SMA Negeri yang ada di Bandung. Bagiku, itu adalah
sekolah yang paling romantis sedunia, atau kalau enggak, minimal se-Asia lah.
Bangunannya sudah tua, peninggalan Belanda, tapi masih bagus karena keurus.
Ada
tumbuh pohon besar di halaman sekolah. Cabangnya banyak dan bagus kalau dilihat
senja hari, dan juga siang, kalau mendung, dan juga pagi, kalau mau. Sebagian
orang percaya pohon itu berhantu, tapi aku gak takut, kecuali kalau harus tidur
sendirian malam hari di situ.
Dulu,
jalan di depan sekolahku, cuma jalan biasa, lebarnya kira-kira tiga meter dan
belum banyak kendaraan yang lewat, termasuk angkot. Sehingga untuk bisa sampai
di sekolah, aku harus mau berjalan sepanjang kira-kira 200 meter, yaitu setelah
aku turun dari angkot di daerah pertigaan jalan itu.
Sekarang
jalan itu, sudah berubah, sudah jadi jalan raya yang dipadati oleh banyak
kendaraan. Dulu, motor juga belum banyak. Hanya beberapa orang saja yang pake.
Sebagian besar bepergian dengan angkot atau bemo.
Rasanya,
waktu itu, Bandung masih sepi, belum begitu banyak orang. Setiap pagi masih
suka ada kabut dan hawanya cukup dingin, seperti menyuruh orang untuk memakai
sweater atau jaket kalau punya.
Selain
romantis, sekolah itu adalah tempat yang banyak menyimpan kenangan. Terutama menyangkut dengan
seseorang yang sangat aku cintai, yang pernah selalu mengisi hari-hariku di
masa lalu, yang malam ini, ingin kuceritakan kepadamu.
Akan
aku tulis semuanya sesuai dengan apa yang terjadi, meskipun tidak begitu
detail, tapi itulah intinya. Ada nama tempat dan nama orang yang sengaja
kusamarkan, untuk tidak merembet menjadi suatu persoalan dengan pemilik tempat
dan orang yang bersangkutan.
Semua,
akan kutulis dengan menggunakan cara si dia di dalam bergaya bahasa. Entah gaya
apa, pokoknya, kalau dia bicara pun, bahasa Indonesianya cenderung agak baku.
Kedenger sedikit tidak lazim, seperti bahasa melayu lama yang biasa digunakan
oleh Sutan Takdir Alisyahbana. Tapi itu bukan hal yang harus dipersoalkan, ini
cuma sekedar agar bisa sekaligus mengenang khas dari dirinya.
Sebelumnya,
aku mau cerita dulu di mana posisiku sekarang. Malam ini aku sedang di ruang
kerjaku bersama hot lemon tea dan lagu-lagu Rolling Stones, di kawasan Jakarta
Pusat, di rumah yang aku tempati bersama suamiku sejak tahun 1997.
Malam
ini, tanggal 11 September tahun 2010. Anakku sudah tidur. Dia lelaki dan masih
berusia 10 tahun. Sedangkan suamiku, dia belum pulang, katanya ada kerjaan
kantor yang membuat dia harus lembur.
Mari
kita mulai, dan inilah ceritanya:
3
Pagi
itu, di Bandung, pada bulan September, tahun 1990, setelah turun dari angkot,
aku jalan menuju sekolahku sebagaimana yang lainnya yang juga sama begitu.
Bedanya, aku jalan sendirian, yang lain ada yang berdua atau lebih.
Dari
arah belakang, aku mendengar suara motor. Suaranya agak berisik dan yang bisa
kuingat di masa itu, belum begitu banyak siswa yang pergi sekolah dengan
memakai motor.
Ketika
motor itu sudah mulai sejajar denganku, jalannya melambat. Seperti sengaja
ingin menyamai kecepatanku berjalan. Pengendaranya menggunakan seragam SMA
Meskipun
saat itu banyak orang yang pada mau pergi sekolah, aku tetap waspada, kuatir
barangkali dia mau berbuat buruk kepadaku. Dia bertanya:
“Selamat
pagi”
“Pagi”,
kujawab, sambil menoleh kepadanya sebentar
“Kamu
Milea, ya?”
“Eh?”,
kutoleh dia, memastikan barangkali aku kenal dirinya. Nyatanya tidak, lalu
kujawab: “Iya”
“Boleh
gak aku meramal?”
“Meramal?”,
Aku langsung heran dengan pertanyaannya. Kok meramal? Kok bukan kenalan?
“Iya.
Aku ramal, nanti kita akan bertemu di kantin”.
Dia
pasti ngajak becanda. Aku gak mau. Tapi aku tidak tahu harus jawab apa. Hanya
bisa senyum, mungkin itu cukup, sekedar untuk berbasa-basi. Jangan judes juga.
Iya.
Asli,
aku gak tahu siapa dia. Betul-betul gak tahu. Mungkin satu sekolah denganku,
tapi aku belum mengenal semua siswa di sekolahku, termasuk dirinya. Aku hanya
murid baru. Baru dua minggu.
“Mau
ikut?”, dia nanya
“Makasih”,
jawabku. Enak aja, belum kenal sudah ngajak semotor. Kupandang dia, sebentar:
“Udah deket”, lanjutku.
“Oke”,
katanya, “Suatu hari, Milea, kamu akan naik motorku. Percayalah”
Aku
diam, karena gak tahu aku harus bilang apa
“Duluan
ya!”, katanya.
Kupakai
bahasa wajah, untuk mengungkap kata “iya”. Habis itu, dia berlalu, memacu
motornya. Nampak baju seragamnya berkelabatan, kalau guru tahu, pasti akan
disuruh dimasukin ke celana.
4
Waktu
istirahat, tadinya aku mau ke kantin, tapi sama sekali bukan untuk memenuhi
ramalan anak itu. Boro-boro, kepikiran juga enggak. Aku hanya ingin membeli
sesuatu untuk kuminum. Tapi Nandan, teman sekelas, Ketua Murid kelas 2 Biologi
3, minta waktu ingin ngobrol denganku, katanya ada yang mau dibahas.
Dia
bilang, kalau aku mau minum, gampang, biar dia saja yang beli. Makasih kataku,
dan memang, dia lalu pergi, ke kantin. Tak lama dia kembali, membawa beberapa
teh kotak.
Di
kelas, selain Nandan, ada juga Rani dan Agus, semuanya teman sekelas. Hal yang
dibahas adalah tentang keinginan mereka untuk menunjuk aku menjadi sekertaris,
dan juga sekaligus menjadi bendahara kelas 2 Biologi 3. Aku sih oke saja.
Bagiku, gampang lah itu.
Waktu
kami sedang ngobrol, muncul seseorang yang bilang permisi dan lalu masuk ke
kelas. Nandan, Rani dan juga Agus, tahu siapa dia. Namanya Piyan, siswa dari
kelas 2 Fisika 1, datang memberiku surat, katanya itu surat titipan dari
kawannya, tapi tidak disebut nama kawannya.
Dengan
sedikit rasa heran, setelah Piyan berlalu, kubaca surat itu:
“Milea,
ramalanku, kita akan ketemu di kantin, ternyata salah. Maaf. Tapi aku mau
meramal lagi: Besok kita akan ketemu”
Aku
langsung bisa tahu siapa yang ngirim surat. Ini pasti dia, orang yang tadi pagi
naik motor dan bilang mau meramal. Nandan nanya, dia ingin tahu surat apa, aku
bilang cuma surat biasa.
Surat
itu, segera kulesakkan dalam tas sekolah, untuk kembali menyimak Nandan yang
banyak bicara tentang ini itu yang menurutku membosankan. Tapi aku sudah tidak
bisa lagi konsentrasi dengan kata-kata mereka. Pikiranku, entah mengapa,
sebagian besar, mendadak melayang kepada Sang Peramal.
5
Hari
itu hujan, aku pulang dijemput pamanku. Dia itu adik dari ayahku, mahasiswa
tingkat akhir di perguruan tinggi swasta, namanya Fariz. Dia sudah lama di
Bandung dan kost di daerah Setiabudi.
Ayah
nyuruh paman menjemputku, supaya bisa lekas datang ke rumah dinas ayahku,
karena ada sedikit keperluan. Di jalan pulang, entah mengapa, ramalan orang
itu: bahwa besok akan bertemu, terus saja kepikiran.
Apa?
Besok? Hah, besok bertemu? Bukankah besok itu hari minggu? Aku langsung bisa
nebak: ramalannya sudah pasti gagal lagi. Bagaimana bisa bertemu, kalau tidak
di sekolah? Dia, ah, cuma tukang ramal amatir!
Bagiku,
tak lebih, dia hanya anak nakal, yang suka iseng menggoda cewek. Huh! Jika itu
baginya adalah modus untuk mendekati diriku, dia harus tahu aku orangnya
selektif.
6
Di
hari minggu, waktu sedang nyuci sepatuku, aku mendengar bel rumah berbunyi,
karena dipijit oleh tamu. Aku teriak manggil si Bibi untuk meladeni tamu itu.
Kebetulan,
hari itu, di rumah, hanya ada aku dan si Bibi. Ayah, ibu dan adik bungsuku
sedang pergi ke acara pernikahan saudara. Si Bibi bergegas nemui tamu dan lalu
balik kembali menemuiku:
“Tamu.
Mau ke Lia”, kata si Bibi. Lia itu nama panggilanku di rumah
Aku
bersihkan tanganku dari busa dan langsung ke sana, nemui tamu itu. Ya tuhan,
aku kaget, ternyata tamunya adalah dia: Sang Peramal. Aku senyum kepadanya yang
tersenyum kepadaku. Berasa seperti sedang terjadi kontak batin, antara aku
dengannya, membahas ramalannya yang benar-benar terjadi.
“Hei”
Kusapa dia.
“Ada
undangan”, dia langsung bilang begitu, seraya menyodorkan sebuah amplop sambil
masih berdiri di situ, di depan pintu.
“Undangan
apa?”, kupandangi amplop itu.
“Bacalah,
tapi nanti”
“Oke”
“Bacalah,
bahasa arabnya apa, Yan?” Dia nanya ke si Piyan yang datang bersamanya.
“Apa
ya?”, Piyan balik nanya
“Oh!
Iqra”, dia jawab pertanyaannya sendiri: “Iqra, Milea!”, katanya lagi.
“He
he he” Aku ketawa tapi sedikit. Entah mengapa, hanya bisa sesekali saja
kupandang matanya.
“Aku
langsung ya?”, dia permisi untuk pergi
“Kok
tahu rumahku?”, kutanya
“Aku
juga akan tahu kapan ulangtahunmu”
“He
he”
“Aku
pergi dulu ya?”
“Iya”
“Assalamualaikum
jangan?!”
“Assalamualaikum”
“Alaikumsalam”
“He
he he”
7
Aduh,
Tuhan, siapa sih dia itu! Maksudku, selain seorang Peramal, aku ingin tahu
siapa dia itu sesungguhnya, dan mengapa tadi aku harus gugup di depannya?
Aku
masuk kamar dan senyum sendiri terutama karena memikirkan soal ramalannya yang
benar. Tapi kenapa dia tidak membahasnya? Membahas soal ramalan? Atau sengaja?
Entahlah. Aku baca surat undangan darinya sambil selonjoran di atas kasur.
Itu
adalah surat undangan yang ditulis dengan mesin tik di atas kertas HVS. Aku
langsung bisa nebak, surat itu dia bikin sendiri: “Bismillahirahmannirahiim.
Dengan Rahmat Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Dengan ini, dengan penuh
perasaan, mengundang Milea Adnan untuk sekolah pada: Hari senin, selasa, rabu,
kamis, jumat dan sabtu”. Semua nama hari-hari itu, disertai dengan tanggal.
Di
dalam surat itu ada nama: Tuan Hamid Amidjaya. Itu Kepala sekolahku, sebagai
orang yang turut mengundang. Di tiap sisi kertas, ada gambar hiasannya. Dibikin
pake spidol. Gambarnya bagus. Entah bikinan siapa.
Setelah
kubaca, aku tak mengerti mengapa langsung merasa tak ingin pergi dari atas
kasurku, benar-benar seperti orang yang sedang ditawan oleh rasa penasaran
karena ingin tahu siapa dia sebenarnya.
Sambil
tiduran, aku jadi seperti orang yang sedang menerawang, memandang atap kamarku.
Ketika ada terbayang wajahnya, langsung kupejamkan mataku, agar dengan begitu
aku bisa mengusirnya, karena aku merasa itu gak perlu. Gak penting!
Ah,
sial. Itu hampir membuat aku lupa untuk melanjutkan tugas nyuci sepatu. Segera
kusimpan surat itu, di dalam laci meja belajar, sambil senyum-senyum sendirian,
dan langsung pergi ke kamar mandi, menemui sepatuku.
Kucuci
sepatu itu dengan pikiran yang penuh dengan dirinya, dan berusaha kulupakan
dengan cara menyanyi. Tapi susah, tetap saja kepikiran meskipun sesekali. Aduh,
hai, siapa sih dia itu?
Setahuku
dia satu sekolah denganku, tapi tidak sekelas denganku. Cuma itu. Itu saja.
Tapi aku tidak tahu siapa namanya. Kenapa dia tidak memberitahu namanya di saat
pertama jumpa itu? Haruskah aku yang nanya? Oh sori ya, gak mau!
Kudengar
telepon rumah berdering. Aku senang, karena itu dari Beni, pacarku di Jakarta.
Dia satu sekolah denganku waktu masih di Jakarta, dan sekarang kami menjalin
pacaran jarak jauh.
Beniku
keren, kau harus tahu itu. Dia tampan, meskipun tidak tampan-tampan amat, tapi
cukup dan dia sangat baik. Ayahnya seorang artis film terkenal, yang
kadang-kadang suka aku banggakan kepada ayah ibuku.
Beni
sangat menyayangiku. Aku juga begitu kepadanya. Meskipun sesekali suka
bertengkar, tapi cuma masalah kecil, dan selalu bisa diselesaikan dengan baik.
Hampir setiap hari, Beni selalu menelponku untuk melepas rasa rindu dan hal
lain sebagainya.
8
Hari
senin, di tengah-tengah barisan siswa yang ikut upacara, aku berharap tidak ada
satu pun orang tahu bahwa diam-diam mataku mencari dirinya, meskipun aku
sendiri tidak tahu untuk apa juga kucari. Mungkin cuma ingin lihat saja. Tidak
lebih dari itu.
Sampai
upacara sudah mau selesai, orang itu, Peramal itu, tak berhasil kutemukan. Di
mana dia? Hatiku bertanya. Jangan-jangan tidak sekolah? Aku tidak tahu. Ah,
ngapain juga kupikirin! Emang siapa dia?
Seorang
guru, dengan menggunakan speaker, tiba-tiba, memberi komando, agar seluruh
siswa jangan dulu bubar dari barisan. Kupandang ke depan karena ingin tahu ada
soal apa gerangan, oh saat itulah aku bisa melihat dirinya.
Dia
di sana, di depan, menghadap ke arah kami, bersama dua kawannya. Berdiri di
sana karena dibawa oleh guru BP, setelah berhasil ditemukan dari tempatnya
sembunyi, untuk menghindar ikut upacara bendera.
Dia
dan dua orang temannnya disebut Komunis oleh guru BP. Aku tidak mengerti apa
sebabnya seseorang sampai disebut komunis hanya gara-gara tidak ikut upacara.
Entahlah.
Nun
di sana, di tempatnya berdiri, aku yakin, dia sedang menyadari bahwa ada
seseorang di tengah barisan peserta upacara, yang sedang memandangnya, yaitu
diriku. Atau tidak?
Tapi
yang pasti, sebagaimana yang lain, aku sedang memandangnya dari jauh, dengan
perasaan yang sulit kumengerti.
“Dia
lagi!”, bisik Revi seperti ngomong sendiri. Dia teman sekelas, yg berdiri di
sampingku
“Siapa
dia?”, kutanya Revi
“Dilan”
“Oh”
Dilan
itu, adalah yang kemaren datang ke rumah, senyam-senyum depan pintu. Komunis
itu, adalah yang pernah nyuruh si Piyan ngirim surat ke aku. Anak nakal itu,
adalah yang kemaren sempat membuatku penasaran karena ingin tahu lebih jauh
tentang dirinya.
Mendadak,
hari itu, aku bagai malu sendiri bahwa aku pernah ada sangkut paut dengan
dirinya. Mendadak, aku bagai menyesal karena sudah merasa terhibur oleh surat
undangannya.
Sampai-sampai
kalau misal ada orang yang nanya, apakah Milea kenal Dilan? Aku yakin, aku akan
langsung pura-pura tidak tahu. Apakah Milea teman Dilan? Entah mengapa segera
akan langsung kujawab: Bukan. Aku hanya mengenal Beni, pacarku! Beniku baik dan
tidak nakal, malahan guru-guru banyak yang suka kepadanya walau entah karena
apa.
Kata
Rani, di kelas, setelah upacara, Dilan itu anak kelas 2 Fisika 1 dan anggota
gengmotor yang terkenal di Bandung. Jabatannya Panglima Tempur. Oh ya ya. Aku
sering membaca namanya ditulis di tembok-tembok pake pilox. Oh dia ternyata!
Aku
betul-betul jadi takut. Dia pasti sangat nakal, dan juga mungkin jahat.
Meskipun aku yakin, dia tidak seperti yang kuduga. Lagi pun kalau benar dia
begitu, mengapa juga harus takut, toh siapa pun dirinya, ayahku seorang
tentara, yang akan siap menembaknya jika harus.
Pokoknya,
mulai besok, aku harus waspada seandainya dia berusaha mendekati, meskipun
tidak harus kasar kepadanya. Dan tidak perlu terlalu menanggapi apa pun yang ia
lakukan padaku, jika hal itu adalah bagian dari usahanya untuk melakukan
pendekatan.
Kalau
dia ingin jadi pacarku, katakanlah begitu, aku yakin dia akan minder setelah
tahu siapa Beni. Dilan pasti akan mundur daripada harus kecewa karena cinta
yang tak sampai.
9
Bubar
dari sekolah, cuaca mendung, aku pulang bersama kawan-kawan. Ada Dilan yang
menyusulku dengan motornya. Aku langsung bisa yakin dia pasti akan mengajak aku
pulang bersamanya naik motor. Nyatanya tidak, padahal aku sudah menyiapkan
berbagai alasan untuk bisa menolaknya.
“Kamu
pulang naik angkot?”
Kujawab
dengan anggukan. Entah mengapa, saat itu, aku seperti gak enak dilihat
kawan-kawan sedang didekati oleh dia, si anak nakal.
“Aku
ikut….”
“Ikut
apa?”, tanyaku tanpa menoleh kepadanya, tapi bagian sudut mataku berusaha
melihat ke arahnya.
“Naik
angkot”.
“Gak
usah”, jawabku sambil memandangnya sebentar
“Kan
angkot buat siapa aja”
“Kamu
kan naik motor?”
“Nanti
motorku dibawa kawan”
“Eh?”
Lalu
dia pergi. Kutengok sebentar ke belakang, dia datang lagi dengan sedikit
berlari. Aku tak ingin tahu disimpan di mana motornya. Itu bukan urusanku,
termasuk kalau hilang.
Di
angkot, dia duduk di sampingku. Aku benar-benar jadi kikuk, dan juga mati gaya.
“Ini
hari pertama, aku duduk denganmu”
Tidak
kurespon, karena memang gak perlu. Kuambil buku, lalu kubaca. Mudah-mudahan
bisa membantu mengalihkan pikiranku kepadanya. Mudah-mudahan bisa membantu
membuat dia mengerti untuk jangan mengganggu orang yang sedang baca.
Tapi
dia berbisik, suaranya kudengar pelan sekali menyebut namaku:
“Milea”
Aku
diam untuk tidak menanggapi.
“Kamu
cantik”, katanya lagi dengan suara yang pelan tanpa memandangku.
Heh?
Aku kaget. Serius, hampir-hampir tak percaya dia akan bicara begitu. Aku
bingung harus gimana dan berusaha memastikan bahwa kawan-kawanku di angkot,
tidak mendengar apa yang dia katakan. Aku merasa seperti malu.
“Makasih”,
akhirnya kujawab sambil tetap baca buku, dengan intonasi yang datar, tanpa
memandang dirinya. Dengan suara yang pelan bagai berbisik, kudengar dia bicara:
“Tapi,
aku belum mencintaimu…….Enggak tahu kalau sore”
Ih!
Suaranya pelan, tapi rasanya seperti petir. Aku diam, tidak mau merespon
omongannya
“Tunggu
aja”, katanya lagi.
Betul-betul,
saat itu, rasanya ingin teriak, tepat di kupingnya: Apa sih kamu ini?! Tapi
tidak kulakukan. Aku memilih diam dan bersikap berusaha tidak akrab dengannya.
Habis itu, dia juga diam.
“Aku
ramal, kamu akan segera tahu namaku”.
Udah
tahuuu! Gak usah diramal-ramal. Udah tahu! Tapi kujawab:
“Iya”
Ketika
sudah sampai, aku turun dari angkot, dan langsung kaget, karena dia juga turun.
Aku nyaris merasa kuatir dia akan mampir ke rumahku. Jika benar, aku akan
langsung melarangnya. Jangan sampai terjadi!
Syukurnya
tidak. Dia pamit pergi, dan lalu nyebrang jalan, untuk naik angkot lagi, menuju
arah sekolah. Aku ramal, dia ke sana pasti mau mengambil motornya.
Tadi,
sebelum dia pergi, dia sempat bilang:
“Kamu
tahu, Milea, semua siswa itu sombong?”
“Kenapa?”,
tanyaku.
“Siapa
yang mau datang ke ruang BP, menemui Pak Suripto? Cuma aku, Milea!”
“Ooh!”,
aku senyum, tapi sedikit.
Ketika
dia pergi, muncul perasaan bersalah sudah bersikap judes kepadanya. Pastilah
dia sedih. Pastilah dia kesal. Dan besok, mungkin, dia kapok.
Sesampainya
di rumah, si Bibi memberiku surat. Itu surat yang terbungkus dalam amplop warna
ungu. Oh, surat dari Beni!
10
Kubaca
surat Beni sambil terus kepikiran soal Dilan yang mungkin hari ini sudah kecewa
dengan sikapku. Apa salahnya dia, Milea? Mengapa hari ini kau begitu, padahal
baru kemaren engkau tersenyum kepadanya dan sedikit terhibur oleh surat
undangan yang dia berikan padamu?
Aku
simpan surat Beni, surat yang penuh kata-kata mendayu berisi melulu soal cinta
dan rindu itu. Heran, biasanya aku senang, entah mengapa, hari itu, aku merasa
seperti sedang berubah di dalam menilainya: Ah, Beni kurang asik! Maksudku,
mungkin aku merasa bosan dengan dia yang terlalu monoton!
Si
Bibi ngetuk pintu, manggil, untuk nyuruh aku makan. Aku keluar dari kamar
dengan isi kepala yang mulai dikacaukan oleh pikiran tentang omongan Dilan di angkot tadi:
“Milea,
kamu cantik. Tapi aku belum mencintaimu. Enggak tahu kalau sore. Tunggu aja”.
Kata-kata
aneh, yang sudah membuatku tersenyum dan yang terus nempel di kepalaku sampai
malam harinya. Di kamar, tiba-tiba ku ketawa, dan teriak dalam hati,
seolah-olah hal itu kutujukan padanya: Mau cinta mau enggak, dengar ya, hai kau
yang bernama Dilan: Terseraaaaaahhh! Itu urusanmu! Emang gua pikirin!?
Setelah
usai shalat isya, aku dapat telepon dari Beni. Dia bicara lama sekali. Atau
sebentar? Tapi entah mengapa aku merasa itu sangat lama. Dan katanya, dia mau
ke Bandung, nanti, minggu depan.
“Kamu
senang?”, Beni nanya apakah aku senang jika dia ke Bandung menemuiku? Kujawab:
“Iya”
Memang,
harusnya aku senang, Beni. Oke, kalau begitu, baiklah, aku akan berusaha untuk
senang.
11
Itu
hari selasa, ketika aku mendapat surat dari Dilan. Entah bagaimana Dilan bisa
nitip suratnya ke Rani. Isi suratnya pendek:
”Pemberitahuan:
Sejak sore kemaren, aku sudah mencintaimu – Dilan!”.
Aku
seperti terkesiap membacanya. Lalu dengan cepat, langsung kututup surat itu.
Jadi
malu sendiri rasanya, dan berharap Rani tidak sudah membacanya. Kayaknya belum,
karena surat itu dimasukkan ke dalam amlop yang tertutup.
Aku
hanya kuatir orang-orang akan tahu apa isinya. Lalu dengan cepat kumasukkan ke
dalam tas, seolah dengan itu bisa kujejalkan sampai masuk sedalam mungkin.
Dia,
menurutku, hari ini, harus bertanggungjawab, karena sudah berhasil mengganggu
kosentrasi belajarku.
12
Di
kantin, pada waktu istirahat, aku duduk satu meja dengan Nandan, Dito, Jenar
dan Rani. Masing-masing makan batagor sambil bicara ini itu yang gak perlu.
Mereka semuanya teman sekelas, kecuali Jenar, dia anak kelas 2 Sosial.
Dilan
pasti di sana, bersama kawan-kawannya, di warung bi Eem. Aku belum pernah makan
di sana, selain cuma lewat setiap pergi dan saat pulang sekolah.
Warung
kecil, kira-kira 30 meter dari sekolah, di samping gereja Pantekosta. Huh! Aku
juga tahu, kenapa kamu milih ke sana. Biar bisa merokok.
13
Aku
mau cerita tentang yang lain yang bukan Dilan. Ini tentang Nandan. Nandan Hadi
Prayitno. Kata Rani, Nandan naksir aku, tapi aku cuma senyum mendengarnya,
karena soal itu sudah lama aku tahu.
Aku
bisa membaca bagaimana sikap dan perilaku Nandan kepadaku. Bagiku, semuanya,
termasuk suka nelepon malam hari nanya-nanya soal PR, nraktir kami makan di
kantin, berusaha membuatku ketawa dengan aneka macam lawakan, itu adalah modus,
untuk mencari perhatianku.
Aku
setuju, kalau ada yang bilang Nandan baik. Dan, kalau aku boleh jujur, Nandan
lebih tampan dari Dilan. Nandan juga humoris, jago basket, dan lain-lain,
pokoknya Nandan adalah lelaki idaman tiap wanita.
Nandan
juga masih jomblo, masih belum punya pacar. Pernah sih dekat dengan Pila, anak
kelas 2 Sosial, tapi ga tahu kenapa, belakangan hubungan mereka jadi renggang.
14
Sumpah,
aku terkejut, pas kulihat ada Dilan. Dia datang ke kantin bersama dua orang
yang belum kutahu namanya. Entah bagaimana perasaanku saat itu, sangat sulit
kuungkapkan. Aku hanya tahu aku menjadi salah tingkah.
Dia
mendatangi meja kami, dan menyapaku:
“Hei,
Milea!”
“Hei,
Dilan”
“Cuma
nyapa”
Lalu
dia pergi bersama kedua temannya, entah kemana, mungkin ke kelas, tapi sebelum
pergi, dia bicara ke Nandan:
“Eh,
Dan, kamu tahu gak?”
“Tahu
apa?”
“Aku
mencintai Milea?”
“He
he he”. Nandan tersenyum sambil sekilas memandangku. Rani, Dito dan Jenar,
semuanya ketawa. Mukaku pasti merah.
“Tapi
malu mau bilang”, kata Dilan lagi
“Itu,
sudah bilang? He he” Nandan ketawa kecil
“Aku
kan bilang ke kamu, bukan ke dia”
“Dia
denger kan?”, tanya Nandan
“Mudah-mudahan”
Dilan
pergi. Bisa kubaca mata Nandan, kayaknya dia
merasa keganggu oleh kata-kata Dilan. Bisa jadi itu cuma tebakanku saja.
Aku bukan ahli membaca bahasa tubuh. Cuma aku yakin, Nandan tidak suka dengan
Dilan, sejak itu, sejak dia tahu Dilan menyukaiku. Mencintaiku.
15
Setelah
istirahat selesai, kami masuk lagi ke kelas untuk ikut pelajaran lainnya. Kamu
tahu kemana Dilan? Dilan masuk ke kelasku, dan duduk di bangku sebelahku,
membuat Rani jadi pindah ke kursi belakang yang memang kosong.
Heran,
kenapa tidak seorang pun yang berusaha ngusir Dilan? Nandan sebagai dirinya
Ketua Murid, cuma bisa diam saja. Sejujurnya, aku sendiri merasa risih dengan
adanya Dilan. Tapi mau gimana lagi.
Dilan
minta kertas, aku kasih. Di kertas itu, dia nulis:
Informasi:
Daftar
orang-orang yang ingin jadi pacarmu:
1. Nandan (Kelas 2 Biologi)
2. Pak Aslan (Guru Olah Raga)
3. Tobri (Kelas 3 Sosial)
4. Acil (Kelas 2 Fisika)
5. Dilan (Manusia)
Aku
senyum membacanya. Kemudian kulihat dia mencoret semua nama di daftar itu,
kecuali nama dirinya.
“Kenapa?”,
kutanya
“Semuanya
akan gagal”, dia bilang begitu dengan berbisik.
“Kecuali
kamu?”
“Iya.
Doain”
Kawan-kawanku
sibuk dengan dirinya sendiri, seolah-olah tidak merasa terganggu oleh adanya
Dilan, meskipun aku yakin mereka pasti gak suka. Kulihat Nandan, duduk terus di
bangkunya, seperti orang bingung yang gak suka ada Dilan, tapi tidak tahu harus
berbuat apa.
Pak
Atam, guru pelajaran Bahasa Indonesia, sudah datang masuk kelas, tapi Dilan
tidak pergi. Tetap duduk. Edan ini orang, pikirku! Dilan benar-benar ikut
pelajaran Pak Atam. Sambil berbisik, aku ngomong ke dia:
”Nanti
kamu dialpain di kelasmu”
“Ga
apa-apa”, jawabnya, seraya tetap memandang ke depan, menyimak pelajaran, sampai
akhirnya Pak Atam tahu ada seorang penyelundup:
“Kenapa
di sini?”. Pak Atam nanya. Kawan-kawan sekelas memandang semua ke arah Dilan.
Muka mereka seperti puas karena akhirnya Pak Atam tahu dan menegurnya.
“Salah
masuk, Pak! Maaf!!”, jawab Dilan sambil beranjak dari duduknya dan pergi
diiringi tatapan Pak Atam yang tidak respek kepadanya.
16
Waktu
bubar sekolah, Dilan nyusul dan bilang:
“Aku
mau datang ke rumahmu. Malam ini”.
Hah? Aku kaget.
“Jangan!”
“Kenapa?”
“Ayahku
galak”
“Menggigit?”
“Serius”
“Aku
tidak takut ayahmu”
“Jangan!
Pokoknya jangan”
“Aku
mau datang”, katanya, sambil berlalu.
“Jangan
ih!”, tanpa sadar aku bicara agak teriak. Aku jadi merasa malu sambil kupandang
ke banyak arah, berharap tak ada orang yang denger.
17
Aku
belum ngantuk, masih terus ingin nulis. Suamiku masih juga belum pulang. Mick
Jagger, bersama Rolling Stonesnya, sudah habis. Giliran Bob Dylan yang nyanyi.
Sampai mana ceritanya?
Oh
ya. Dilan datang! Benar-benar dia datang. Itu kira-kira pada pukul tujuh malam.
Awalnya kudengar suara motor, masuk ke halaman rumahku. Aku yang sedang makan
malam, langsung bisa yakin, tidak salah lagi, itu pasti Dilan.
Aku
lekas masuk kamar bersama piring makan malamku dan bersama perasaan yang tidak
karuan.
Biasanya
ayahku jarang di rumah, sudah hampir tiga hari ini dia cuti. Malam itu, dia
sedang ada di ruang tengah, sibuk membetulkan radio CB-nya. Ibuku juga di sana,
sedang mencatat urusan kegiatan semacam Dharma Wanita, Bhayangkara atau apalah.
Jika
bel rumah berbunyi, maka salah satu di antara merekalah yang akan membuka
pintu. Menyambut Dilan, kalau benar tamu itu adalah Dilan. Ya, Tuhan, bisikku
dalam hati. Kututup kepalaku dengan bantal sambil tiduran di kasur.
Entah
siapa yang buka pintu, aku gak tahu. Pasti ada dialog di sana, tapi tidak bisa
kudengar. Aku ingin tahu, Aku merasa akan lebih baik jika tetap diam di kamar.
Tidak lama kemudian, terdengar lagi suara motor itu, keluar dari halaman
rumahku. Ya, jika itu Dilan, dia sudah pergi.
Dengan
aneka macam pikiran yang memenuhi kepalaku, aku duduk di kursi belajarku,
meneruskan makan malam sampai habis dan lalu keluar dari kamar untuk menyimpan
piring makanku.
Selesai
dari gosok gigi, pas aku mau kembali ke kamar, telepon rumahku berdering. Aku
lebih dekat ke tempat telepon, sehingga aku yang ngangkat dan itu adalah
telepon dari Dilan, buatku, untuk yang pertama kalinya.
Tidak
usah ditanya bagaimana Dilan tahu nomor telepon rumahku. Kukira dia banyak
akal.
“Hallo?”,
kusapa yang nelepon
“Selamat
malam”
“Malam”
“Bisa
bicara dengan Milea?”
“Iya,
saya”
“Oh.
Aku Dilan”
“Hey”.
Mendadak jantungku langsung deg-degan.
“Milea
bisa bicara dengan aku?”
“Iya
bisa”
“Tadi
aku datang”
“Iya”
“Kau
tahu?”
“Tahu”
“Kau
tahu kenapa aku datang?”
“Kenapa?”
“Kalau
aku gak datang, gara-gara kamu bilang ayahmu galak, berarti aku pecundang”
“Iya”
“Lebih
baik aku datang. Kalau nanti dimarah, itu bagus, kamu akan kasihan ke aku”
“He
he”.
“Kasihan
gak?”
“Tadi
dimarah?”
“Enggak”
“Syukurlah”
“Tadi,
ayahmu bilang, kamu sudah tidur”
“Oh”
“Kenapa
sekarang bisa ngomong? Kamu ngigau?”
“Iya”
“Ha
ha ha ha ha”. Dilan ketawa
Sebenarnya
aku juga ingin ketawa, tapi pasti kutahan. Boro-boro ketawa, bicaraku juga
sebisa mungkin kubikin singkat-singkat. Entah mengapa, aku merasa ga enak,
kuatir ayah dan ibu dengar. Seolah saat itu aku merasa bahwa mereka akan marah
kalau tahu itu telepon dari Dilan, meskipun belum tentu mereka akan begitu.
Selesai
nerima telepon, aku langsung ke kamar lagi. Sebelumnya ayahku nanya, telepon
dari siapa, aku jawab dari Beni. Dan di kamar, selain kupakai untuk
menyelesaikan tugas PR, sebagian otakku kugunakan untuk memikirkan dialog
terakhir dengan Dilan di telepon:
“Boleh
aku meramal?”, Dilan nanya
“Iya”
“Iya
apa?”
“Boleh”
“Aku
ramal, nanti kamu akan menjadi pacarku!”
“He
he he”
“Percaya
tidak?”
“Musyrik”
“Ha
ha ha”
“He
he he”
“Hey,
Milea”
“Iya”
“Kau
tahu kenapa aku tidak langsung jujur saja bilang ke kamu bahwa aku
mencintaimu?”
“Enggak”
“Padahal
kalau mau, aku bisa. Itu gampang”
“Terus?
Kenapa?”
“Kalau
langsung, gak seru. Terlalu biasa”
“He
he he”
“Nanti
kalau kamu mau tidur, percayalah aku sedang mengucapkan selamat tidur, dari
jauh. Kamu ga akan denger”
“He
he he”
Di
atas kasur, selagi mau tidur, aku dilanda kebimbangan, haruskah terus terang,
bilang ke Dilan, bahwa aku sudah punya pacar? Iya, kayaknya harus. Biar sejak
itu, Dilan akan berhenti mengejarku.
Biar
Dilan tidak akan lagi membuat kejutan-kejutan, yang kalau aku harus jujur,
sebetulnya aku juga suka. Seru! Tidak, kayaknya tidak. Enggak usah aku bilang.
Biarin saja. Aku merasa, sejak ada Dilan di dalam hidupku, ah, susah kukatakan
dengan kata-kata.
Atau
haruskah aku bilang ke Beni, bahwa ada orang di Bandung, satu sekolah denganku,
namanya Dilan, sedang berusaha mendekatiku? Kayaknya jangan, aku tahu Beni,
jika kukatakan, justeru malah akan nambah masalah dari pada berusaha
menyelesaikannya. Aduh, Beni, aku yakin kamu tidak akan bisa menolongku!
Lebih
baik aku tidur. Di luar turun hujan. Kamu di mana sekarang, Dilan? Hati-hati
kalau di jalan. Kututup mataku dengan bantal dan: “Selamat tidur juga, Dilan”
18
Aku
baru selesai dari kantin, bersama Nandan, Hadi dan Rani. Tak ada Dilan. Dia
jarang ke kantin. Aku sendiri juga heran, kalau memang benar dia sedang
mengejarku, kenapa tidak pernah ke kantin menemuiku? Kenapa lebih memilih
kumpul bersama teman-temannya di warung bi Eem?
Kenapa
tidak berusaha bisa duduk di kantin denganku. Bicara denganku, setidaknya
dengan itu, aku bisa tahu langsung darimu, benarkah kamu suka nge-ganja seperti
yang dikatakan oleh Nandan dan Dito? Benarkah kamu suka minum-minuman keras,
seperti yang dikatakan oleh Nandan, Erfan dan Rani? Benarkah kamu playboy,
punya banyak pacar, seperti yang dikatakan oleh Nandan?
Aku
tidak bermaksud mau ikut campur urusanmu, Dilan. Siapalah aku ini. Tetapi
rasanya hampir setiap hari aku selalu mendapat informasi yang buruk tentangmu.
Aku ingin tidak percaya.
Tetapi
jika memang itu benar, ya sudah, aku jadi tahu siapa dirimu dan bagaimana
harusnya aku bersikap kepadamu, itu pilihanku. Kamu bukan pacarku, apa urusanku
memikirkan dirimu, tapi aku tidak tahu, Dilan, mengapa aku ingin tahu.
Ah,
Tuhan! Kenapa aku jadi begini?
19
Dari
kantin, sebelum mau masuk ke kelas, aku berpapasan dengan Dilan dan
kawan-kawan. Pasti baru datang dari warung bi Eem.
“Milea!”,
dia manggil dan mendekat
“Ya?”
“Boleh
ga aku ikut pelajaran di kelasmu lagi”,
“Kamu
mau bikin aku senang?”. Kupandang matanya, hampir-hampir gak percaya bahwa aku
bisa nanya seperti itu kepadanya.
“Iya?”
“Ikuti
mauku”
“Apa
itu, Milea?”
“Jangan!”
“Oh.
Oke, kalau begitu”
Dia
pergi. Aku masuk kelas untuk mengikuti pelajaran berikutnya. Itu adalah
pelajaran Pendidikan Moral Pancasila, nama gurunya Ibu Sri, aku masih ingat.
Bukan
ibu Srinya yang kuingat, tapi kejadiannnya, yaitu selagi Ibu Sri sedang
menjelaskan materi pelajaran, papan pembatas kelas itu tiba-tiba roboh, jatuh
ke arah kami.
Ibu
Sri lari sambil teriak: “Allahuakbar!!”. Semua orang juga lari, berusaha
menghindar ke arah bangku di bagian paling belakang.
Dari
sana, bisa kami saksikan sendiri, bagaimana papan pembatas kelas itu roboh
bersama dua orang yang masih menggantung di atasnya, seperti sedang
menggulingkan papan tulis.
Kedua
orang itu adalah: Piyan dan Dilan! Sejak
itu, kami bisa melihat wajah-wajah siswa di kelas 2 Fisika 1 pada melongo
semua.
Bagaimana
itu bisa terjadi? Aku dapat penjelasan langsung dari Dilan setelah beberapa
bulan kemudian. Katanya, waktu itu, di kelas sedang tidak ada pelajaran,
gurunya tidak datang karena sakit. Dia dan Piyan, berusaha naik ke atas
pembatas kelas, untuk mencapai lubang pentilasi yang ada di tembok bagian atas.
“Ih!
Ngapaiiiin?”, kutanya
“Ngintip
kamu ha ha ha ha”
“Ha
ha ha ha”
“Resiko
tinggi mencintaimu”
“Ha
ha ha”
Tapi
itulah yang terjadi. Mau gimana lagi. Wati, teman sekelasku, mungkin jengkel.
Dia hampiri Dilan, dan melemparkan buku pelajaran ke arahnya, sambil ngomong:
“Maneh
wae, Siah!”. Itu bahasa sunda, kira-kira artinya: “Elu lagi! Elu lagi!”
Dilan
tak melawan. Aku langsung ingin tahu, siapa Wati sebenarnya? Kenapa dia berani
kepad Dilan? Dan Dilan diam saja. Selidik punya selidik, ternyata ibunya Wati
adalah adik dari Ayahya Dilan. Ya, Tuhan, kenapa aku baru tahu?
Dilan
dan Piyan, dibawa ke ruang guru! Anehnya aku tidak cemas. Anehnya aku percaya,
Dilan pasti bisa menghadapinya dengan tenang.
Tapi
sejak peristiwa itu, selama dua hari, aku tidak lihat Dilan di sekolah dan juga
di mana pun. Mungkin dia sakit. Mungkin dia diskors. Aku tidak tahu. Aku ingin
tahu. Tapi bingung bagaimana caranya? Nanya ke Nandan atau Rani, kuatir akan
nyangka yang bukan-bukan. Nyangka aku perhatian atau apalah, meskipun iya
begitu, tapi mereka jangan tahu.
20
Keinginanku
bisa ke kantin berdua dengan Wati, akhirnya kesampaian. Di kantin, ada Nandan,
Rani dan Jenar ingin gabung, makan satu meja dengan kami, tapi kubilang aku ada
urusan dengan Wati. Untung mereka ngerti.
Pasti
kamu tahu, tujuanku ngobrol dengan Wati. Meskipun malu, harus kuakui, bahwa
dari Wati, aku ingin dapat informasi lebih banyak tentang Dilan. Maksudku, ini
menyangkut tentang banyak informasi buruk yang kudapat tentang Dilan. Aku ingin
tahu semuanya, apakah semuanya itu benar?
Bukan
mau ikut campur. Aku mengerti, hidup Dilan urusannya. Bagaimana pun dirinya,
apalah urusanku dengan itu. Aku bukan
siapa-siapanya. Aku bukan pacarnya. Tapi, pengetahuanku tentang Dilan, bagiku,
bisa sangat membantu untuk bagaimana harusnya aku bersikap kepadanya.
Atau,
entahlah, aku sendiri tidak mengerti, apa sesungguhnya yang membuat aku jadi
begitu. Jadi seperti detektif yang ngorek-ngorek informasi orang lain. Tapi,
cobalah kamu jadi aku, aku yakin kamu juga akan melakukan hal yang sama.
Aku
duduk berdua dengan Wati, agak di dekat jendela. Aku harus hati-hati, jangan
sampai Wati tahu tujuanku. Setelah ngobrol tentang hal lain yang gak penting,
aku mulai berusaha mengarahkan pembicaraan supaya membahas pada pokok yang
kumaui:
“Eh,
ngomong-ngomong, kemarin, waktu si Dilan jatuh, kamu lempar dia pake buku, kok
kamu berani sih?”
“Oh?
Ha ha ha. Berani lah! Habisnya kesel. Dia itu nakal tahu? Di rumahnya juga
begitu!”
“Kamu
saudaraan ya?”
“Iya,
ibuku kan adik ayahnya”
“Oh,
pantes! Enggak. Kaget aja, pas lihat kamu berani mukul dia ha ha ha”
“Habisnya
kesel. Nakal dia itu”
“Nakal
gimana?”
“Ah,
banyak! Pernah tuh, waktu malam minggu, kapan ya, pokoknya dia motong ayam
ibuku, diambil di kandang gak bilang-bilang”
“Oh
ya?”
“Disate
tahu gak?! Dimakan sama temen-temennya di belakang rumah dia!”
“Ha
ha ha. Mabuka-mabukan ya?”
“Enggaklah!”
“Tahunya
enggak?”
“Tahu
aja”
“Ngambil
ayam ibu kamu? Kok berani?”
“Pas
ditegur ibuku, dia bilangnya salah ngambil, gelap, gak kelihatan”
“Ha
ha ha”
“Padahal,
kamu tahu gak? Ayahnya itu galak. Tentara”
“Oh
ya?!”
“Iya”
“Kecabangan
apa?”
“Gak
tahu tuh. Gak ngerti”
“Si
Dilan pasti pacarnya banyak tuh!”
“Ah,
siapa? Kayaknya ga punya pacar dia mah? Terlalu cuek ke cewek!”
“Mungkin
masih lebih suka main sama kawan-kawannya”
“Iya
kali”
“Emang
belum punya pacar?”
“Enggak
tahu tuh. Eh, kok jadi ngomongin si Dilan sih?!”
“Iya
ha ha ha. Wat, aku pengen main dong ke rumahmu?”
“Boleh
aja. Kapan?”
“Nanti
deh, aku bilang dulu ke nyokap”
“Hayu”
Yes!
Yes! Yes! Aku mauu, Wati. Nanti kita ngobrol yaaaaa!!!
21
Dilan
kulihat sekolah lagi. Tapi sejak itu, selama tiga hari, tidak ada gerakan
apa-apa dari Dilan yang bersangkut paut dengan diriku. Bahkan sampai sehari
menjelang ulangtahunku, Dilan kayaknya bersikap biasa saja.
Aku
sempat berfikir, jangan-jangan Dilan malu oleh kejadian robohnya papan pembatas
kelas. Atau, mungkin dia sudah tidak mau lagi denganku. Atau apa? Aku gak tahu!
Aku gak tahu! Termasuk aku gak tahu kenapa hal itu membuat aku jadi sedih!
Meskipun
tidak kurayakan ulangtahunku, tapi banyak kawan-kawan yang pada ngasih kado,
termasuk Nandan. Dia ngasih boneka panda yang cukup besar. Boneka itu dibungkus
dalam plastik, dengan ujungnya yang diikat pita merah. Nandan ngasih kado itu
di kelas, pada waktu istirahat:
”Selamat
ulangtahun, Milea. Panjang umur ya. Kadonya boneka, biar apa coba?”
“Biar
apa?” Aku senyum.
“Biar
kalau tidur, kamu bisa memeluknya”.
“Ih”,
aku senyum lagi
Mungkin
dia bercanda, atau mungkin juga serius, tapi yang pasti, mendengar Nandan
bilang begitu, kawan-kawanku yang saat itu ada di kelas, pada teriak:
”Asik
euy!!!”.
“Suit-suit!!”
Apa
siiih. Biasa aja! Cuma kado Panda, kalau ada uangnya, semua orang bisa beli.
Meluk boneka, mau bentuknya panda mau monyet, bagaimana bisa kurasakan seolah
aku sama sedang memeluk orang yang memberinya? Mungkin ada yang bisa begitu,
tapi aku tidak, kecuali boneka itu bikinan sendiri.
Dan
Beni, sengaja datang ke Bandung, demi untuk merayakan ulangtahunku. Dia ke
rumah pada pukul dua belas malam, bersama empat orang temannya, Adhit, Bram,
Lilo dan Ical. Beni memberiku seikat rangkaian bunga yang indah. Warna warni
dan harum baunya.
Itu
bunga kasih sayang katanya, sambil mengecup keningku. Dia juga membawa kue
ulang tahun, yang kami nikmati di ruang tamu, setelah sebelumnya ada perang
colek-colekan krim kue yang seru. Beni pulang ke Jakarta, satu jam kemudian.
Dilan?
Pada harinya, dia tidak memberiku ucapan ulangtahun. Aku sempat curiga,
jangan-jangan Dilan gak tahu ulang tahunku. Mana? Katanya kamu akan segera tahu
hari ulangtahunku?
Kamu
tahu tidak, Dilan? Aku sempet yakin, kamu akan menelponku tepat pada pukul
00:00, menjadi orang awal yang mengucapkan selamat ulangtahun untukku. Nyatanya
tidak. Aku bingung, apakah aku harus kecewa atau tidak?
Jika
aku kecewa, emang siapa diriku bagimu? Kalau tidak kecewa, tapi aku menunggu
ucapanmu, Dilan. Aku tidur dalam gelombang perasaan yang kosong.
22
Hari
itu, aku sedang belajar Biologi, pelajaran praktek mnggambar anatomi kodok
dibagi ke dalam beberapa kelompok, tiba-tiba terdengar pintu kelas ada yang
ngetuk. Aku terkejut ketika tahu orang itu adalah Dilan.
Untunglah
gurunya Pak Rahmat, dan Dilan juga kayaknya tahu, Pak Rahmat baik, sehingga
barangkali itulah maka dia jadi berani. Atau, itu cuma kebetulan. Kukira, dia
pasti akan berani meski siapa pun gurunya.
“Permisi,
Pak?”
“Iya?”,
jawab pak Rahmat yang sedang duduk di kursi guru.
“Maaf.
Ada titipan penting buat Milea”
“Oh.
Iya. Silakan”
Dilan
masuk, mendatangiku, dilihatin oleh hampir semua orang yang ada di kelas.
Bungkusan yang dibawanya, entah apa itu, dia berikan kepadaku sambil menjabat
tanganku:
”Selamat
Ulangtahun, Milea”.
“Makasih,
Dilan”, aku senyum. Aku memandang matanya sebagaimana ia juga kepadaku!
Habis
itu, dia pergi seraya pamit kepada Pak Rahmat. Heran, aku merasa tidak malu.
Heran, aku justeru malah bangga. Terimakasih, Pak Rahmat yang baik, guruku yang
tua dan pendiam. Aku tidak ingin bilang bagaimana sikap Nandan saat itu, kau
tebaklah sendiri.
Jika
hari itu ada yang bilang bahwa hatiku berbunga-bunga, aku langsung akan setuju.
Aku senang, hari itu, ah, entah bagaimana kukatakan, pokoknya itu adalah hari
pertamaku memegang tangan Dilan! Atau, hari itu adalah hari pertama Dilan
memegang tanganku!
23
Jangan
diganggu. Aku lagi di kamar, sendirian, membuka kado Dilan. Tak sabar rasanya
ingin tahu apa isinya. Bungkus kadonya dipenuhi oleh gambar yang dibikin dengan
menggunakan spidol warna-warni, entah siapa yang bikin. Mungkin dia. Mungkin
nyuruh kawannya yang jago gambar.
Pelan-pelan
kusobek ujung dari pembungkus kado itu. Dan, mari kuberitahu apa isinya: Satu
buah TTS!!! Sama, aku juga terkejut. Kenapa TTS? Kubuka-buka, barangkali TTS
itu cuma hal lain dari inti kado yang sesungguhnya.
TTS
nya udah diisi semua. Sudah dijawab semua, entah benar atau tidak. Belum sempat
kuperiksa, sudah kudapati di tengahnya ada selembar kertas putih. Ukuran A4
dengan tulisan tangan Dilan yang bagus:
SELAMAT
ULANG TAHUN, MILEA.
INI
HADIAH UNTUKMU, CUMA TTS.
TAPI
SUDAH KUISI SEMUA.
AKU
SAYANG KAMU
AKU
TIDAK MAU KAMU PUSING
KARENA
HARUS MENGISINYA.
DILAN!
24
Hari-hari
berikutnya, ada yang lain dari Dilan. Aku merasa Dilan berubah. Seperti
menjauh. Bahkan sudah masuk kategori boleh kuanggap sombong.
Tak
ada lagi hal yang ia lakukan untukku, sebagaimana selalu kudapatkan sebelumnya.
Dia tidak pernah ke kantin, sehingga kalau di sekolah, hanya sesekali saja aku
bisa melihatnya, dan itu pun dari jauh.
Aku
tidak tahu, mengapa dia jadi gitu? Aku tidak merasa perlu bertanya kepada Wati,
karena Wati pasti akan menjawab tidak tahu. Itu urusan Dilan.
Pada
kesempatan bertemu Piyan, kuberanikan diriku minta waktunya Piyan untuk ngobrol
denganku. Boleh, katanya.
“Tapi
jangan sampai Dilan tau”
“Kenapa
memang?”, Piyan senyum
“Nanti
deh aku cerita”
“Sip!”
25
Akhirnya
aku bisa ngobrol dengan Piyan, pada waktu istirahat, di tempat tukang photo
copy yang ada di luar sekolah. Aku ceritakan semuanya, dari mulai awal aku
bertemu Dilan, sampai tentang banyak hal yang sudah ia lakukan untuk
“mendekati”ku. Piyan ketawa. Sama, aku juga ketawa.
“Tahu
gak, Mamaku ketawa, pas aku ceritain soal dia ngasih TTS buat hadiah
ulangtahunku”, kataku kepada Piyan.
“Si
Gelo!”
“Ha
ha ha ha. Dia pernah ngasih coklat ke aku. Tahu siapa yang nganterinnya?”
“Siapa?”
“Tukang
koran ha ha ha! Yang suka datang ke rumah nganterin majalah langganan”
“Ha
ha ha”
“Yang
nerimanya si Bibi!!”
“Hah?
Ha ha ha terus?”
“Pas
dia tau tukang koran itu ngasih coklat buat aku, Si Bibi pastilah nanya dari
siapa?”
“Apa
kata tukang koran?”
“Dari
Dilan, penjaga Milea ha ha ha!”
“Anjrit!
Ha ha ha”
“Ada
lagi! Ada lagi!”
“Apa?”
“Kan
dia nelpon……..”
“Ya?”
“Yang
nerima si Bibi”
“Terus?”
“Dia
malah ngobrol, sama si Bibi…coba! Bukannya langsung bilang mau bicara sama aku”
“Skandal!
Ha ha ha. Ngobrol apa?”
“Kata
si Bibi sih, dia ngaku teman aku, dan tukang ramal. Ngaku bisa tahu angka
berapa judi Porkas besok keluar”. (Porkas itu semacam judi yang dilegalkan oleh
pemerintahan zaman Orde Baru. Konon, untuk membantu kegiatan olah raga di tanah
air. Sekarang sudah tak ada)
“Ha
ha ha berapa katanya?”
“Ah,
paling juga dijawab ngawur. Terus, dia bilang, sampaikan ke Lia, kalau sholat
harus menghadap kiblat”
“Ha
ha ha ha”
“Ada
lagi! Ada lagi!”
“Banyak
amat!”
“Banyak,
Piyaaaan!”
Terus
kenapa sekarang Dilan berubah, Piyan? Kenapa dia jadi sombong, Piyan? Si Piyan
bilang tidak tahu. Tapi kemudian dia cerita bahwa, Dilan sering cerita soal
aku. Ah, aku senang pas dia ngomong bagian yang ini.
“Nah,
soal dia berubah, apa ya? Dia pernah bilang sih: Jangan diganggu Milea. Dia
sudah pacaran sama Nandan?”
“Hah?
Apa?”
“Iya.
Dia bilang gitu. Menurutku sih kayaknya gara-gara itu deh. Bisa jadi”
“Kok?
Enggak ih!! Kok dia bisa bilang begitu?”
“Enggak
tahu. Dilan bilang ke aku sama si Ajun, katanya, sudah jangan diganggu”
“Iiihh,
Enggak, Piyan ih! Bilangin ke dia!”
“Bilang
gimana?”
“Aku
enggak pacaran sama Nandaan!!”
“Ya,
udah, nanti aku bilang!”
“Harus,
Piyan! Jangan lupa sampaiin. Tolong ya, Piyan!”
26
Aku
tahu sekarang. Pantesan Dilan jadi gitu! Aku enggak pacaran sama Nandan, Dilan!
Emang siapa sih yang bilang, sampai kamu bisa ngomong begitu? Pokoknya Piyan
harus menyampaikan kepadanya bahwa aku tidak pacaran sama Nandan! Titik! Harus!
Wajib!
Sejak
itu, mulai besoknya, aku sudah tidak pernah ke kantin lagi bareng-bareng dengan
Nandan. Setiap hari, selalu kuusahakan punya alasan untuk menolak ajakan Nandan
pergi ke kantin. Sampai-sampai kalau pas istirahat aku lebih sering memilih
untuk diam di kelas.
Jengkelnya
kalau Nandan sudah ikut-ikutan diam di kelas, aku jadi pura-pura pergi ke
toilet atau kemana lah yang penting terhindar dari gosip bahwa aku pacaran sama
Nandan. Ya, Nandan pasti ngerasa aku berubah. Ya, aku juga kasihan ke dia. Tapi
biarin! Asal Jangan Dilan yang berubah ke aku!
Bagaimana
dengan Beni? Ya, aku pacaran dengan dia. Tapi, aku mau ke dia karena dulu belum
tahu bahwa di dunia ini ada Dilan! Mengerti kaaan? Selama cuma pacaran, kukira,
aku masih punya hak untuk memilih, sampai bisa kudapati orang yang pantas
kunikahi! Coba jadi aku deh, biar bisa
kau maklumi.
27
Hari
itu adalah hari sabtu, belajar di kelas ditiadakan, karena ada acara seleksi
pemilihan siswa terbaik, yang akan mewakili sekolah menjadi peserta Cerdas
Cermat di TVRI. Acara itu di selenggarakan di aula sekolah.
Pesertanya
diambil dari tiap kelas, sebanyak tiga orang, yaitu mereka yang tercatat
sebagai siswa yang selalu mendapat rangking 1, 2 dan 3. Diambil dari kelas
Sosial, Biologi dan Fisika. Di kelasku yang terpilih adalah Gatot, Enjang dan
Warti. Mau tahu tidak, siapa siswa yang ditunjuk dari kelas 2 Fisika 1? Dia
adalah: Dilaaaaaaaann!! Yeeeeee!!! dan dua orang lagi yang aku sudah lupa
namanya. Masing-masing dicampur menjadi beberapa group.
Ketika
acara itu dimulai, aku nonton sedikit agak di depan, ah kau taulah kenapa. Aku
bisa puas melihat Dilan dari agak sedikit dekat, meskipun, aku GR sedikit ya,
aku takut kalau Dilan tau ada aku, nanti akan membuatnya grogi. Nyatanya tidak,
kulihat dia biasa saja.
Itu
acara yang seru. Satu sesi menampilkan 3 group. Group A, B dan C. Ketika
giliran groupnya Dilan, aku langsung degdegan! Serius! Sangat berharap groupnya
Dilan akan menang dan terpilih! Tapi pas selesai babak satu, babak dua dan
tiga, hasil perhitungan nilai menunjukkan groupnya Dilan dapat posisi kedua. Aku
sedikit kecewa.
Aku
berharap, groupnya Dilan bisa mengejar ketinggalan pada sesi pertanyaan
rebutan. Itu adalah sesi di mana Sang Penanya akan memberikan pertanyaan kepada
siapa saja, dan yang bisa lebih dulu memijit bel, akan mendapat kesempatan
untuk menjawab. Resikonya adalah, jika jawabannya itu salah, maka akan
dikurangi nilainya.
Dari
jauh aku bisa lihat Dilan nampak terlihat tenang. Iya, bagus, Dilan, harus
gitu! Jadikan ini hari terbaikmu! Tetap semangat. Doaku selalu menyertaimu.
Begitulah aku hari itu. Repot dengan diriku sendiri. Lebih repot dari mereka
yang lebih pantas untuk repot. Biariiiiiin!
Sesi
pertanyaan rebutan dimulai. Sang Penanya mengajukan pertanyaan:“Siapa menteri
Agama Kabinet Pembangunan V?”. Aku senang, pas tahu Dilan berhasil mijit bel
lebih dulu. Yes! Dilan pasti tahu!
Tapi
apa jawaban Dilan waktu itu?: “Mahatma Gandhi!”. Aku langsung kecewa! Bukan
ih!! Munawir Sadjali, Dilaaaaaann!! Aku langsung curiga, dia pasti sengaja!
Pasti!!!
Semua
orang ketawa bahkan ada yang sampai terkekeh-kekeh. Tentu saja, karena penonton
juga tahu, Mahatma Gandhi itu bukan Menteri Agama, tapi seorang Penggerak
Kemerdekaan India!
Kalau
aku pernah sangat jengkel ke Dilan, maka itulah harinya! Tapi, asli, ini adalah
kenangan lainnya dari dia yang tidak bisa kulupakan.
Tidak
cuma itu! Waktu ada pertanyaan:” Jelaskan latar belakang pergeseran kekuasaan
yang membentuk undang-undang dari Presiden menjadi kewenangan DPR?”. Tahu apa
jawaban Dilan? Setelah dia berhasil bisa mijit bel lebih awal? Dia menjawab
dengan tenang:”Tidak tahu, Pak!”.
Semua
orang ketawa. Aku tidak! Serius, aku tidak! Aku justeru jengkel ke dia. Ya,
udah, Dilan, kalau memang tidak tahu, jangan dijawab ih! Jadi aja nilaimu terus
dikurangi dan akhirnya group kamu kalah! Gak jadi deh masuk teve. Aku pandang
dia dari jauh, tapi itu adalah pandangan yang gemas!
Tapi
biar bagaimana pun, itu adalah harinya, di mana dan kapan pun, setiap aku
mengingatnya, aku akan langsung tersenyum.
28
Seandainya
semua anggota gengmotor seperti Dilan, atau minimal Piyan, maka tidak akan ada
seperti si Anhar dan si Kusnadi. Anhar itu anak kelas 3 Sosial. Temannya Dilan,
satu komplotan, sama-sama gengster, sama-sama suka kumpul di warung bi Eem.
Anhar
suka petantang petenteng, seolah-olah, baginya, hanya dirinyalah yang paling
jago di dunia dan akhirat. Truoblemaker dan konon diam-diam, bersama si Engkus,
suka malakin anak-anak kelas satu.
Malahan
ada info dari Rani, katanya, Anhar itu pernah ditahan polisi karena melakukan
tindakan kriminal di jalan. Memalukan! Menjijikan! Tidak elegan! Menghancurkan
citra korpsnya sendiri. Memanfaatkan nama kelompoknya hanya untuk kepentingan
pribadi dan untuk merasa puas bisa menekan siapa pun yang dia anggap remeh!
Di
sini, aku sedang tidak ingin membela Dilan, seolah aku sedang berusaha
menyampaikan bahwa Dilan itu orang suci. Tidak sama sekali. Aku juga tahu Dilan
suka berantem. Aku juga tahu bahwa Dilan pernah diskors, sebelum aku pindah ke
Bandung, karena terlibat tawuran.
Kau
boleh bilang bermilyar-milyar kali bahwa Dilan itu anak nakal, genster
brengsek, atau yang lebih buruk dari
itu. Itu hakmu. Tapi bagiku, Dilan berbeda dengan Anhar dan Engkus. Ini aku
bilang dengan melepas perasaanku kepadanya, biar sedikit bisa objektif.
Sebetulnya,
ingin juga kujelaskan, kepada siapa pun, di sini, bahwa jika Dilan berantem,
sesungguhnya itu lebih disebabkan oleh karena ia ingin membela harga dirinya,
dan kehormatannya. Tapi kayaknya percuma, sebab aku yakin kamu tidak akan
percaya.
Sebelum
aku datang, kata Wati, Dilan pernah berantem dengan anak kelas 3. Gara-garanya
disebabkan oleh karena orang itu bilang ke Dilan, waktu Dilan melewati mereka
yang sedang nongkrong, (kelak di kemudian hari, Dilan menjelaskannya kepadaku
dengan detail):
”Tong
mentang-mentang Anak Kolong lah! Biasa weh! Teu sieun!”. Bahasa sunda,
kira-kira artinya:”Jangan mentang-mentang Anak Kolong lah! Biasa aja! Gak
takut!”. (Anak Kolong adalah sebutan untuk mereka yang ayahnya tentara)
“Kenapa
kamu ngomong gitu?”, Dilan menghampiri orang itu.
“Naon
ieu teh?”, si orang itu balik nanya (”Apa sih ini?”)
“Kenapa
kamu ngomong gitu?”.
“Ngomong
naon?”. Si orang itu masih juga balik nanya (“Ngomong apa? Enggak”)
“Kenapa
kamu ngomong gitu?”, Dilan masih dengan pertanyaan yang sama
“Naon,
Anjing!”. (“Apa, Anjing!?”) Si orang itu akhirnya berdiri dan mulai merangsek.
Dilan
kemudian menghajarnya, dan terjadilah baku hantam. Konon, diawali dengan adanya
kejadian itu, Dilan pernah di rawat di rumah sakit Boromeus, katanya di ruang
Yosep, kamar 1520, dan koma selama 1 hari, akibat terkena tusukan di perutnya.
Itu
terjadi di daerah jalan Merdeka, sekarang Bandung Indah Plaza (BIP). Aku pernah
melihat bekas jahitan di perutnya. Dicurigai sebagai balasan yang harus Dilan
terima. Tapi entahlah. Kasus ini tidak pernah diusut sampai tuntas. Pelakunya
tidak pernah terungkap!!!
29
Aku
yakin, kepada Anhar, Dilan tidak pernah
membicarakan soal dirinya menyukaiku. Karena kalau Anhar tahu, dia pasti tidak
akan berani menggodaku. Sekali waktu, dia pernah nelepon ke rumahku, entah
dapat nomor dari mana.
“Aku
suka merhatiin kamu lho?”
“Oh
ya? Kenapa?”
“Kamu
cantik lah”
“Kamu
temenan sama Dilan?”, aku nanya.
“Iya.
Kenapa gitu?”
“Salam
buat dia!”
“Pengen
ya ke Dilan?”
“Menurutmu?”
“Suka
ya?”
“Tanya
aja dia”
“Nanti
deh aku tanyain”
“Tanyalah”
“Eh
Milea, boleh ga, aku pinjem jaketmu? Biar kalau kupake jadi kerasa dipeluk
kamu”
“Norak
tahu!”
“Tapi
kamu suka kan?”
“Alhamdulilah
enggak”
Obrolan
yang sangat membosankan! Cowok macam apa pengen make jaket cewek! Katanya
gengster, tapi obsesinya malah pengen jadi waria.
30
Siswa
yang terpilih untuk mewakili sekolahku menjadi peserta cerdas cermat di TVRI
adalah Gatot, Haikal dan Ayu. Tapi siswa lain juga boleh ikut untuk menjadi
suporter. Syaratnya harus bayar ongkos untuk biaya menyewa bis ke Jakarta.
Aku
ikut dan senang karena bisa datang ke Jakarta, setidaknya dengan itu bisa
sekalian dimanfaatkan untuk aku bernostalgia. Tapi aku kecewa, karena Dilan
tidak ikut!
Karena
tahu Dilan gak ikut (Aku dapat info dari Piyan), malamnya kutelepon Beni.
Sebetulnya, aku tidak sama sekali berharap ketemu Beni. Aku cuma takut, kalau
kemudian Beni tahu bahwa aku ke Jakarta dan tidak bilang, pasti dia akan marah.
Di
telepon, Beni bilang dia senang. Dia memastikan akan datang ke stasiun televisi
tempat di mana kami akan melangsungkan pertarungan. Tapi pas selesai acara (Tim
kami kalah), Beni belum kunjung datang juga. Sampai-sampai aku mengira, mungkin
Beni ada acara, sehingga dia tidak bisa datang.
Sudah
dicoba kutelepon ke rumahnya, dengan menggunakan telepon umum, tapi yang nerima
ibunya, katanya dia di rumah pamannya.
Setelah
usai acara, sebelum pulang ke Bandung, rencananya kami akan mampir dulu ke
Monas. Jalan-jalan. Tapi sebelumnya,
siswa disarankan untuk mencari makan dulu, yaitu di sekitar kawasan kantor
stasiun televisi. Jangan jauh-jauh.
Nandan
ngajak aku makan, awalnya aku gak mau, tapi karena Novi ikut juga, aku jadi
mau. Pas lagi makan, Novi izin, bilang mau ke toilet. Dia pergi, meninggalkan
aku berdua dengan Nandan. Pada saat itulah Beni datang.
Dia
berdua dengan Saribin, kawan sekelasnya, kawanku juga. Dia langsung duduk di
depanku, karena aku duduk bersampingan dengan Nandan.
“Tahu
dari mana aku di sini?”, kutanya Beni
“Temenmu
ngasih tau. Emang kenapa kalau tahu?”, Beni balik nanya
“Ga
apa-apa. Nanya aja. Kirain ga akan datang”, jawabku.
“Suka
kalau gue ga datang?”, Beni nanya dengan tatapan yang bisa dianggap mengerikan
Aku
diam. Percumalah kujawab. Matanya sudah nyala oleh api cemburu. Dia pasti
marah! Aku tahu siapa dia. Harusnya hal sepele macem ini gak usah terjadi,
seandainya dia bukan orang cemburuan.
Dengan
perasaan gak karuan, aku kenalkan Nandan kepadanya. Beni menyikapinya dengan
mata kebencian. Dia memandang kami menggunakan wajah permusuhan. Aku jadi gak
enak ke Nandan.
Beni
nanya:
“Cuma
berdua?”
“Banyakan.
Tadi, disuruh…”, sebelum jawabanku selesai, Beni memotong:
“Disuruh
apa? Disuruh berpasang-pasangan?”
“Beni!
Apa sih?!”, kataku sedikit teriak karena kesal
“Terus
elu, siapa, lagi?!”. Beni menunjukkan jarinya hampir deket ke wajah Nandan.
Nandan kulihat dia nampaknya ketakutan. Aku langsung merasa kasihan ke dia.
“Beni!”,
aku berdiri.
Beni
berdiri juga seraya membentakku: “Diam kamu!”. Terus dia memandang ke Nandan
sambil bicara dengan nada menantang:
“Lu
pacarnya!?”
“Bukan,
Mas”, Nandan menjawab gemetar
“Terus
ngapain lu berdua?!”, Beni membentak Nandan. Saribin berusaha melerainya.
“Teman
aja, mas. Makan”, kata Nandan
Tiba-tiba
Beni nyoba nampar Nandan. Nandan mengelak, justeru malah membuat Beni makin
jadi emosi. Dia merangsek dan lalu berusaha memukul Nandan. Saribin berusaha
mencegahnya. Aku teriak untuk bisa menghentikannya.
Saribin
berusaha kuat bisa memegang Beni yang terus memaki Nandan. Di saat bersamaan
Novi datang dan langsung merasa bingung dengan apa yang terjadi:
“Pergi,
lu!”, Beni membentak Nandan.
Nandan
pergi bersama Novi yang masih kebingungan. Aku juga ikut pergi, sambil bilang
ke Beni:
“Kita
putus!”
“Dasar
pelacur!” Beni memakiku.
Itu
kata yang bisa kudengar dari banyak kata-kata buruk lainnya yang Beni ucapkan.
Setelah selesai bayar makan, aku jalan bergegas sambil nangis dan langsung
masuk ke bis yang sudah dipenuhi oleh kawan-kawanku.
Dalam
hati yang kacau, aku mendengar Nandan sedang menjelaskan duduk persoalannya
kepada semua orang yang ada bersamanya. Sebetulnya aku berharap dia tidak cerita.
Tapi sudahlah.
Aku
nangis di bis ditemani Sarah, ibu Sri, Wati dan Rani. Mereka berusaha untuk
membuatku tenang. Wati di sampingku, dia nanya ada apa? Tangisanku sedikit
menjadi ketika memeluknya. Memeluk Wati, bagiku, saat itu, rasanya seperti
sedang memeluk Dilan. Serius. Mungkin karena aku berpikir bahwa pada tubuh Wati
ada darah daging yang sama dengan Dilan. Kau tahu lah: Wati adalah saudaranya.
“Kenapa?”,
Wati nanya sedikit berbisik dan mengelus punggungku
“Watiii…”,
“Iya,
kenapa?”
“Dilan….”
“Dilan?”
“Kenapa
Dilan gak ikut…………?”
Aku
nangis dengan perasaan tak karuan, sambil terus meluk Wati. Wati pasti bingung
kenapa kasus ini bisa bersangkut paut dengan Dilan?
Makian
Beni sangat menyakitkan hatiku. Tak kusangka dia akan bilang begitu. Tak kuduga
bahwa hari ini akan ada. Sambil kuseka air mataku, terkenang kalimat Dilan di
telepon, beberapa waktu yang lalu:
“Jangan
pernah bilang ke aku ada yang menyakitimu, Milea”
“He
he he. Kenapa?”
“Nanti,
besoknya, orang itu akan hilang!
“…..”
31
Aku
sakit. Katanya kecapean. Capek apa ya? Enggak tahu lah, dokter bilangnya
begitu. Jangan berdebat, nanti jadi malah tambah sakit. Udah, percaya aja. Aku
disuruh istirahat. Selama tiga hari, aku gak masuk sekolah.
Di
hari kedua aku sakit, beberapa kawan sekelas datang menjenguk. Nandan juga
ikut. Aku temui mereka di ruang tamu. Iya, aku masih bisa jalan, sakitku tidak
parah-parah amat. Satu-satu dari mereka menyalamiku dan mengucapkan doa
kesembuhan.
Mereka
bawa buah-buahan. Nandan diam terus, cuma bilang cepat sembuh. Kayaknya ada
banyak yang ingin dia omongin, terutama ngebahas peristiwa di Jakarta, hanya
waktunya aja yang belum tepat, mengingat akunya juga lagi sakit.
Aku
duduk di situ, di bagian ujung kiri sofa panjang, dan Rani duduk di sampingku.
Galih duduk di samping Rani, di ujung kiri sofa. Nandan duduk di kursi lainnya.
Tatang berbagi duduk dengan Revi di kursi yang beda. Sebagian lainnya pada di
luar, bercengkrama, sambil menyemangati kawannya yang ngambilin jambu batu.
Orang
yang datang, semuanya dari kelas 2 Biologi 3. Kalau jaman dulu sudah ada
handphone, pasti aku sudah akan SMS Dilan. Ingin tahu di mana dia.
Mudah-mudahan sehat selalu. Maaf, Dilan, terserah, kau mau bilang apa, tapi aku
rindu.
“Wati mana?”, kutanya Rani
“Itu
di luar”
“Wat!”,
aku berusaha manggil Wati
“Wat,
dipanggil!” Tatang teriak. Wati datang
“Ya?”
“Sini”
“Sini,
Wat”, Rani manggil, sambil bergeser untuk membagi tempat duduk dengan Wati.
Wati duduk secukupnya di antara Rani dan Galih.
“Ada
apa?”, tanya Wati
“Enggak.
Di sini aja, Wat”, jawabku.
“Itu,
anak-anak lagi pada ngambilin jambu”, kata Wati
“He
he ga apa-apa. Kamu mau?”
“Udah”
“Kalau
mau lagi ambil aja”
Si
Bibi datang, bawa minuman dan kue. Suasana ruang tengah cukup rame. Ngobrol
sana-sini, seperti kebanyakan anak remaja di dunia. Mereka juga membahas soal
kesiapan menghadapi PORSENI. Pekan olah raga dan seni yang akan diselenggarakan
di sekolah.
Telepon
rumah berdering, yang ngangkat si Bibi. Kata si Bibi, itu telepon dari Beni.
“Bilang
lagi tidur aja, Bi”
“Iya”
jawab si Bibi sambil pergi.
Aku
yakin, selama tidak sekolah, sebagian kawan ada yang ngebahas peristiwa di
Jakarta. Entah dari sudut pandang apa mereka beropini. Beredar dari mulut ke
mulut, bagai apa yang membakar jerami kering. Aku pasrah. Bahkan aku tidak mau
membahasnya ketika mereka pada datang ke rumahku.
Berita
itu mungkin sudah sampai juga ke Dilan. Aku gak tahu. Aku belum bertemu Dilan
sejak pulang dari Jakarta. Kalau memang benar sampai, sejak itu Dilan tahu
bahwa ternyata diam-diam aku sudah punya pacar. Aku pasrah, terserah dia mau
bersikap apa kepadaku setelah semua itu.
Telepon
berdering lagi, yang angkat si Bibi lagi. Dari Dilan katanya. Oh!
“Bentar”,
kataku sambil mau beranjak dari dudukku dan lalu ke sana untuk nerima telpon
dari Dilan. Entah mengapa, rasanya, tangan ini rada sedikit gemetar.
“Halo?”
“Kamu
sakit?”, tanya dia, tanpa ba bi bu langsung nanya begitu
“Eh?
Sedikit. Sudah mau pulih. Kamu di mana?”
“Kenapa?”
“Kenapa
apa?”
“Sakit
kenapa?”
“Sakit
biasa. Kata dokter kecapean”
“Ya,
aku harusnya kemaren ikut ke Jakarta”
“Kenapa?”
“Aku
tidak tahu, merasa harus aja”
“Kenapa
harus?”
“Makan
berdua denganmu di Jakarta mengganti Nandan”
“He
he he he. Kan di Bandung juga bisa”
“He
he Iya. Nanti, Milea”
“Kamu
di mana?”
“Tapi
aku nyesal kemaren tidak ikut ke Jakarta”
“Ya
sudah. Gak usah disesali. Kamu di mana?”
“Di
planet bumi”
“Ih!
Serius di mana?”
“Di?
Bentar aku mau nanya orang. Aku tutup dulu ya teleponnya. Nanti kutelepon lagi”
“Eh?
Ha ha ha. Masa’ gak tahu?”
“Bentar,
bentar. Jangan pergi dulu dari situ”. Klik. Dia menutup teleponnya. Aku tunggu
sambil senyum-senyum sendiri. Tak lama telpon pun berdering. Kuangkat.
“Halo?”
“Di
Sekelimus”, katanya. Sekelimus adalah nama daerah di kawasan Buahbatu
“Ha
ha ha ha Kamu beneran nanya?”
“Iya”
“Ha
ha ha ha. Sini, Dilan. Ada Wati”
“Ngapain
dia di situ?”
“Sama
yang lain, pada nengok aku katanya?”
“Oh?
Kamu masih sakit?”
“Sudah
mendingan. Sini, Dilan”
“Iya.
Iya. Aku ke sana”
“Serius?”
“Serius
enggak ya? Bentar aku tanya orang. Aku tutup dulu ya teleponnya?”
“Gak
usah heh!!!”
“Ha
ha ha ha ha ha”
“Udah,
pokoknya aku tunggu”
“Iya.
Aku ke sana sekarang”
Waaah,
Dilan mau datang. Senangnyaaaaa!!
32
Habis
nerima telepon Dilan, aku ke kamar. Aku tak ingin bilang ke kawan-kawan bahwa
Dilan akan datang. Biar kalau mereka lihat aku ganti baju, ya karena memang
ingin ganti baju aja. Biar, kalau mereka
lihat aku nampak segar, ya karena ingin cuci muka aja.
Aku
kembali ke sana, menemui kawan-kawan di ruang tamu: Menunggu Dilan! Entah
bagaimana rasanya, aku ingin jadi penyair untuk bisa bagus mengatakannya.
Setelah
agak lama menunggu, aku mendengar ada dialog di luar:
“Ada,
di dalam, masuk aja”, kata Didin, teman sekelasku.
Tapi
itu bukan Dilan. Itu ibu-ibu yang sudah tua. Mungkin usianya sudah 60-an. Dia
masuk dan bilang mau ketemu dengan Milea.
“Ada
apa, Bi Asih?”, tanya Wati. Rupanya dia kenal.
“Eh
Neng Wati”, Bi Asih menyapa Wati
“Iya,
Mak? Ada apa?”, tanyaku.
“Saya
disuruh ke sini. Katanya ada yang mau dipijit?”
“Mijit?”
aku nanya seolah pada diri sendiri.
“Mijit
siapa?”, tanya Wati.
“Siapa
namanya? Mila, Milea….“, kata Bi Asih
“Disuruh
siapa, Mak?”, tanya Nandan. Kawan-kawan di luar, sebagian pada masuk ingin tahu
ada apa.
“Ade
Dilan. Tadi nganterin ke sini”, jawab Bi Asih
“Tuh
da si eta wae. Pieraeun!”, ujar Wati, yang artinya “Kaaan dia lagi. Bikin malu
aja”
“Mana
si Dilannya?”, tanya Wati
“Katanya,
tadi mau ada perlu dulu. Katanya sebentar. Nanti ke sini lagi katanya”
“Ha
ha ha ha ha”, aku ketawa, entah mengapa aku ketawa, “Ya udah, sini, Mak! Duduk
sini. Tang, biar si emak duduk di situ”.
Tatang
berdiri, Revi juga:”Di sini, Mak”
“Kok
Dilan bisa ketemu emak di mana?”, tanyaku.
“Ini
mah Bi Asih. Tetanggaku, suka mijit”, kata Wati
“Tadi.
Dilan datang ke rumah. Nenek kan suka mijit ibunya Dilan, Neng”, Bi Asih
menjelaskan.
“Oooh
gitu. He he he”, Aku senyum, “Ya udah.
Sini, Mak. Di sini mijitnya. Ran, geser, Ran”, kataku lagi. Aduh, Dilan!
33
Dengan
masih tetap duduk menyandar, sebelah kakiku kulonjorkan di kursi. Bi Asih
memijitnya. Aku bilang ke dia jangan keras-keras. Asal aja. Asal pijit aja. Aku
tidak pernah dipijit. Maksudku, itu cuma sekedar untuk menghargai bantuan
Dilan. Aku senyum-senyum gak jelas. Dilan mana? Belum datang juga.
Kawan-kawan
jadi pada ngobro soal Dilan. Cerita tentang Dilan yang belum pernah kudengar,
karena terjadi sebelum aku pindah ke Bandung. Aku senang mendengarnya. Sangat
senang. Serius. Bahkan rasanya aku siap jika harus membahasnya sampai malam.
Sedangkan
Nandan, kulihat, seperti tidak tertarik untuk ikut membahasnya. Dia asik bicara
dengan Galih, entah soal apa.
Mereka
cerita, dulu di sekolah pernah heboh oleh adanya tulisan di sepanjang jalan
menuju sekolah. Tulisannya: “Hamid Loves Dilan”, ditulis dengan kapur.
“Hamid
itu siapa?”, kutanya
“Hamid!
Hamid Kepala sekolah!”
“Oh?
Ha ha ha ha. Terus apa kata guru?”, kutanya lagi
“Gak
tau, katanya dipanggil Pak Suripto ya?”
“Iya”
“Pasti
si eta sorangan lah nu nulisna”, kata Wati. (Pasti dia sendiri lah yang
nulisnya)
Si
Bi Asih kulihat dia senyum juga mendengar obrolan itu.
“Bi
Asih kenal Dilan?”, kutanya dia.
“Kenal,
Neng. Kan suka nganterin Emak kalau sudah mijit ibunya”
“Naik
motor?”, tanyaku. Kawan-kawan bersikap seperti orang yang ingin menyimak kisah
Bi Asih
“Iya,
Neng, naik motor. Ke rumah. Emak pernah dianterin, gak tahunya mampir ke warung
dulu”
“Ngapain?”,
tanyaku
“Itu,
diajak ngopi. Ada temen-temennya di situ”
“Emak
ikut ngopi di situ?”
“Iya”
“Da
si eta mah…ha ha ha ha” Wati keburu ketawa sebelum meneruskan kalimatnya. Aku
juga ketawa, yang lain juga. (Artinya: Tuh kan dia itu)
“Ngapain
aja Emak di situ?”, tanya Revi
“Duduk
aja?” tanyaku
“Itu,
disuruh cerita pacaran Emak sama suami Emak waktu muda”, jawab Bi Asih
“Didengerin
sama anak-anak yang di situ?”, tanyaku
“Iya”
“Kapan
itu, Bi Asih?”, tanya Wati
“Kapan
ya, udah lama”
Aku
ingin mereka gak pada pulang. Atau jangan pulang sekalian. Aku ingin mereka
terus di sini bersamaku cerita tentang Dilan.
“Katanya
pernah dimarah Bu Juang ya?”, kata si Rani. Bu Juang adalah wali kelas 2 Fisika
1.
“Kenapa?”,
tanyaku
“Kan
waktu si Teguh gak sekolah. Si Dilan bikin surat buat guru. Surat izin gitu.
Tapi kata temen, tulisannya, kalau gak salah: Hari ini Teguh tidak bisa masuk
sekolah karena lupa”. Si Teguh itu anaknya Bu Juang.
“Iya
gitu?”, tanya Revi
“Iya.
Kan Bu Juangnya marah”
“Kayak
cari perhatian gitu”, timpal Nandan
“Bukan
cari perhatian. Dia mah emang gitu, di rumah juga”, kata Wati.
“Gitu
gimana?”, tanyaku
“Kakeknya,
kan kakek aku juga, masa coba ditangannya digambarin jam tangan?”
“Ha
ha ha”
“Pake
spidol! Si Kakek nya lagi, mau aja!”
“Ha
ha ha ha kayak anak kecil?”, tanyaku
“Iya
Ha ha ha. Teu sopan pisan!” kata Wati (Gak sopan)
“Jadi
pada ngomongin Dilan gini”, kata Nandan
“Biarin
ih. Rame”, kataku
“Dosa
lho. Ini mau ke sekolah lagi atau pada mau langsung pulang?”, tanya Nandan
kemudian.
“Aku
mah langsung pulang aja kayaknya”, kata Revi
“Aku
juga”, kata Wati
“Hayu
atuh”, kata Nandan
Bersamaan
dengan itu, di luar terdengar suara motor yang masuk ke halaman rumahku. Ya
betul, itu Dilan! Datang dia menembus gerimis.
Dia
menyapa orang-orang yang ada di luar, dan langsung masuk ke dalam.
“Rame
gini!”, katanya.
“Tuh
De Dilan”, kata Bi Asih
“Buka
sepatunya!”, kata Wati seperti menghardik
“Oh”
“Ga
apa-apa. Pake aja”, kataku
Semua
orang senyam-senyum. Mereka senyum pasti berkaitan dengan Dilan yang sudah
nyuruh tukang pijit datang ke rumah. Kuturunkan kakiku, yang sedang dipijit Bi
Asih.
“Terimakasih
udah ngirim Bi Asih”, kataku sambil senyum ke dia.
“Sama-sama.
Gimana? Udah mendingan?”, tanya Dilan
“Iya”
“Udah
dipijitnya, Nek?”, tanya Dilan ke Bi Asih. Dia manggilnya Nenek.
“Udah.
Tadi. Baru sebentar”
“Kamu
teh apa sih, nyuruh-nyuruh Bi Asih datang ke sini?”, Tanya Wati (Teh=ini)
“He
he kan kalau aku yang mijit, pasti gak boleh”
“Kami
sudah pada mau pulang, Lan”, kata Nandan sambil mulai berdiri dari duduknya.
“Eh,
kenapa?”, tanya Dilan
“Udah
dari tadi”, jawab Tatang yang sama berdiri dari duduknya.
“Ya
udah kalau gitu. Aku mau nemenin Lia dulu. Pada naik apa?”
“Angkot”,
jawab Tatang
“Hayu
atuh“, kata Nandan (kalau gitu)
“Kami
pulang dulu ya! Lan, pulang dulu ya”, kata Rani sambil dia berdiri
“Iya,
Ran”, jawab Dilan
“Makasih,
semuanya, sudah pada nengok”, kataku sambil mulai berdiri. Kulihat Nandan
seperti orang murung atau apalah istilahnya. Kalau aku boleh shuudzon: Nandan
mungkin cemburu, sebab dia tahu, nanti hanya akan ada aku, Dilan dan Bi Asih
ketika semua pada pergi. Dia pikir, awalnya, kalau mereka pada pergi, Dilan
juga akan sama ikut pergi.
Wati
mendekat ke Dilan dan bicara pelan sambil menadahkan tangannya:”Lan, ta duit!”.
Artinya: “Lan, minta duit”
“Buat
apa?”
“Ongkos
he he”
Kulihat
Dilan ngasih.
“Makacih”
Setelah
itu, Wati dan yang lainnya pada pergi.
“Masih
gerimis padahal”, kataku berdiri di samping Dilan
“Ga
apa-apa, kecil kok”, jawab Revi.
Aku
bermaksud mau ngantar mereka. Tapi tangan Dilan bergerak menghalangi:”Gak usah,
Lia. Gerimis”
“Ga
apa-apa”
“Mau
bikin aku senang?”, tanya Dilan, suaranya pelaaaaan sekali sambil memandangku.
“Apah?”,
tanyaku kupandang lagi matanya dengan suara yang sama berbisik
“Udah,
duduk aja”
“Iya”
Entah,
apakah dialogku dengan Dilan kedenger oleh mereka atau tidak. Aku gak tahu. Aku
kembali duduk di sofa, melihat kawan-kawanku pada sibuk make sepatu:
”Makasih
ya!”, kataku sedikit berseru.
“Iya.
Cepat sembuh ya”
“Makasih”
“Assalamualaikum!!!”
“Alaikumsalam”
Mereka
pada pergi, diantar Dilan sampai sejauh pintu pagar. Gerimisnya tidak besar,
cuma berupa seperti arsiran kecil. Aku bisa melihatnya dari sini, dari dalam
ruang tamu.
Juga
bisa lihat Dilan yang nampak ngobrol dengan Agus dan Wati, entah soal apa, yang
pasti kulihat Wati memonyongkan mulutnya ke Dilan sebelum dia bergerak pergi.
Dan Dilan ketawa.
“Bi!”,
kupanggil si Bibi
“Ya?”
“Minta
handuk!”
“Handuk?”
“Iya.
Handuk Lia, Bi!”
34
Si
Bibi ngasih handuk dan bilang mau keluar dulu, ke warung, ada yang harus
dibeli. Kemudian Dilan masuk.
“Ini”,
aku kasihin handukku. Dia ambil. Dia selendangkan di lehernya. Ih! Itu mah
tukang becak, Dilan! Terus aku duduk di samping Bi Asih:
“Nek,
cerita tentang kejelekan Dilan, dong”. Aku juga jadi manggil Nenek.
“Enggak
boleh ngejelekin orang”, kata Bi Asih
“He
he he”, Dilan ketawa
“Yang
bagusnya aja, kalau begitu”, kataku
“Yang
itu, Nek, yang waktu nenek mijit ibu, terus kuganti, yang mijitnya jadi aku.
Ibu gak tahu. Telungkup sih”, kata Dilan
“Ha
ha ha”, aku ketawa
“Kan,
terus Ibu kamu tahu!”, kata Bi Asih
“Yang
bagusnya apa ya? Ini…, Nek, yang nenek masuk sumur, terus aku tolong”, kata
Dilan
“Kapan?”,
Bi Asih nanya sambil mengernyitkan dahinya
“Ha
ha ha”, aku tidak bisa nahan ketawa. Ini apaan? Kisah heroik maksudnya?
“Nenek
pingsan sih, jadi aja gak tahu”, kata Dilan, sambil kupandang matanya yang
memandang Bi Asih.
“Ga
pernah masuk sumur Nenek mah”, kata Bi Asih
“Ha
ha ha”, aku ketawa
“Si
Nenek ini usia sebenernya masih 26 tahun, Lia”, kata Dilan kepadaku
“65!”,
timpal Bi Asih
“Keliatannya
aja”, kata Dilan
“Enggak.
Usia Nenek emang 65!”, sergah Bi Asih
“26,
Neneeeeeeeek!!!”, kata Dilan
“Ha
ha ha jadi debat gini”, kataku sambil lebih mendekat ke Bi Asih
“Bentar,
Lia, biar, soal ini saya yang urus. Kamu kan lagi sakit”, kata Dilan kepadaku
“Urus
apaan!!?”, tanyaku
“Masalah
usia ini”, jawab Dilan
“Ha
ha ha! Aku sih percaya sama Nenek, ya, Nek?”, sambil kucondongkan badanku untuk
meluk bahu Bi Asih, seraya memandang Dilan
“Iya”,
jawab Bi Asih sambil sama mencondongkan badannya ke arahku, seolah-olah itu
sengaja biar bisa bebas kupeluk. Seolah-olah dengan itu, dia sedang
menggabungkan dirinya untuk membuat kekuatan: melawan Dilan. Aku senyum
memandang Dilan, wajahnya seperti orang yang mikir harus ngomong apa lagi.
“Nenek,
kenapa coba, Nenek suka sama Pak Andar?”, Dilan nanya
“Pak
Andar mana?”, Bi Asih balik nanya. Kulihat ada kernyitan di dahinya
“Pak
Andar, itu suaminya Bu Irma”.
“Enggak,
Nenek mah!”, jawab Bi Asih
“Berarti
gosip”, kata Dilan
“Ha
ha ha ha”
Tiba-tiba
kudengar telepon berdering. Aku angkat. Ya tuhan, itu dari Beni. Beni bilang
dia sudah di Bandung. Mau ke rumah. Hah?! Aku asli kaget. Katanya mau ngebahas
soal hubungan dia denganku. Penting!
Tadinya
mau kularang dengan alasan yang bisa kucari. Tapi aku merasa tidak perlu
berdebat di telepon. Ini tidak baik. Kuatir Dilan mendengar. Gak enak. Aku
hanya bilang iya saja. Silakan!
Masalah
kedua adalah, aku tidak mau, pas nanti Beni datang, dia mendapati ada Dilan di
rumahku. Mungkin Beni tak akan lagi melabraknya. Tapi aku merasa ini tak akan
bagus.
Aku
bingung. Demi Tuhan aku bingung. Haruskah aku nyuruh Dilan untuk pulang? Entah bagaimana
caranya? Aku takut dia akan merasa diusir. Kamu pasti tahu, aku sangat suka
bahwa ada Dilan di rumahku, apalagi sedang seru, tapi ini bukan waktu yang
tepat.
Akhirnya
aku bilang ke Dilan bahwa, kepalaku sakit, aku merasa perlu tidur. Tapi kalau Dilan
mau duduk-duduk, silakan aja. Dilan menjawab:”
“Iya!
Kamu harus tidur. Biar kami pulang saja”. Aku sedih mendengar kalimatnya. Aku
merasa bersalah. Maaf, Dilan. Demi Tuhan, padahal aku sudah sangat senang ada
kamu. Bahkan sudah lama kurindukan hari yang seperti ini. Kupandang matanya.
“Kamu
pergi sekarang, Dilan?”. Seperti berat rasanya membiarkan dia pergi
“Iya.
Kamu tidur. Istirahat. Biar lekas sembuh, lincah kembali”
“Iya”.
Berat sekali saat kubilang “iya”
“Nenek
yang bawa motor?”, Dilan nanya ke Bi Asih sambil menyodorkan kunci motor
“Gak
bisa”
“Ya,
udah, Nenek yang dorong”
“Mogok
gitu?”
“Pura-pura
mogok aja, Nek”
“Pura-puuuura?
Biar apa?”
“Biar
Nenek capek”
Aku
ingin ketawa. Sangat ingin ketawa apalagi melihat muka Bi Asih yang polos. Tapi
yang keluar cuma “He he he” karena kehalang oleh pikiran kalut soal Beni mau
datang ke rumahku. Beni, kenapa kau Datang??????? Iiiiiiiiiihhhhh!!! Aku
kesal!!!!!!!!!!!
Dilan
pamit bersama Nenek. Gerimis sudah reda. Aku salaman dengan mencium tangan
Dilan, entah mengapa, itu refleks!
“Heh,
Nek, Lia cium tangan”, kata Dilan ke Bi Asih
“Kayak
ke suami aja”, jawab Bi Asih. Amiiin, Bi Asih!
Sebenarnya
aku ingin ngomong gini ke Dilan:
“Dilan,
Aku ingin bicara banyak denganmu! Kapan ada waktu? Tolong aku, Dilan! Ini serius”
Tapi tidak kukatakan, sampai Dilan pergi bersama Bi Asih yang disuruh Dilan
untuk memeluk tubuh Dilan.
“Sekarang
Nenek dulu. Nanti kamu!”, Dilan bilang gitu sebelum tadi pergi, sambil menatap
mataku.
“He
he he. Itu ramalan?” tanyaku, sambil kulihat tangan Bi Asih melepas tangannya
dari memeluk Dilan
“Itu
tawaran”, jawab Dilan sambil meraih lagi tangan Bi Asih untuk kembali
memeluknya
“Insya
Allah” jawabku,
“Malam
ini, kalau mau tidur, jangan ingat aku ya Lia!”, katanya
“Iya
he he”
Hati-hati,
Dilan, Bi Asih!! Dan, Maaf! Juga doakan, persoalanku dengan Beni bisa kutangani
dengan baik, sampai aku bebas dari dia. Terimakasih, tadi rame, Dilan.
35
Beni
benar-benar datang. Dia ditemani pamannya, Mas Ato. Aku kenal, dia seorang
pengacara. Mas Ato suka ikut kalau aku diajak oleh keluarga Beni makan di
restauran.
Beni
nampak bersikap baik. Bersikap seolah dia benar-benar menyesal dengan apa yang
dilakukannya di Jakarta tempo hari. Beni sengaja bawa Mas Ato, kepadanya, dia
ingin mendapat bantuan agar hubungan aku dengan Beni baik kembali.
Mas
Ato bilang, bahwa peristiwa di Jakarta adalah soal biasa. Sangat lumrah di
dalam hubungan pacaran. Romantika di dalam asmara. Beni juga cuma manusia, dia
bisa khilaf. Mungkin Beni lagi kalut. Atau mungkin karena Beni merasa bahwa
Milea itu adalah segalanya. Sangat istimewa. Sehingga wajarlah kalau Beni
was-was akan diambil orang lain. Apalagi Beni masih muda, darah mudanya, tahu
lah, masih bergelora
Mas
Ato bilang, bahwa dia bukan bermaksud mau membela Beni. Dia akui Beni salah,
Beni juga sudah ngaku salah ke Mas Ato. Ya, semua manusia pasti pernah salah.
Mas Ato sama Beni sengaja datang ke Milea, berharap Milea mau maafin Beni. Akur
lagi. Berhubungan lagi seperti sebelumnya dan tidak akan mengulangi lagi dengan
apa yang sudah terjadi. Apalagi Milea kan sudah kenal dengan keluarga besar
Beni. Mudah-mudahan ini menjadi pendidikan untuk jadi lebih dewasa.
Selagi
Mas Ato bicara, kulihat Beni diam terus. Seolah semuanya sudah diatur oleh Mas
Ato dia harus bagaimana. Lalu kataku pada Mas Ato:
“Mas
Ato”
“Ya,
Lia?”
“Terimakasih
sudah datang”
“Sama-sama.
Makasih sudah mau nerima kami”
Tiba-tiba
telpon berdering. Aku izin ke mereka untuk ngangkat telepon, barangkali itu
dari Ibu yang lagi pergi sama adik ke rumah dinas ayahku. Ternyata itu telpon
dari Dilan
“Hey!
Kok kamu yang ngangkat?”, tanya Dilan
“Emang
kenapa?”
“Kan
Lia harus tidur?”
“Tadi
ke dapur, sebentar. Ada apa?”
“Boleh
bicara sama si Bibi?”
“Mau
apa?”
“Kupikir
yang akan ngangkat si Bibi”
“Mau
apa ke si Bibi?”
“He
he he mau nitip. Jagain kamu he he he”
“He
he he. Makasih”
“Kalau
ada apa-apa, panggil aku”
“Biar
apa?”
“Pasti
gak akan kedenger”
“He
he he jauh”
“Bukan”
“Apa?”
“Eh
iya bener, jauh. Stop jangan lama-lama bicara. Kamu harus tidur”
“Iya.
Makasih. Si Bibinya masih ke warung”
“Iya,
ga apa-apa”
Setelah
selesai nelepon, aku kembali ke mereka.
“Bagaimana
menurut, Lia?”, tanya Mas Ato
“Boleh
aku pikirin semalam?”
“Untuk?”
“Ini
bukan masalah sepele, Mas Ato”
“Saya
mengerti”
“Besok
nanti ku telepon kamu”, kataku pada Beni
“Kenapa
harus dipikirin?”, tanya Beni
“Iya,
Beni. Biar Lia mikir dulu”, timpal Mas Ato
“Atau
gue telepon besok?”, tanya Beni
“Biar
gue aja yang nelepon”, jawabku
“Ya,
mudah-mudahan. Semuanya akan beres dengan baik-baik. Lia bisa mengerti dan Beni
bisa introspeksi”
Setelah
semuanya. Mereka pamit pulang, bertepatan dengan si Bibi datang. Si Bibi
bersaling sapa dengan Beni. Mereka memang saling kenal. Setelah mereka pulang,
aku masuk ke kamar. Tiduran dengan pikiran yang tidak karuan. Aku ingin punya
nomor telepon rumah Dilan! Mungkin nanti akan kutanya ke Wati.
36
Adikku
sedang main piano. Aku duduk di samping ibuku yang sedang nulis, lalu kubilang
ke dia:
“Bu,
tadi ada Dilan lho. Main ke rumah he he”
“Dilan??”,
dia menoleh ke aku
“Itu
ih, yang ngasih kado Ultah TTS”
“Oh
ya?”
“Iya
he he”
“Ngasih
TTS lagi? He he”, tanya dia sambil terus nulis
“Ngasih
tukang pijit ha ha ha ha”
“Hah?
Maksudnya?”, dia berhenti dari nulisnya
“Bawa
tukang pijit, Ibuuu ha ha ha”
“Buat
apaaaa?”
“Buat
aku!”
“Dikasihin?
Gimana? Gak ngerti”
“Iya.
Dia tadi bawa tukang pijit, coba. Aku jadi dipijit. Udah itu dia pulang”
“Hah?
Ha ha ada-ada aja”
“Iya.
Baik”
“Jadi
penasaran, pengen ketemu, kayak apa sih dia?”
“Kalau
ibu masih muda, suka gak sama orang kayak Dilan?”
“Mungkin”
“Kok
mungkin?”
“Ya,
kalau ternyata dia suka marah-marah, cemburuan, jahat, mana ibu akan suka”
Aku
jadi langsung inget Beni. Ah, lupakan! Aku gak mau ambil pusing. Aku ingin
mikir yang seneng-seneng dan tidur. Ya, oke, besok siang kutelpon Beni. Hanya
ada satu kata dariku: Putus!. Terserah dia mau bilang apa. Terserah dia mau
gimana habis itu. Itu keputusanku. Aku siap menghadapi resikonya.
Mas
Ato, kejadian macem kemaren di Jakarta, bukan sekali dua kali. Sering, Mas Ato.
Selama ini aku mungkin bisa menahannya, tetapi yang kemaren, entah mengapa
susah rasanya bisa kumaafkan. Lelaki macam apa, tega marahi pacarnya di muka
umum!
Mungkin
aku tidak berharga bagi orang lain, Mas Ato, sehingga wajar jika mereka tidak
menghargaiku, tapi jika Beni pun bersikap sama begitu kepadaku, buat apa dia
jadi pacarku! Aku ingin sama dia, Mas Ato, mungkin selamanya jika perlu, tetapi
ada syarat, akunya harus menjadi manequine.
Oke,
aku sayang dia, Mas Ato. Tapi apakah dia begitu kepadaku? Jika dia bilang iya,
buktikan dengan sikap dan perilaku! Kukira, jika dia mencintai diriku, tetapi
sesungguhnya dia mencintai dirinya sendiri, yang ingin merasa bahagia karena
bisa mendapatkan diriku.
Di
Bandung, aku bertemu dengan seseorang, Mas Ato. Perlukah kubilang kepadamu
siapa dirinya? Bahkan ibuku nyaris tak percaya bahwa ada orang macam dia di
dunia. Dia tidak hebat, Mas Ato, tidak, malah mungkin biasa saja. Tapi bisa
membuatku senang hanya dengan hal sederhana.
Memahami
sikap orang itu kepadaku, aku selalu seperti mendapatkan rasa aman, bahkan di
saat ketika dirinya jauh! Sampai-sampai, dalam hatiku, Mas Ato, ketika aku
pergi dan pulang sekolah, selalu seperti sedang bicara, ayo siapa yang mau
ganggu aku, silakan sekarang juga, kalau kamu berani sama dia!
Aku
bukan mau bilang orang itu jagoan, Mas Ato, tapi sebagai wanita aku merasa
dilindungi! Kau tahu, Mas Ato, dia pernah bilang apa ke aku? “Lia, kalau kamu
merasa tidak kuperhatikan, Maaf, akunya sibuk merhatiin lingkunganmu,
barangkali ada orang mengganggumu, kuhajar dia!
Aku
bukan mau bilang dia hebat, Mas Ato, tapi dia bisa selalu membuatku ketawa. Ya,
aku pernah kecewa padanya, ya, aku pernah, Mas Ato, tahu kenapa? Karena aku tidak
bisa bertemu denganya!!!!!!!! Maaf jika terlalu berlebihan tentang dirinya,
harap maklum, Mas Ato, mungkin karena aku suka kepadanya
Ah,
sudahlah. Aku mau tidur. Ngapain juga kupikirin lama-lama soal Beni, toh mulai
besok semuanya akan berakhir. Kuambil selimut untuk menutupi tubuhku. Di luar
sedang hujan. Kupejamkan mataku dan langsung kuingat perintah Dilan, sore tadi:
“Malam ini, kalau mau tidur, jangan ingat aku ya Lia!”. Tapi. maaf, Dilan jika
tidak kuikuti perintahmu!
“Selamat
tidur juga, Dilan”
37
Hari
itu aku masih tidak sekolah, karena surat izinnya berlaku sampai selama tiga
hari. Aku mendapat telepon dari Dilan, kira-kira saat di sekolah sedang
waktunya istirahat.
“Hey”,
kusapa dia
“Aku
lagi istirahat nih. Capek!”, jawab Dilan, suaranya terengah-engah begitu
“Habis
ngapain gitu?”
“Belajar”
“Ha
ha ha”
“Kenapa
ketawa?”
“Ga
apa-apa. Kenapa emang kalau ketawa?”
“Aku
senang mendengarnya”
“He
he he kamu sudah makan?”
“Aku
tadi sudah makan belum?” Dilan kayaknya nanya ke orang yang ada di sebelahnya
“Nanya
ke siapa?”
“Ini,
ibu-ibu, yg lagi antri nunggu telepon”
“Hah?
Ha ha ha ngapain?”. Tanyaku. Dilan memang nelepon menggunakan telepon umum
“Bu,
mau kenalan gak sama Lia?”, dia pasti nanya lagi sama orang yang lagi antri
itu,”Enggak katanya! Sombong”, sambung Dilan
“Ha
ha ha. Bilangin ke dia, nanti menyesal gitu”
“Malu”
“Tadi
kamu gak malu nanya-nanya dia?”
“Oh
iya. Bentar. Bu, nanti menyesal lho”
“Ha
ha ha ha ha”
“Cantik
ibu!”
“Ha
ha ha ha ha”
“Mau
nomor teleponnya gak?!”, dia masih nanya ke orang yang antri itu.
“Ha
ha ha jangan dikasihin, Lan, biar dia cari sendiri”
“Eh
jangan kenal deh, Bu”
“Kenapa?”,
kutanya
“Nanti
ibu jadi cinta”
“Ha
ha ha ha lesbi”
“Saingan
deh sama aku”
“Ha
ha ha ha ha”
“Tapi
aku lagi sedih, Bu, dia tiga hari gak sekolah”
“Ha
ha ha Besok sekolah. Bilangin”
“Bilang
ke siapa?”
“Ke
kamu”
“Ha
ha ha ha ha ha”
Dilan!
Aku tahu sebenarnya tidak ada ibu-ibu yang lagi antri di situ. Itu cuma
pura-pura. Tapi gak apa-apa, Dilan, terimakasih, aku senang.
“Lia,
udahan dulu ya”
“Iya”
“Jangan
lupa apa?”
“Jangan
lupa apa?”, aku tanya balik
“Ingatan”
“Ha
ha ha ha ha”
“Sun
jauh jangan?”
“Ng…boleh
deh”
“Eh,
jangan deh”
“Kenapa?”
“Kenapa
ya? Malu ngomongnya”
“Masa
Dilan malu?”
“Oke.
Jangan sun jauh, nanti aja sun dekat”
“Ha
ha ha ha ha ha ha. Si ibu itu masih ada?”
“Terbang”
“Terbang?
Kok bisa?”
“Ibunya
burung”
“Iiiiihh!
Ha ha ha ha”
Habis
Dilan nelepon, aku tiduran di kursi. Tadinya aku mau nelpon Beni, tapi dia
pasti sedang sekolah. Nanti saja, nanti sore. Kurebahkan badanku sambil membaca
koran Pikiran Rakyat, dan aku terkejut karena ada kartun di kolom Humor dengan
tandatangan Dilan sebagai pembuatnya!
Aku
nyaris tak percaya, sampai membuatku terduduk untuk lebih memastikan bahwa
kartun itu benar-benar karya Dilan. Iya betul itu bikinan dia! Kenapa tidak
bilang, Dilan? Asli, aku terperangah! Aku bawa masuk koran itu ke kamar, sambil
telungkup kulihat lagi kartun itu! Tiba-tiba terdengar suara telepon rumah
berdering. Si Bibi yang ngangkat, katanya itu dari Beni.
38
Dengan
sangat malas kuterima telepon dia. Ini saatnya aku harus bersikap tegas.
“Gimana,
Beb?”, Beni nanya
“Gue
Milea, Bukan Beb. Gue Pelacur”, jawabku. Heran aku bisa berani bilang gitu.
Heran, biasanya aku bersikap lemah ke dia. Heran, belakangan ini aku selalu
merasa yakin bahwa aku akan aman ada Dilan.
“Oke,
jangan dibahas lagi soal itu. Gimana?”, dia nanya
“Gimana
apa?”
“Maafin
gue, Lia, gue ngaku gue khilaf”
“Udah
gue maafin”
“Makasih.
Gue gak bisa pisah dari elo”
“Elo
kan laki-laki, masa gak bisa sendiri?”
“Ha
ha ha maksud gue, gue ingin terus jalan sama elu”
“Kalau
gue ga mau?”
“Please,
tolong mengerti gue. Gue ga ada artinya tanpa elu”
“Maksud
lu, kalau tanpa gue, lu cowok yang ga ada artinya?”
“Iya,
Lia”
“Gue
nyari cowok yang punya arti buat gue”
“Lia,
tolong gue”
“Gue
butuh laki-laki yang bisa nolong gue, bukan yang minta tolong”
“Please,
Lia, gue…..gak tau harus gimana, tolong mengerti, gue…..”
“Kenapa
lo nangis?”
“Gue
gak tau, please, terima gue apa adanya”
“Maksud
lu, gue harus nerima lu apa adanya yang bilang gue pelacur?”
“Udah
jangan bahas itu lagi. Gue nyesel. Gue..gue..”
“Lu
mau nerima gue apa adanya?”
“Iya,
Lia. Gue nerima elu apa adanya”
“Nerima
gue yang lagi mencintai seseorang di Bandung?”
“Jadi
lu bener sama dia?”
“Maksud
lu, sama orang yang lu tampar itu?”
“Iya?”
“Bukan
dia”
“Siapa?”
“Siapa
pun orang itu, elu mau nerima gue apa adanya yang lagi mencintai seseorang?”
“Capek
gue!!!!”
“Istirahat
kalau capek! Cuma masalah begini, elu sudah mengeluh”
“Elu
juga mengeluh dengan sikap gue kan!!??”, Beni mulai keliatan aslinya
“Gue
mengeluh karena punya cowok macem elo”
“Setan!”
“Jangan
nelepon dengan setan!”
“Anjing!”,
Beni menutup teleponnya.
Aku
kembali ke kamar dalam tatapan Si Bibi yang ingin tahu ada apa gerangan. Aku
tidak nangis. Aku marah. Sedikit banyak, sekarang semua sudah tahu siapa Beni,
mudah-mudahan jadi maklum, kalau misal harus kupilih Beni atau Dilan, aku akan
memilih pergi dari Beni. Terserah kau mau bilang apa, tapi aku yakin, jika kau
adalah diriku, kau akan bersikap sama denganku!
39
Aku
masuk sekolah lagi bersama pagi yang indah di Bandung. Selalu begitu rasanya.
Menembus kabut tipis bersama Revi dan Agus, menyusuri jalan untuk menuju
sekolah. Aku menoleh ke belakang untuk suara motor yang datang: Dilan!
Ini
jarang terjadi, biasanya Dilan datang ke sekolah, selalu setelah aku sudah
sampai di sekolah. Motor itu makin mendekat diiringi oleh perasaanku yang
senang. Ya senang, bercampur deg-degan. Aku yakin, Dilan akan segera di
sampingku bersama motornya yang dibikin pelan untuk menyamai kecepatanku
berjalan.
Aku
harus pura-pura tidak tahu bahwa ada dia di belakang, meskipun ujung mataku
sudah siap menunggu untuk memastikan apakah dia sudah ada di sampingku atau
belum. Kurangkai kata-kata untuk menjawab Dilan kalau nanya.
Yes,
motor itu sudah ada di sampingku, tapi tidak seperti yang kuduga, dia terus
maju melewati kami. Heh? Kenapa Dilan? Kau tahulah bagaimana rasanya mengetahui
dia lewat begitu saja. Seolah-olah aku ga ada. Aku nyaris sedih, tapi gak jadi,
karena kulihat dia putar balik motornya dan berjalan di sampingku
“Hey,
kamu Milea ya?”
“Ha
ha ha ha ha”, aku ketawa, aku tahu harusnya aku tidak ketawa. Tapi gak tahu kenapa
ketawa.
“Boleh
gak aku meramal?”, dia nanya
“Ha
ha ha ha ha Kita akan berjumpa di kantin?”
“Kita
tidak akan berjumpa di kantin”
“He
he he Jumpa di mana?”
“Di
sini”
“Ha
ha ha ha”
“Pagi,
Agus, Revi”, dia menyapa Agus dan Revi
“Pagi”,
jawab Agus dan Revi
“Ke
aku enggak?”, tanyaku
“Nanti
di warung bi Eem”
“Kok?”
“Nanti
istirahat kuajak kamu ke warung Bi Eem. Jangan mau”
“Kenapa?’
“Nanti
kamu menyesal”
“Ha
ha ha enggak”
“Enggak
apa?”
“Enggak
nolak”
“Aku
sudah tahu. Nanti kujemput”
“Iya”
Lalu
Dilan meminta Agus untuk membawa motornya ke sekolah. Asalnya Agus gak langsung
mau, tapi akhirnya dia mau. Agus ke sekolah bersama Revi naik motor,
meninggalkan aku dan Dilan berjalan berdua menyusuri jalan basah sisa hujan
semalam.
“Kamu
tahu gak nama jalan ini sudah kuganti?”
“Jadi
jalan apa?”
“Jalan
Milea”
“Ha
ha ha”
“Jalan
Milea dan Dilan”, katanya
“Jalan
Milea dan Dilan Sang Peramal”
“Jalan
Milea dan Dilan Sang Peramal Yang Semalam Mikirin Milea”
“Kenapa
mikirin aku?”, kutanya
“Aku
hanya mikir yang senang-senang”
“Kamu
senang mikirin aku?”
“Malah
bingung”
“Kenapa?”
“Bingung
bagaimana menghentikannya”
“Menghentikan
apa?”
“Mikirin
kamu ha ha ha”
“Ha
ha ha ha emang ingin berhenti?”
“Iya”
“Kenapa?”
“Harus
selalu dekat, biar enggak perlu kupikirin”
“Ha
ha ha ha ha ha”
“Kamu
bagus ketawanya”
“Kamu
juga bagus”
“Kita
bersaing”
“Ha
ha ha ha ha”
Tidak
berasa, kami sudah sampai di sekolah. Dilan mengantarku masuk kelas, sampai aku
duduk di bangku! Beberapa kawanku tahu itu, juga Nandan yang lagi ngobrol.
Kemudian Dilan pergi, untuk masuk ke kelasnya. Terimakasih, Dilan! Dilanku
40
Hari
itu adalah hari pertama aku jalan kaki berdua dengan Dilan. Banyak manfaatnya,
banyak sekali. Aku jadi tahu nomor telepon rumah Dilan, aku jadi tahu memang
benar dia pembuat kartun yang dimuat di koran Pikiran Rakyat itu. Manfaat
utamanya sih, tentu saja: aku senang!
Tapi,
ada khabar dari Rani, katanya, dua hari lalu dia melihat Susi naik motor dengan
Dilan pas pulang sekolah. Namanya Susiana, anak kelas 2 Sosial 2. Kata Rani
Susi memang pengen ke Dilan. Iya, aku sudah denger cerita itu, sedikit,
tepatnya seminggu yang lalu dan lupa belum kuceritakan soal dia.
Susiana,
dia cantik. Katanya anak pemilik toko emas Indah Jaya di Parahyangan Plaza. Dua
kali, aku pernah lihat dia di kantin, berisik bersama teman-temannya menguasai
ruangan. Dilihat dari sikap dan perilakunya, selain dia itu bossy, kukira dia
anak gaul.
Memang
iya. Kata Rani, Susi suka main ke sana, ke Stuido East di Cihampelas, atau ke
Lisptick Roller Disco bersama teman-temannya, di Palaguna Plaza (Daerah
alun-alun Bandung). Itu, mungkin semacam tempatnya dugem anak-anak remaja. Rani
juga pernah diajak Susi, lupa ke mana itu, pokoknya daerah Ganesha, ngecengin anak ITB yang lagi pada ospek.
Aku
gak tahu sejauh mana hubungan Dilan dengan Susi. Kupikir hal itu hanya hubungan
biasa saja. Aku merasa tidak perlu lebih jauh untuk tahu. Itu urusan Dilan dan
Dilan bukan pacarku. Apalagi dengan adanya kasus Beni di Jakarta tempo hari,
nyaris tak sempat bisa lagi kupikirkan.
Tapi
dengan adanya berita bahwa Susi naik motor dengan Dilan, terus terang, aku jadi
langsung cemburu. Termasuk jadi ingin tahu sudah sejauh mana hubungan Susi
dengan Dilan. Maksudku, ya, aku tahu, aku memang belum jadi pacar Dilan, tapi
kalau benar Susi pacaran dengan Dilan, ngapain Dilan selalu berusaha
mendekatiku?
Api
cemburu, yang nyala, langsung bikin aku lemas hari itu, dan aku jadi males
belajar, termasuk jadi merasa males ketemu Dilan lagi. Aku merasa gak perlu
bersaing dengan Susi. Gak perlu. Kalau Dilan mau sama dia, ya sudah, silakan
sama dia, apa hakku melarangnya. Tapi tentu saja aku gak akan lagi meladeni apa
pun yang ia lakukan kepadaku sejak itu.
Aku
ingin nanya ke Rani, soal sudah sejauh mana hubungan Susi dengan Dilan, tapi
aku urungkan, pertama: karena kami tidak bisa bebas ngobrol berbanyak-banyak di
saat sedang belajar, kedua aku harus pura-pura bersikap biasa mendengar cerita
Rani soal Susi. Rani gak perlu tahu bagaimana perasaanku.
41
Jam
istirahat sudah tiba, Dilan datang ke kelasku untuk ngajak aku ke warung bi
Eem. Tapi kubilang aku gak bisa, karena ternyata masih lemas. Tentu saja aku
bohong. Iya, ga apa-apa, katanya dan juga bilang, dia akan berdoa di warung Bi
Eem bersama teman-teman atheis, biar aku bisa segera lekas pulih. Atheis?
Berdoa? Ah pasti dia bercanda! Makasih, kataku dan dia pergi.
Dilan
pasti kecewa, aku langsung merasa bersalah. Mengapa aku harus menilainya dengan
dasar masih cuma praduga? Mengapa harus menilai dia dengan pengetahuan yang
belum pasti soal fakta yang sebenarnya? Mengapa tidak memilih ikut dengannya,
ke warung Bi Eem, dan tanyakan langsung kepadanya?
Akhirnya
aku pergi juga ke warung Bi Eem. Sendiri, di bawah naungan langit mendung. Di
sana ada Anhar yang lagi main gitar, ada Piyan dan beberapa orang lainnya yang
tidak begitu kukenal. Kutanya Piyan:
“Piyan,
ada Dilan?”
“Dilan?
Belum ke sini”
“Tadi
kukira dia ke sini”
“Belum.
Biasanya ke sini. Ada apa, Lia?”
“Enggak.
Ga ada apa-apa”
“Tunggu
aja”, kata Anhar sambil menghembuskan asap rokoknya
“Aku
mau ke kelas lagi aja”
“Oh
iya”
“Piyan….”
“Iya”
“Bilang
ke Dilan…..tadi aku ke sini….”
“Oke,
Lia”
Ketika
hujan turun, aku sudah sampai di kelas. Kawan-kawanku masih pada jajan di
kantin. Sunyi sekali rasanya. Cuma ada aku sendirian, duduk di bangku,
merebahkan kepala berbantal tas sekolah. Suara hujan itu, seperti mewakili
perasaanku. Sunyi menguat, dari mataku, air mengalir, sedikit, pelan melelehi
pipiku: Dilan, kamu di mana? Maaf!
42
Hujan
sudah reda. Kawan-kawan berangsur pada masuk ke kelas. Kuambil buku pelajaran
dari dalam tasku, dan kubaca, sekedar untuk menggambarkan bahwa aku
normal-normal saja, seorang Milea yang baru sembuh dari sakit dan memilih
tinggal di kelas untuk menghabiskan waktu jam istirahat dengan membaca.
Nandan
menyapaku, juga Rani. Jam istirahat belum habis, masih ada sisa untuk basa-basi
dengan mereka. Ketika sekonyong-konyong aku mendengar raungan motor di luar
pagar sekolah. Pasti jumlahnya cukup banyak, karena sangat ribut sekali,
kira-kira ada 20 motor.
Siswa
dan guru pada keluar dari tempatnya, termasuk aku, untuk ingin tahu ada apa
gerangan. Pak Suripto teriak ke Mang Uung, penjaga pintu gerbang sekolah:
“Tutup,
Mang Uung!”
Mang
Uung menutup pintu itu. Terjadi hiruk pikuk tapi sekaligus seperti panik.
“Siapa?”,
aku tanya Nandan
“Ga
tau!”
Pengendara
motor itu, berseragam sekolah dan pada bawa samurai sambil menggerung-gerungkan
motornya. Mereka teriak
“Anhar!!!
Kaluar, Anjing!”
Mereka
melempari sekolah. Kaca jendela kelas yang dekat pintu gerbang pada pecah
terkena lemparan batu
Nampak
guru-guru memerintahkan semua siswa untuk masuk dalam kelas. Aku juga masuk dan
bingung, ada apa ini? Kata Rani, itu gengmotor SMA lain. Mereka mencari Anhar.
Anhar pasti bikin ulah. Heh? Tadi aku lihat Anhar di warung Bi Eem. Dilan, di
mana kamu? Mendadak aku panik.
“Lia
mau kemana?!!”, Rani teriak mencegahku yang lari membuka pintu untuk keluar
dari kelas.
“Lia!”,
beberapa kawan yang lain juga teriak mencegahku.
Ya,
aku lari dan masuk kelas Dilan. Tapi di sana tak ada Dilan! Tak ada Piyan!
Kutanya kepada kawannya di mana Piyan? Mereka bilang belum masuk. Mereka pasti
masih di warung Bi Eem!
Para
penyerang itu, masih teriak memanggil Anhar, melempar batu dan nabrak-nabrak
pintu gerbang. Serius, aku kuatir ada apa-apa dengan Dilan, dan juga Piyan. Aku
tidak tahu harus gimana. Tanganku sampai berkacak pinggang, seperti ekspresi
campuran antara bimbang dan kesal, sambil memandang mereka dari dalam kelas
bersama siswa lainnya yang pada tegang.
Aku
kesal pada mereka yang nyerang itu. Maksudku, mereka pasti akan mengapa-apakan
Dilan, jika berhasil ditemukan, karena Anhar adalah bagian dari Dilan di dalam
satu kelompok. Imajinasiku berharap aku bisa mudah mennghadirkan ayahku, yang
datang bersama kawan-kawannya, satu kompi, menembaki mereka!
Mereka
akhirnya pergi, ya Tuhan, tapi menuju warung Bi Eem! Aku berpikir buruk, mereka
bertemu Dilan di sana. Mengeroyoknya dengan batu dan samurai! Aku terduduk di
bangku, lemas selemas-lemasnya, dan bimbang. Kenapa mereka nyerang sekolah pada
waktu istirahat? Kenapa tidak saat pulang sekolah kalau benar nyari Anhar?
Kelak, Dilan menjelaskan kepadaku bahwa mereka melakukan strategi yang salah!
43
Polisi
datang, dua truk, tapi Penyerang sudah hilang. Aku melihat beberapa polisi
masuk ke ruang guru, mungkin untuk meminta keterangan. Belajar diliburkan. Aku
baru saja keluar dari toilet ketika Dilan datang menemuiku di sana, kami bicara
sambil berdiri berhadapan
“Tadi
kemana?”, kutanya dia. Aku melihat matanya nampak cemas
“Kamu
tidak apa-apa?” dia balik nanya sambil meraih satu tanganku dan kubiarkan
“Tadi
kemana?” kutanya dia
“Ada”
“Kemana?!!”,
kutanya lagi
“Di
belakang gereja”, dia menyandarkan punggungya ke tembok, seperti orang yang
baru selesai dari rasa gelisah.
“Kamu
ya?”
“Bukan.
Bukan aku. Itu Anhar”
“Kamu
juga!”
“Enggak,
Lia. Nanti, nanti kujelaskan”
“Aku
mau ke kelas”, kataku sambil pergi, Dilan nyusul.
“Di
mana Piyan?”, kutanya tanpa menoleh kepadanya
“Masih
di belakang gereja”
“Gengster
brengsek!”
Kami
berjalan menyusuri lorong kelas. Orang-orang sibuk dengan bahasan mereka
tentang apa yang tadi terjadi. Aku merasa sebagian orang memandang kami,
terutama ke arah Dilan. Entah apa dalam pikiran mereka, yang pasti pikiranku
bagai melayang tak karuan. Masih bisa kurasakan sisa-sisa panik, cemas dan
kegelisahan.
Dari
depan kantor sekolah, Pak Suripto berdiri memanggil Dilan.
“Aku
ke sana dulu, Lia”, katanya, tapi tidak kujawab.
“Nanti
pulangnya kuantar”, dia ngomong lagi
“Sudah
sana”
“Iya”
Aku
merasa, semua mata memandang ke arah Dilan, yang berjalan nemui Pak Suripto.
Aku tidak. Aku terus berjalan dan masuk ke kelas. Rani nanya soal Dilan ketika
aku sudah duduk. Kubilang gak tahu. Kata Rani, tadi Dilan nemui Rani nanyain
aku
“Iya,
tadi ketemu Dilan. Sebentar”.
“Apa
katanya?”, Rani nanya
“Ga
ngomong apa-apa”
“Oh”
“Aku
gak mau ngebahasnya”
Wati
datang bergabung dengan kami:
“Ini
si Anhar!”
“Emang
kenapa sih dia?”, kutanya Wati
“Kemaren
dia malak! Ga ngasih, terus dia pukulin anak itu”
“Sama
siapa malaknya?”
“Sama
temen-temennya”
“Iya
siapa?”
“Temen
dia”
“Anak
sekolah sini?”
“Bukan.
Gak tahu anak mana”
“Wati
tahu dari siapa?”
“Si
Piyan, tadi pagi”
“Dilan
tahu?”
“Mungkin”
“Bukan.
Bagaimana orang itu tahu yang malak si Anhar anak sekolah sini?”
“Gak
ngerti”
“Si
Anharnya di mana sekarang?”
“Gak
tau. Kabur dia”
Dilan
tidak mengantar aku pulang. Dia harus ikut ke kantor polisi. Aku pulang bersama
Wati, Rani, Nandan dan Revi sampai ke pertigaan jalan, kemudian berpisah untuk
naik angkot ke arah tujuannya masing-masing. Aku naik angkot bersama Revi.
44
Itulah
hari yang paling menegangkan dalam sejarah hidupku bersama Dilan. Atau tidak
cuma itu. Masih ada banyak lagi yang lainnya. Aku akan ceritakan semuanya,
entah apa tujuanku, aku cuma ingin cerita, seperti ada yang mendorongku untuk
harus.
Suamiku
SMS, dia bilang katanya mau tidur di kantor. Ya sudah. Selamat menjalankan
ibadah lembur. Bob Dylan masih nyanyi. Gak capek-capek. Baiklah kutemani,
kebetulan aku masih belum ngantuk bersama kopi yang sudah kubuat barusan tadi.
Oke, aku teruskan ceritanya:
Malamnya,
Dilan nelepon. Dia jelaskan duduk persoalannya, persis seperti yang Wati
ceritakan.
“Terus,
apa kata polisi?”, kutanya dia
“Mereka
bilang aku manis”
“Aku
serius”
“Mereka
bilang jangan terlalu serius”
“Terserah!
Kukira kamu ditahan?”
“Jangan
ditahan-tahan”
“Ha
ha ha ha”
“Kenapa
ketawa?”, dia nanya
“Gak
boleh?” aku balik nanya
“Katanya
kamu serius?”
“Oke
aku serius. Boleh aku nanya serius?’
“Boleh”,
katanya
“Siapa
Susi? Susiana?”
“Perempuan”
“Pacarmu?”
“Bukan”
“Jujur!”
“Dia
ingin jadi pacarku. Tapi aku gak mau. Dia pernah datang ke rumah, aku sembunyi
dalam lemari besar”
“Terus?”
“Ngobrol
sama ibuku, bantu-bantu masak di dapur. Dia mau ambil hati ibuku”
“Terus?”
“Aku
pengap dalam lemari”
“Ha
ha ha terus?”
“Ibu
masuk kamar. Untung gak buka lemari, lalu dia pergi”
“Terus?”
“Aku
ingin pipis?”
“Pipis
dalam lemari?”,
“Bukan,
sekarang, aku ingin pipis”
“Oh
ha ha sudah sana pipis dulu. Ingat kata polisi, jangan ditahan-tahan”
“Udah”
“Udah
apa?”
“Pipisnya!”
“Di
situ?”
“Iya.
Pantomim aja. Cukup”
“Ha
ha ha ha. Enggak. Pokoknya aku tutup! Kamu kencing dulu”
“Oke.
Bentar”
Setelah
itu, tak lama nelepon lagi
“Terus?”,
kutanya
“Soal
Susi?”
“Iya”
“Dia
ngasih aku cokelat. Ngasih aku baju tidur. Ngajak nonton bioskop”
“Kamu
mau?”
“Mau
apa?”, dia balik nanya
“Nonton?”
“Mau”
“Berdua?”
“Iya,
terus pas nonton, aku ijin ke toilet, padahal pulang”
“Hah?
Ninggalin dia sendirian?”
“Iya”
“Dia
marah?”
“Dia
marah”
“Terus?”
“Ya
udah marah aja. Bagus lah”
“Kok
bagus?”
“Kan
jadi gak mau ketemu aku”
“Ha
ha ha ha kalau aku marah ke kamu?”
“Baguslah”
“Bagusnya?’
“Ujian
buatku, bisa enggak aku membuat kamu menjadi tidak marah”
“He
he he kamu pasti bisa”
“Tugasku
membuat kamu senang”
“Kalau
tidak bisa membuat aku senang?”, kutanya
“Berarti
aku gagal menjadi orang yang menyenangkanmu”
“Kamu
berhasil he he he”
“Berapa
nilainya?”
“Seribu!”
“Ya.
Lumayan buat beli gorengan”
“He
he he Katanya kamu naik motor sama Susi?”
“Tidak
cuma Susi”
“Ngapain
sama dia? Naik motor? Kemaren?”
“Nganter
dia ke rumah sakit, ayahnya dibawa ke rumah sakit. Buru-buru”
“Oh…….Kasian”
“Tidak
mencintai, tidak berarti membencinya”
“Iya.
Kamu besok kemana?”
“Besok
minggu ya?”
“Iya”
“Aku
mau skateboard sama teman”
“Kamu
bisa skateboard?”
“Enggak”
“Terus
kenapa main skateboard?”
“Biar
bisa”
“He
he he”
“Kamu
tahu? Aku bisa membuat kamu tidur?”
“Maksudnya?”
“Iya.
Aku ingin kamu tidur, biar makin sehat. Jangan begadang, kamu belum pulih”
“Kamu
bisa membuat aku tidur? Dihipnotis?”
“Iya.
Dengan ngabsen nama-nama binatang”
“Hi
hi hi. Coba”
“Oke.
Aku mulai ya..?”
“Iya”
“Satu,…Beruang.
Dua,…Kadal. Tiga,…..Jerapah. Empat,…Macan. Lima,…..Keledai. Enam,….Kupu-kupu”
“Hrk..Hrk……..Hrk…..”,
aku pura-pura ngorok. Hi hi hi
“Tujuh,….Monyet.
Delapan,…..Kera. Sembilan,…..Kamu”
“Heh!!???”
“Ha
ha ha……..Belum tidur ternyata”
“Belum!
Ha ha ha”
“Terusin
ya…Sepuluh, Koala. Sebelas, Kunyuk. Duabelas, aku…”
“Hi
hi hi….”
“Jangan
ngomong apa-apa ya….Sampai kututup teleponnya”
“Iya”
Dia
terus ngabsen nama binatang, aku diam terus, sampai kemudian dia bilang: “Tidur
ya, Milea. Maaf tadi siang, aku membuatmu jengkel. Harus tahu, Milea, tidak
ingin aku membuat kamu begitu. Aku malah sangat cemas. Mencemaskanmu”, kemudian
dia tutup teleponnya. Tentu saja aku belum tidur, dan aku yakin dia juga tahu.
Mana mungkin aku tidur di sini, di ruangan yang cuma ada kursi.
Setelah
gosok gigi, aku masuk kamar dan langsung tiduran di kasur, berharap bisa
langsung tidur beneran. Selagi itu, aku berfikir, aku merasa seperti sudah
pacaran dengan Dilan. Apakah dia juga begitu? Merasakan hal sama denganku? Aku
gak tahu. Kalau memang sudah pacaran, sejak kapan mulainya? Kalau belum, ya,
itu tadi, kenapa aku merasa sudah? Ah. Entahlah.
“Selamat
tidur juga, Dilan……”.
45
Sekarang
aku mau cerita tentang Kang Adi. Namanya Adi Wirawan.Waktu itu, dia masih
mahasiswa ITB, semester lima. Dia anak Pak Alfin, kawan ayahku. Ayah
memperkenalkannya ke aku waktu dia datang ke rumah untuk ada urusan bisnis
antara ayahku dan ayahnya.
Ayah
bilang ke Kang Adi, minta membimbing aku belajar. Ayah memang pengen aku bisa
masuk ITB, meskipun aku sendiri sebenarnya ingin ke UNPAD. Kang Adi bilang
boleh, nanti bisa privat seminggu sekali. Aku sih oke-oke aja.
Sejak
itu, Kang Adi suka datang ke rumah untuk membimbingku belajar. Dia bisanya
malam minggu. Biar bisa santai katanya. Kami belajar di ruang tamu,
kadang-kadang berdua, kadang-kadang bertiga bersama Airin, dia adikku yang
masih kelas 2 SMP waktu itu. Kadang-kadang berempat, kalau ibu ikut nimbrung.
Selain
untuk membimbingku belajar, Kang Adi juga suka ngobrol. Dia cerita tentang
dirinya dan aktivitas kehidupan mahasiswa di kampus ITB. Dia cerita tentang
gerakan mahasiswa ITB, tentang unit-unit kegiatan di ITB. Pokoknya banyak,
termasuk cerita tentang diri dan kehidupannya.
“Kayaknya
mereka membutuhkan Kang Adi banget ya”, kataku
“Ga
tau tuh. Kalau ga ada saya, mereka bilang sih suka gak rame he he”
“Emang
Kang Adi jabatannya apa di unit itu?”, kutanya
“Bendahara”
“Ooh.
Pantesan. Pada nunggu uangnya tuh he he he”
“Enggak
lah. Ya mungkin mereka nganggap saya bisa menciptakan kondisi jadi lebih hidup
he he he, atau ya ga taulah”
“Kirain
he he he”
“Pernah
pas ada meeting, saya kan ga datang, eh mereka nelepon maksa minta saya datang”
“Segitunya”
“Ga
tau kenapa. Kita ini harus luwes. Sedikit nakal lah. Biar gak kaku”
“Kang
Adi nakal?”
“Yaaa…nakal
gimana ya? Ya, sekedar untuk mencairkan suasana aja. Nanti deh kamu saya ajak
ke ITB”
“Kang
Adi suka berantem?”
“Bukan
nakal yang gitu lah. Nakal-nakal yang seru”
“Teman-teman
Kang Adi orangnya pada seru ya?”
“Gak
semua. Banyak juga yang kaku. Waktunya habis dipake belajaaar terus. Gak
menikmati. Hidupnya kayak robot. Gak suka saya. Makanya kan, kadang-kadang kita
juga belajar, kadang-kadang kita juga ngobrol. Ya ngobrol-ngobrol kayak gini
lah”
Kalau
Kang Adi datang, selalu akan memakai motor dan membawa makanan, untuk aku,
untuk Airin atau untuk ibu. Malam itu, dia datang bawa sweater yang ada tulisan
ITBnya. Katanya dia sengaja beli untukku.
“Makasih,
Kang”
“Ini
yang mahalnya. Ada juga sih yang murah, masa’ buat Lia kasih yang murah”
“Ga
apa-apa yang murah juga, Kang. Hemat”
“Bukan
soal uangnya. Kang Adi pengen yang berkualitas. Eh, Lia jadi gak ikut ke ITB,
besok?”
“Jam
berapa?”
“Kalau
bisa sih pagi-pagi. Biar sekalian sarapan bubur di Gasibu”
“Pagi-pagi?”
“Terserah,
Lia”
“Kalau
bangun ya he he he”
Aku
dengar telepon rumah berdering. Si Bibi yang ngangkat, dari Dilan katanya. Aku
ke sana, setelah pamit ke Kang Adi dan lalu ngobrol dengan Dilan sampai ketawa
terbahak-bahak.Katanya dia habis nangkap nyamuk. Dua ekor. Dimasukin ke botol.
Terus dia namai Bonni dan Kinkan.
“Mau
gak?”
“Nyamuk?”
“Iya.
Kamu satu, aku satu”
“Di
sini juga banyak”
“Di
situ juga ada? Subhanalloh’
“Ha
ha ha Ada tujuh ribu!”, kataku
“Di
sini mah sedikit euy. Nyamuk preman, lagi”
“Kok
preman?”, kutanya
“Iya.
Pada mabuk sempoyongan gini”
“Ha
ha ha minum Baygon?”
“Ah
mereka mah merk apa aja juga oke. Ibuku yang beliin. Baik dia itu”
“Dibeliin
gimana?”
“Iya
dia yang beli obatnya, ke warung, buat nyamuk. Nyamuk manja. Gak bisa beli
sendiri”
“Ha
ha ha ha”
Dilan
memang selalu membahas yang gak perlu. Tapi rame. Tapi seru. Habis itu aku
kembali ke ruang tamu, bersama Kang Adi lagi.
“Teman?”,
Kang Adi nanya
“Iya”
“Oh.
Teman sekolah?”
“Teman
apa ya? Teman dekat gitu lah”
“Pacar
yaa?”
“Dia
itu seru. Namanya Dilan”
“Hati-hati,
Lia”
“Hati-hati,
kenapa gitu?”
“Ya,
dengan siapa pun harus hati-hati lah. Cari kawan yang bisa bimbing. Yang bisa
saling mengingatkan. Yang bisa melindungi”
“Hati-hati
termasuk ke Kang Adi juga he he he?”
“Yaa..enggak
lah! Kita kan sudah saling kenal”
“Becanda
atuh, Kang”
Setelah
Kang Adi pulang, aku ngantuk, gosok gigi dan langsung tidur. Tadinya pengen
nelepon Dilan dulu, tapi takut mengganggu. Besok aja. Sekarang saatnya tidur.
“Selamat
tidur juga, Dilan”
46
Pagi-pagi,
Kang Adi nelepon. Dia nanya jadi enggak pergi ke kampus ITB? Aku bilang gak
bisa. Nanti aja hari rabu, sepulang sekolah. Iya katanya.
“Kita
belajar aja yuk?”
“Hari
minggu?”
“Ya
isilah dengan yang berguna”
“Istirahat
juga berguna, Kang. Saya ingin istirahat”
“Oh
ya sud. Lagi apa?”
“Istirahat
kan?”
“Kali,
lagi baca buku”
“Enggak”
“Kalau
mau baca buku nanti saya bawain buku. Di rumah banyak”
“Gak
usah, Kang”
“Suka
Filsafat gak?”
“Ngg..gak
tuh”
“Saya
lagi baca buku bagaimana cara hidup bahagia”
“Oh”
“Bagus
nih, kayaknya kita bisa diksusikan deh”
“Sekarang?”
“Nanti,
kalau ketemu”
“Inya
Allah”
“Sudah
makan belum?”
“Nanti
aja. Belum”
“Jangan
lupa makan”
“Iya.
Makasih”
“Tadi
malem di teve filmnys seru..”
“Eh,
Kang, Lia lagi masak. Nanti deh teleponnya di sambung lagi ya”
“Oh
iya. Rabu jadi ya?”
“Ke
ITB?”
“Iya.
Nanti saya ke rumah”
“Iya”
47
Pada
saat upacara bendera, Dilan ikut upacara bendera, tapi dia masuk di barisanku,
sejajar denganku. Harusnya dia berada di barisan kawan-kawan sekelasnya. Buat
aku sih gak masalah, justeru menyenangkan, tapi tidak bagi guru yang bernama
Suripto. Pasti, aku yakin.
Kekuatiranku
terbukti, pada waktu Kepala Sekolah sedang pidato, diam-diam, dia ditegur oleh
Pak Suripto, karena dianggap tidak berada di barisan yang seharusnya. Bukan
cuma teguran, Pak Suripto menarik baju bagian belakang Dilan, dengan paksa,
untuk memindahkan Dilan ke barisan seharusnya.
Apa
yang dilakukan Pak Suripto membuat Dilan nyaris terjengkang. Dilan berseru:
“Heh?
Apa ini?”
“Apa?
Hah? Kamu mau melawan?”, tanya Pak Suripto
“Ya
aku melawan!”
Pak
Suripto menampar Dilan. Dilan balas menampar Pak Suripto. Pak Suripto mau
menampar lagi, tapi Dilan keburu memukulnya dengan pukulan yang bertubi.
Suasana menjadi ribut, menarik perhatian semua orang untuk memandang.
Pak
Suripto lari menuju tengah lapangan upacara. Dilan mengejarnya. Aku melihat pak
Suripto sempat terjatuh, merangkak sebentar untuk kemudian berdiri dan lari.
Dilan mengejar Pak Suripto yang menyelusup di antara guru-guru yang pada baris
di depan kami. Kepala Sekolah berteriak:”Apa ini?!!”.
Upacara
bendera menjadi kacau. Terdengar suara hiruk pikuk dari peserta upacara bendera.
Guru-guru berusaha menahan Dilan. Kepala Sekolah turun dari mimbarnya. Dilan
teriak kepada Pak Suripto yang entah sudah ada di mana:
“Suripto!
Pengecut kau!”
Aku
melihat Piyan, Beyi dan beberapa yang lain, pada lari untuk membantu guru
menahan Dilan. Aku juga ke sana berharap bisa membantu untuk membuat Dilan
jinak. Dilan marah. Beberapa guru menasehati Dilan untuk tenang. Ibu Rini, Guru
Geografi, menepuk-nepuk bahu Dilan, sambil bilang:”Sabar, Dilan, Sabar!”
Syukurlah
Dilan kemudian bisa tenang. Terdengar pengumuman upacara bendera dibubarkan.
Aku, Piyan, Beyi dan beberapa guru, membawa Dilan ke ruang guru. Di sana kami
duduk bersama Ibu Rini, Pak Syaiful, Pak Aslan, dan Ibu Pipi (Pegawai T.U)
“Sabar,
Dilan”, kata Bu Rini
“Aku
bukan melawan guru, Bu. Aku melawan Suripto”, kata Dilan. Aku diam terus, tidak
tahu harus berkata apa.
“Iya.
Ibu ngerti”, kata Bu Rini.
“Ibuku
juga guru, kakakku juga guru”, kata Dilan
“Iya.
Dilan harus maklum dia memang begitu”, kata Bu Rini
“Aku
tidak bisa memaklumi guru yang begitu”, jawab Dilan
“Kami
juga gak suka dengan cara-cara dia”, kata Bu Rini
“Siswa
juga manusia”, kata Dilan lagi
“Iya,
tentu”
“Hormatilah
orang lain kalau ingin dihormati”, kata Dilan
“Kami
mengerti”, kata Pak Aslan
“Harus
tahu, aku tidak melawan guru. Guru buatku, dia mulia. Sebagai guru, aku hormat
ke dia, aku hanya melawan Suripto”
“Iya”
“Siapa
pun dia….”, kata Dilan
“Iya”
“Siapa
pun dia, meskipun guru, jika tidak bisa menghargai orang lain, tak akan
dihargai”
“Ibu,
mengerti kenapa kamu begitu”
“Jangan
jabatan guru dijadikan alat kuasa untuk berbuat sewenang-wenang”, kata Dilan
Kepala
Sekolah datang, aku berdiri untuk memberi tempat dia duduk. Dia duduk di
samping Dilan.
“Ada
apa, Dilan?!”, tanya Kepala Sekolah. Dia nampaknya sedang berusaha bicara
hati-hati, karena kuatir Dilan akan juga menyerangnya
“Aku
tidak melawan guru, aku melawan Suripto yang semena-mena”
“Kenapa
dia?”
“Bapak
harusnya tahu bagaimana perilaku dia. Kami tahu”
“Iya,
tapi Dilan tidak harus begitu ke dia”
“Dia
boleh begitu kepada kami?”, Dilan nanya
“Begitu
gimana?”
“Dia
menjambak bajuku. Kayak ga ada cara lain. Ini bukan cuma ke saya. Sudah berapa
orang kawan saya ditamparnya. Diperlakukan seenaknya”, jawab Dilan. Jaman dulu,
di sekolah, guru menampar siswa kayaknya sudah dianggap sebagai sesuatu yang
lumrah, jauh berbeda dengan sekarang.
“Maaf,
mungkin kamu membandel?”, tanya Kepala Sekolah
“Guru
itu digugu dan ditiru, kalau dia mengajariku menampar, aku juga akan menampar”
“Bapak
bukan mau membela dia. Mungkin Pak Suripto tidak bermaksud begitu”, kata Kepala
Sekolah seperti sedang membela Pak Suripto.
“Bapak
tahu, waktu polisi datang ke sini? Pak Suripto bilang apa? Dia bilang: ini
bukan urusan sekolah. Bawa aja ini, sambil nunjuk ke saya. Dia juga biang
kerok, katanya”
“Ya
sudah, kalau begitu nanti kita selesaikan”, kata Kepala Sekolah
“Bapak
harus tahu, dia juga melakukan pelecehan. Ada siswa perempuan yang ngadu ke
saya”
“Iya,
iya, kan ini baru sepihak. Nanti kita pertemukan”
“Aku
ingin bertemu dia. Kalau tidak, aku datangi rumahnya”
“Iya.
Pasti diusahakan bisa ketemu. Bisa damai”
Habis
itu, kami keluar dari Ruangan Guru, untuk masuk ke kelas masing-masing yang
sudah mulai pada belajar. Sebelum pergi ke kelasnya, Dilan bilang:
“Aku
bukan jagoan. Aku hanya melawan, Lia”
“Iya”,
jawabku
“Maaf,
Lia”
“Iya,
Dilan. Aku mengerti”
48
Seperti
yang bisa kuduga, akhirnya Dilan mendapat hukuman skorsing. Dia tidak boleh
sekolah selama seminggu. Hari Rabunya, Ibu Dilan datang ke sekolah. Wati yang
memberitahu bahwa itu ibunya Dilan. Wati bilang mau menemui beliau, aku ingin
ikut. Boleh katanya. Kebetulan jam pelajaran terakhir sedang bebas, karena
gurunya tidak bisa hadir.
Kami
terpaksa nunggu di luar, karena Ibunya Dilan sudah keburu masuk Ruangan Guru.
Dia dipanggil untuk menuntaskan masalah Dilan berantem dengan Suripto. Tak lama
kemudian Ibunya Dilan keluar, Wati menyambutnya dengan mencium tangannya dan
aku pun begitu.
“Siapa
ini?”, Ibunya Dilan bertanya kepadaku
“Milea,
Bu”, jawabku
“Oh
ya?”, dia sedikit terperangah, matanya hampir seperti mau memandang sekujur
tubuhku
“Iya,
Bu. Kenapa?”, kutanya
“Oh
ini….rupanya”, katanya seraya mengacakkan tangannya di atas pinggang
“Kenapa
gitu?”, tanyaku tersenyum
“Ah,
kau! Dilan sering cerita soal kamu, tau?”, katanya
“Oh
he he”, aku bingung harus jawab apa. Wati memandangku seperti heran.
“Pulangnya
kemana, Nak?”, dia nanya
“Ke
daerah jalan Banteng”, kujawab
“Naik
apa?”, dia nanya
“Angkot.
Bareng temen”
“Hari
ini, ikut ibu saja, oke? Wati juga ikut ya?”
“Wati
ada janji…”
“Ah,
sudahlah, ikut makan dulu. Milea juga. Oke?”
“Ng..hayu,
Wat?”, aku nanya Wati sambil menggoyangkan tanganku ke badannya
“Hayu
lah. Jangan lama tapi..” kata Wati ke ibu Dilan
“Bentar,
Bu, mau ngambil tas dulu”, kataku
“Enggak
belajar?”, dia nanya
“Ng…Gurunya
gak ada”
“Oh
ya sudah. Lagi, ini sudah mau bubaran”, katanya sambil memandang jam tangannya.
Kami
pergi dengan ibunya Dilan yang nyetir sendiri mobil Nissan Patrolnya.
“Oh,
ini namanya Milea ya hmm hmm hmmm?”, dia nanya
“He
he iya, Bu”
“Dilan
itu sering cerita soal kamu”
“He
he jadi malu”
“Bogoheun
tah!“, kata Wati (Dilan cinta tuh)
“Cerita
apa aja emang?”, kutanya
“Ah
banyak lah, tapi gak ibu denger, habisnya dia itu suka ngawur”
“Enya“,
kata Wati (Iya)
“Ha
ha ha ngawur gimana?”
“Katanya
kamu suka makan lumba-lumba. Pasti dia bohong kan?”
“Ha
ha ha ha enggak”
“Dia
bilang apa lagi itu. Katanya kamu berkumis. Orang secantik ini dibilangnya
berkumis”
“Ha
ha ha ha”
“Kita
makan dulu ya”, kata ibu Dilan
“Siap!”,
kata Wati
“Iya,
Bu”
Mobil
masuk ke halaman salah satu warung makan yang ada di daerah Buah Batu. Setelah
duduk, kami langsung memesan makanan sesuai seleranya masing-masing. Selagi
menunggu makanan datang, Ibu Dilan cerita tentang pertemuannya dengan pihak
sekolah. Tadinya Dilan mau dipecat, tapi setelah terjadi nego, akhirnya diberi
kesempatan untuk tetap sekolah di situ, dengan masa percobaan selama sebulan.
Sambil
makan, Ibu Dilan bilang, ya kita tidak bisa mengkritik tanpa lebih dulu
memahami apa yang kita kritik itu. Termasuk kita tidak bisa menghakimi anak remaja
tanpa kita memahami kehidupannya. Orangtua yang seharusnya bisa memahami
anak-anak, bukan sebaliknya. Jangan anak-anak yang dipaksa harus memahami
orangtua. Anak-anak belum mengerti apa-apa, meskipun tentu saja harus kita
berikan pemahaman.
“Dilan
sekarang di rumah?”, kutanya
“Di
rumah”
Setelah
habis makan, Wati ijin pergi, karena sudah janjian sama Piyan.
“Piyan
yang pacarmu itu?”, tanya Ibu Dilan. Oh, Wati pacaran sama Piyan?. Aku baru
tahu.
“He
he he iya”
“Kenapa
tidak diajak sekalian?”
“Dia
nunggu di sana”
“Perlu
diantar gak?”, Ibu Dilan nanya
“Enggak.
Deket kok”
Wati
pergi, setelah mencium tangan ibu Dilan. Di mobil jadi cuma aku dan ibu Dilan.
Dia bilang: Dilan itu anak keempat dari lima saudara. Ayahnya lagi bertugas di
Timor Timur. Rumah dinasnya sih di Karawang. Tapi ibunya Dilan, bersama
anak-anaknya, harus tinggal di Bandung karena bertugas menjadi Kepala Sekolah
di SMA.
“Dilan
manggil apa ke ibu?”
“Dia?
Dia manggilnya Bunda. Kamu manggil apa ke ibumu?”
“Ibu”
“Oh
ya, itu juga bagus”
“Lia
juga mau manggil Bunda. Boleh?’
“Ke
siapa? Ke ibu?”, dia menunjuk dirinya
“Iya”
“Ya
boleh. Tapi kalau lagi minta uang, Dilan itu manggilnya suka Bundahara”
“Kok?”
“Iya.
Bendahara maksud dia ha ha ha”
“Ha
ha ha ha ha”
“Dia
itu, memang nakal. Tapi ya selama masih wajar, oke lah. Mudah-mudahan tidak
kelewat batas”
“Iya,
Bunda”
“Kata
Dilan kamu pacaranya. Iya betul?”
“Oh?
Dia bilang gitu, Bunda?”, aku tersenyum
“Mungkin
dia ngaku-ngaku”
“Ga
apa-apa, Bunda”
“Kamu
ini cantik”
“Dilan
juga, dia tampan”
“Ya.
Mungkin karena kamu suka”
“He
he he. Belok Kanan, Bunda”, kataku untuk menunjukkan jalan ke arah rumahku
“Oke”
“Bunda
asli Bandung?”
“Bunda
lahir di Aceh, ikut suami ke Indonesia”
“Aceh
kan Indonesia, Bunda?”, tanyaku
“He
he becanda”
“Sekarang
ke kiri, Bunda”
“Oke,
Cantik”
49
Setelah
sampai di rumah, aku melihat ada motor Kang Adi di halaman. Aku turun bergegas,
setelah menyapa Kang Adi yang lagi baca buku di ruang tamu, aku langsung masuk
ke dalam rumah untuk mencari ibu. Entah mengapa perasaanku seperti diluapi oleh
rasa gembira.
Bunda
masuk, disambut oleh ibuku.
“Oh
ini….. ibunya Dilan?”, ibuku menyalaminya
“Iya.
Ini, ibu Melia? Waaaaah!”, Bunda nanya
“Iya”,
jawab ibuku
“Akhirnya
ketemu. Dilan, anakku, wah suka cerita
terus soal Milea ini……..”, kata Bunda
“Panggil
Lia aja, Bunda”, kataku
“Oh
ya ya. Lia”
“Silakan
duduk dulu. Mau nyiapain minuman dulu”, kata ibuku sambil masuk ke dalam
“Gak
usah repot-repot. Sebentar kok”
Di
ruang tamu jadi ada aku, Bunda dan Kang Adi.
“Ini?”,
tanya Bunda ke Kang Adi
“Saya
pembimbingnya Lia”
“Kuliah?”
“Iya.
ITB, Bu”, jawab Kang Adi
“Oh,
jurusan apa?”
“Teknik
Industri”
“Oh
ya? Anak ibu juga ada yang di Teknik Industri”
“Di
ITB?”
“Iya.
Kenal Landin?”
“Oh
Bang Landin? Iya kenal, Bu. Dia senior”
“Itu
anak ibu. Kakaknya Dilan, Lia”, kata Bunda sambil memandangku
“Di
sana juga, Bunda?”, tanyaku
“Iya”
Tak
lama kemudian Ibuku datang membawa minuman, ditemani Si Bibi yang membawa
makanan.
“Bagaimana
bisa ketemu Lia?”, tanya ibuku
“Di
sekolah. Tadi. Kebetulan”
“Oh”
“Aku
tadi ditraktir Bunda………..”, kataku kepada ibuku
“Aduh,
makasih. Maaf, ngerepotin”, kata ibuku
“Ga
apa-apa. Seneng kok. Senang akhirnya bisa ketemu langsung sama orang yang suka
diomingin Dilan”, kata Bunda
“Ya
sama! Lia juga sama, suka cerita soal Dilan. Seru katanya ha ha. Ngasih yang
aneh-aneh. Ngasih apa Lia?”
“TTS
yang udah dia jawab he he he, cokelat yang dianterin tukang koran, banyak……..”,
kataku
“Ha
ha ha ha ha”, Bunda ketawa. ibuku juga
“Banyak
sekali, Bunda. Seneng” Kataku. Aku
melirik sebentar ke Kang Aldi yang nampaknya bingung harus ngapain
“Dia
itu ya begitu. Di rumah juga ya begitu”, kata Bunda,”Ya, maaflah kalau dirasa
mengganggu”
“Enggak
mengganggu. Malah seru”, kataku
Tiba-tiba
suara telepon rumah berdering, Si Bibi yang ngangkat, dari Dilan katanya
kepadaku sambil berbisik. Segera aku kesana meninggalkan kedua ibu yang bicara
soal keluarga dan ketentaraan suaminya.
“Hey!”,
kusapa dia
“Sudah
pulang sekolah?”
“Iya.
Tadi aku pulangnya ada yang ngantar”, kujawab
“Diantar
angkot?”
“Bukan.
Oleh orang yang aku suka. Kucintai”
“He
he he pasti kamu senang”
“Sangat
senang sekali!. Namanya juga diantar orang yang aku suka”
“He
he he. Pasti akan begitu”
“Diantar
siapa coba?”
“Diantar
orang yang kau suka kan?”
“Cemburu
dong? Cemburu gak?”
“Jangan.
Nanti merepotkanmu”, jawabnya
“Coba
tebak siapa orangnya?”
“Suripto?”
“Ih!
Bukan”, jawabku
“Nandan?”
“Bukaaaan!!!
Kamu pikir aku suka ke dia?”
“Aku
gak tau. Kan yang punya perasaan kamu”
“Enggak!!!
Ingin tahu gak siapa?”
“Kamu
pasti akan ngasih tahu”
“Iya.
Aku…diantar sama Bundaaa! Ibu kamu”
“Hah?”
“He
he he”
“Kok
bisa?”
“Bisa
dong”
“Ke
rumahmu? Ngapain?”
“Iya
he he he. Nanti deh cerita”
“Ketemu
di mana?”
“Di
sekolah. Tadi”
“Boleh
aku bicara dengan Bunda?”
“Oke.
Tunggu ya”
Aku
pergi ke ruang tengah untuk memberitahu bahwa Dilan ingin bicara di telepon. Si
Bunda ke sana.
“Aku
ketemu Lia……….Akhirnya. Aku ketemu Lia…..”, kata si Bunda kepada Dilan, dengan
bicaranya sedikit bernada. Aku tersenyum mendengarnya. Si Bunda bicara seperti
meledek dan ketawa-ketawa seperti puas. Setelah itu dia kembali, katanya Dilan
ingin bicara lagi sama Lia. Aku ke sana
“Ya?”,
tanyaku
“Itu
Ibuku, Lia”
“Iya.
Aku senang, Dilan”
“Bilang
ke dia jangan ngegosipin aku”
“Sudaaaahh
ha ha ha ha”
“Sudah
apa?”
“Sudah
digosipin”
“Ha
ha ha. Bilang apa dia?”
“Katanyaaaaaaaaaaa…..kamu
suka makan lumba-lumba!”
“Ha
ha ha ha ha ha”
“Katanyaaaaaaaaaaa….kamu
berkumis!”
“Ha
ha ha ha ha ha”
“Katanyaaaaaaaaaaa….kamu…………….he
he he”
“Apa
ketawa?”
“Katanyaaaaaa….Aku
pacarmu..he he he”
“Ha
ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha
ha!!!!”
“Katanyaaaaaaaaaa……………”
“Apa…..?”
“Dilan?”
“Ya?”
“Aku………rindu”
“He
he he”
“Boleh?”
“Rindu
ke siapa?’
“Ke
Dilan”
“Sama”
“Makasih”
“Aku
juga rindu….ke Dilan”, katanya
“Ih!”
“Ha
ha ha ha ha ha. Iya, aku juga rindu ke Lia”
“He
he he he”
“Rindu
sebelum waktunya”
“He
he he he matang sebelum waktunya”
Setelah
selesai nelepon dengan Dilan, aku kembali nemui Bunda. Bunda pamit untuk
pulang. Entah mengapa aku merasa berat membiarkannya pergi dari rumahku.
Bunda
bersalaman dengan ibuku dan Kang Adi. Aku salaman dengannya dan mencium
tangannya. Dia tanya:
“Boleh
Bunda menciummu?”
“Boleh
he he”
“Boleh
ya, Bu?”, dia nanya ibuku
“Boleh
he he he”, jawab ibuku
Bunda
mencium keningku, dan kedua pipiku.
“Cantik
anak ini”, katanya.
“He
he he makasih”, jawab ibuku
Habis
itu aku memeluknya. Itu refleks. Bunda juga memelukku. Ada lelehan air mata
yang aku tidak tahu mengapa itu ada. Kamu harus jadi aku, aku kesulitan mau
mengatakan perasaanku saat itu. Kamu harus jadi aku, pasti akan melakukan hal
yang sama.
“Kenapa
nangis, Nak?”, tanya Bunda, menatapku sambil memegang kedua bahuku.
Kupeluk lagi dan nangis:
“Aku…senang,
Bunda”, kataku. Padahal tadinya mau bilang:”Terimakasih sudah melahirkan
Dilan”. Gak jadi. Malu.
“Iya,
Nak!”, kata Bunda sambil menepuk-nepuk bahuku: “Bunda pulang ya”, sambungnya.
“Iya,
Bunda. Hati-hati, Bunda”, sambil kuseka sisa air di mataku.
Si
Bunda naik ke mobilnya. Sebelum benar-benar pergi, kira-kira baru beberapa
meter berlalu, aku teriak:
“Bundaaa!
Salam ke Dilan, Bundaaaaaa”
“Oke!”,
jawabnya, sambil melambaikan tangannya.
Aku
kembali masuk, bersama ibuku yang bilang:”
“Ibunya
juga rame he he”
“He
he he. Lia senang”, aku ketawa
“Kapan
Ibu bisa ketemu Dilan?”, tanya ibuku
“Nanti
ya, ya”
Ibuku
masuk ke dalam. Aku duduk di ruang tamu untuk meladeni Kang Adi. Tadinya dia
nawarin diri menjemput aku di sekolah, tapi kubilang gak usah. Dia datang ke
rumah untuk mengajak aku pergi ke kampus ITB.
“Kang,
kayaknya Lia ga bisa pergi deh”
“Kenapa?”
“Capek
sekali”
“Oh
ya sudah”
“Lain
kali aja ya”
“Iya.
Atau sekarang belajar aja? Yuk?”
“Nanti
aja deh”
“Oh
ya udah”
“Akunya
capek banget, Kang”
“Iya
ga apa-apa. Tadi lihat ibu itu riweuh pisan ya?”, katanya. Riweuh pisan itu
bahasa sunda, kira-kira artinya “repot sekali” dalam konotasi yang buruk.
“Aku
gak suka Kang Adi bilang begitu ke dia”
“Bukan,
maksudnya ibu-ibu banget”
“Aku
gak suka Kang Adi bilang begitu ke dia”. Aku mengulang kalimatku. Itu adalah
gaya Dilan kalau sedang menyerang.
“Iya
bagus. Ibu-ibu memang harus begitu”
“Kang,
aku mau tidur dulu kayaknya ya?”
“Oh
ya udah, saya pulang aja kalau gitu”
“Iya”
50
Pertemuanku
dengan Bunda, adalah hal yang paling membuatku gembira. Lebih dari itu, bahkan
melalui dirinya, pengetahuanku akan Dilan jadi makin bertambah. Tadi siang, di
mobil, aku sempat nanya ke Bunda:
“Emang
Dilan belum punya pacar, Bunda?’
“Heh?
Bukannya kamu? He he he”
“He
he he. Iya kali, Bunda. Tapi, bukannya Susi pacarnya Dilan, Bunda?’
“Susiana
itu?”
“Iya
he he he”
“Ssst,
Susi itu, pengen sama Dilan ha ha ha”
“Oh
he he he. Dilannya mau, Bunda?’
“Dilannya?
Kayaknyaaaaa…….enggak tuh. He he he. Kayaknya sih”.
“Ha
ha ha ha. Tahunya enggak, Bunda?”
“Kau
tahu waktu Susi datang ke rumah? Dilan kemana dia?”
“Kemana.
Bunda?”
“Sembunyi
dalam lemari”
“Ha
ha ha ha Bunda tahu?”
“Tahu
laaaaah!”
“Ha
ha ha ha ha”
Kalau
betul Dilan pernah bilang ke Bunda, bahwa aku ini adalah pacarnya, berarti
sejak itu Dilan sudah menganggap aku sebagai pacarnya. Aku senang, tapi sejak
kapan itu mulai? Kenapa tidak ada kesepakatan bersama? Kenapa tidak ada
peresmian? Kenapa tidak ada proklamasi? Atau Dilan menganggap itu gak perlu?
Aku bingung.
Setelah
shalat isya, aku coba nelepon Dilan, tapi yang ngangkat si Bunda. Dilan sedang
keluar katanya. Aku jadi ngobrol sama Bunda.
“Oh,
Bunda di IKIP Bandung?”, tanyaku, di tengah-tengah obrolan. IKIP adalah
Institut Keguruan Dan Ilmu Pendidikan, sekarang UPI, Universitas Pendidikan
Indonesia
“Iya,
beres kuliah balik lagi ke Aceh”
“Ngambil
jurusan apa?”
“Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia”
“Wah
suka sastra dong”
“Dilan
tuh suka sastra”
“Oh
ya?”
“Iya
dia. Waktu SMP sampai pernah pergi ke Depok, minta anter pamannya, pengen
ketemu Rendra katanya, ke mana itu? Bengkel Teater. Dia itu emang suka Rendra”
“Rendra
penyair itu, Bunda?”
“Iya.
Waktu SMP, sampe nonton pentas dramanya segala. Apa itu judulnya, Panembahan
Reso kalau gak salah. Dia juga suka bikin puisi”
“Oh?
Pengen baca puisinya he he he”
“Iya,
boleh. Lia ke rumah deh”
“Pengen,
Bunda”
“Kapan?”
“Kalau
diajak Dilan”
“Iya,
nanti Bunda bilang ke Dilan suruh ajak kamu ke rumah ya?”
“Asiikk.
Bener ya, Bunda”
“Iya”
“Pengen
baca puisinya”
“Iya
boleh. Nanti kalau ke rumah ya? Kayaknya dia memang suka sastra. Makanya kamu
denger deh, gimana kalau Dilan ngomong”
“Kenapa?”
“Bahasa
Indonesianya itu, baku banget”
“Ha
ha ha”
“Kau,
Aku, Mengapa, Apakah….”
“He
he he he iya. Tapi khas, Bunda’
“Waktu
SMP, kakaknya kan guru. Itu, suka bawa buku-buku perpustakaan ke rumah”
“Buku
apa, Bunda?”
“Itu,
Sutan Takdir Alisyahbana, Idrus, Iwan Simatupang. Kau tauk kan?”
“Tahu,
Bunda”
“Nah,
Dilan baca semuanya. Bahasanya itu, kayaknya kena pengaruh deh. Bisa juga
mungkin karena keluarganya kan banyak dari Sumatera”
“Dilan
suka baca ya, Bunda?”
“Pas
ulangtahun dulu, ayahnya ngasih hadiah Tafsir Al-Azhar, langsung dia baca
semuanya”
“Itu
buku, Bunda?”
“Iya.
Itu buku tafsir, 30 buku, karya Hamka”
“Selain
buku, Dilan suka apa, Bunda?”
“Suka
apa ya? Tapi tiap malam, dia itu, main gitar di kamarnya?”
“Dilan
bisa gitar, Bunda? Baru tahu”
“Punya
gitar dia. Katanya punya group band segala, tapi Bunda ga tau soal itu”
“Waah
Dilan punya group band?”
“Kata
adiknya begitu”
“Eh,
Lia juga pernah lihat kartun Dilan di koran”
“Iya
dia suka ngirim. Kau tauk uang honornya dia beli cokelat buat siapa?”
“Buat
siapa, Bunda”
“Dia
bilang buat kamu ha ha ha ha”
“Oh
ya?! Dilan gak bilang”
“Ke
Bunda bilang”
“Jadi
terharu, Bunda”
“Bunda
kasih tau ya, Dilan itu suka sama kamu, Lia he he he”
“Jadi
malu. Sehari-harinya gimana sih, Bunda?”
“Siapa?
Dilan?”
“Iya”
“Ya
gitu aja. Teman-temannya suka pada datang ke rumah. Pada kumpul di kamarnya”
“Pasti
rame”
“Bukan
rame. Berisik”
“Ha
ha ha ha”
“Di
kamarnya itu, dia pasang poster Ayatullah Khomeini”
“Oh,
Presiden Iran ya, Bunda?”
“Bukan.
Itu Imam Besar. Imam Besar Iran. Kalau Presidennya kan Bani Sadr”
“Itu
idolanya mungkin, Bunda”
“Iya
mungkin, dipasang sejajar dengan siapa itu yang ngelel, si Mick Jagger”
“Iya.
Mick Jagger. Rolling Stones”
“Iya.
Dia itu aneh. Masih SMA padahal, minta ke ayahnya langganan majalah Tempo”
“He
he he. Kalau Lia sih majalah Gadis. Kalau Bunda?”
“Kalau
Bunda sih majalah Kartini”
“Ibu
Lia juga. Sama”
“Ibu-ibu
laaah”
“He
he he iya. Dilan suka makanan apa, Bunda?”
“Curiga
nih Bunda, nanya-nanya terus soal Dilan”
“Ha
ha ha ha ha”
“Kamu
beneran pacaran yaaaaa?”
“He
he he. Tanya Dilan aja deh, Bunda”
“Kenapa
harus tanya Dilan?”
“He
he he Lia sih terserah Dilan? Takut salah”
“Kok?”
“Biar
Dilan yang menjelaskan ha ha ha”
“Kamu
takut sama Dilan?”
“Enggak,
Bunda. Dia baik”
“Ya
syukurlah. Udah, pokoknya, nanti Bunda nyuruh Dilan ajak kamu ke rumah ya?”
“Iya,
Bunda. Mau. Mau. Asik”
Bertambah
lagi informasiku tentang Dilan. Aku senang. Selama ini Dilan tidak pernah
bilang tentang siapa dirinya. Tadinya aku juga mau nanya pendapat si Bunda soal
Dilan yang jadi anggota geng motor, tapi gak tahu kenapa, rasanya gak enak mau
nanya. Mungkin nanti aja deh di kesempatan yang lain.
Aku
jadi merasa makin akrab dengan Bunda. Ingin rasanya ada waktu bisa berdua
dengannya, bicara banyak terutama soal Dilan. Mungkin bisa, kalau aku usahakan.
Si Bunda kayaknya akan selalu siap untuk mau. Ah, kebayang olehku, seandainya
aku benar-benar pacaran dengan Dilan, kepada siapa lagi aku curhat, soal masalah
hubungan, kalau bukan ke dia, ke si Bunda.
51
Kamis
pagi, pas aku mau sekolah, ada Kang Adi sudah datang ke rumahku. Aku kaget, ada
apa?. Dia mampir, kebetulan lewat rumah katanya. Kang Adi nawarin aku ikut dia
ke sekolah, sekalian ada perlu katanya, mau ke daerah di dekat sekolahku. Oh?
Meskipun aku males, akhirnya ikut juga.
Sesampainya
di sana, aku minta diturunin di pertigaaan jalan, maksudnya biar aku terusin
dengan jalan kaki bersama-kawan-kawanku yang lain. Kang Adi bilang:
“Kenapa
gak sampai sekolah?”
“Ga
apa-apa”
“Takut
ada yang cemburu ya?”
“Siapa?”
“Dilan!?”.
Heh?
Aku kaget. Oh, dia tahu soal Dilan, waktu ada si Bunda ke rumahku.
“Enggak,
Lia hanya pengen jalan aja”, kataku
“Kali,
takut dia cemburu he he he”
“Enggak”
“Emang
dia pacarmu ya!?'”
“Kalau
iya kenapa? kalau enggak kenapa?”
“Ga
apa-apa. Cuma nanya he he he. Ya, sud, langsung ya”, kata Kang Adi permisi mau
pergi
“Iya.
Makasih, Kang”
Kang
Adi pergi, aku jalan sendiri dengan pikiran seolah-olah sedang bicara dengan
Kang Adi: Setahuku, Dilan bukan cowok cemburuan. Justeru Kang Adi yang
menurutku sedang cemburu ke Dilan. Dilan itu, Kang Adi, denger ya, bahkan waktu
Dilan mengira aku pacaran sama Nandan, Dilan malah bilang kepada
kawan-kawannya: “Jangan ganggu Milea, dia sudah pacaran dengan Nandan”. Apa kau
bisa begitu, kang Adi?
Kang
Adi pergi, ingin rasanya aku bilang ke dia, untuk tidak lagi nerusin ngebimbing
aku belajar. Tapi Ayah pasti gak akan setuju. Malah kata Ibu, Ayah sudah
terlanjur ngasih uang ke Kang Adi untuk bayar selama dia membimbing aku
belajar.
Aku
berjalan ke sekolah, berjalan menyusuri jalan itu, jalan Dilan dan Milea. Jalan
kenangan awal aku berjumpa dengannya. Berjumpa dengan Sang Peramal. Tapi hari
itu aku berjalan dengan enggan, entah mengapa, sedikit kurang semangat, mungkin
karena tahu bahwa sampai hari sabtu, Dilan tak akan ada di sekolah.
52
Pada
waktu jam istirahat, aku pergi ke kantin bersama Wati dan Revi. Kami duduk di
luar kantin menikmati kupat tahu Mang Endang. Datanglah rombongan Susi yang
pada mau masuk kantin.
“Eh,
Wat, Dilan sehat?”, tanya Susi ke Wati. Kayaknya dia tahu deh Wati itu saudara
Dilan. Entahlah
“Oh,
sehat”
“Bilang
ke dia, salam ya”
“Iya,
kalau ketemu ya”
“Bilang,
rindu jalan-jalan lagi gitu he he”
“Iya”
“Emang
udah jadian, Sus?”, tanya temannya
“Masa’
harus bilang-bilang”, jawab Susi. Aku melihat mata Wati memandangku.
“Traktir
siah”, kata teman satunya lagi.
“Kalem.
Makasih ya, Wat”
“Sama-sama”,
jawab Wati, lalu mereka pergi.
“Si
Pikaseubeuleun“, kata Wati. Artinya: “Orang menyebalkan’
“He
he he”, aku ketawa, bersamaan dengan datangnya Piyan
“Hey”,
kusapa dia
“Hey,
hey, hey”, kata Piyan. Kalau Wati senang ada Piyan, aku juga sama
“Yan,
traktir”, kata Wati
“Traktir
wae“, jawab Piyan, artinya: “Minta traktir terus”. Aku ketawa.
“Ga
ada si Dilan mah, kamu ke sini!”, kata Wati
“Aku
makan apa ya?”, tanya Piyan seperti kepada dirinya sendiri, tanpa menghiraukan
omongan Wati. Aku senyum sendiri merhatiin tingkah Piyan dan Wati. Lucu dan
romantisnya sederhana tapi cukup. Aku gak tahu sejak kapan mereka pacaran. Tapi
kayaknya baru deh.
Piyan
makan kupat tahu juga, sama seperti kami. Kami makan sambil ngobrol ngalor
ngidul. Tidak lama kemudian, datang lagi rombongan Susi, yang baru selesai
jajan di kantin dalam.
“Yan”
“Hey,
Sus!”
“Bisa
ngobrol sebentar, Yan?”
“Piyan
lagi makan”, jawab Wati
“Bentar
kok”, kata Susi
“Ga
apa-apa”, kata Piyan seperti bersiap mau berdiri, tapi tangan Wati meraih
tangan Piyan:
“Makan
dulu!”, katanya
“Bentar
kok, Wat”, kata Susi
“Kubilang
makan dulu!”, kata Wati lagi ke Piyan dengan nada sedikit tinggi
“Atau
nanti pas pulang, Yan”, Susi bicara lagi
“Iya,
Sus”, jawab Piyan
“Gak
boleh!”, kata Wati sambil makan
“Kamu
kenapa Wati?”, tanya Susi
“Apa
urusanmu?!”, Wati balik nanya
“Eh,
kok marah? Urusan apa?”, tanya Susi
“Kalau
aku marah mau apa?”, Wati balik nanya
“Udah
ah, apa sih?”, timpal Piyan. Aku sih no comment. Kupandang Susi yang kebetulan
sedang memandangku juga. Matanya seperti menyiratkan perasaan tak suka.
“Jangan
marah lah, Wat”, kata teman Susi ke Wati
“Apa!!!?”,
tanya Wati sambil dia dongakkan kepalanya kepada temannya Susi itu
“Udah,
udah. Selesai. Gak boleh berantem”, Piyan berdiri seperti orang yang mau
melerai
“Sabar,
Wat”, kataku sambil kupegang tangannya
“Siapa
lu! Ikut campur?”, tanya Susi kepadaku, tiba-tiba, membuat aku kaget, kenapa
jadi ke aku?
“Ga
apa-apa”, jawabku
“Udah,
Sus”, kata temannya berusaha mengajak Susi pergi
“Lu,
yang pengen ke Dilan ya?”
“Sus,
udah!”, kata temennya yang lain. Aku mengambil sikap diam. Nampak Piyan masih
sedang berdiri, bagai mengatur situasi untuk tidak jadi kacau, sambil terus
memegang tangan Wati.
Syukurlah,
kemudian Susi bisa diajak pergi oleh kawannya. Tapi sebelum itu, sebelum Susi
berlalu, dia bilang ke aku:
“Awas
lu!”
“Naon
ngancam-ngancam?”, Wati nanya ke Susi yang mulai berlalu. Artinya:”Apa
ngancam-ngancam?”
“Gandeng!”,
jawab Susi dari jauh. Artinya: “Berisik”
“Maneh
nu gandeng mah!“, Wati berusaha ngomong ke Susi yang sudah jauh. Artinya:”Kamu
yang justeru berisik”
“Kamu
kenapa?”, tanya Piyan ke Wati, sambil duduk
“Aku
gak suka Susi!!”, jawab Wati, “Awas kamu, kalau nemui dia!!”, sambung Wati.
53
Kejadian
di kantin masih terus saja kepikiran, sampai aku sudah ada dalam angkot untuk
pulang. Lupa, harusnya tadi aku bilang ke Wati, untuk jangan sampai Dilan tahu
soal itu. Oke, aku harus nelepon Wati kalau sudah sampai rumah.
Di
angkot, aku duduk paling belakang, sehingga bisa melihat ada motor, yang melaju
di belakang mobil angkot. Pengendaranya adalah Dilan yang bisa melihatku. Dia
berpakaian bebas dengan jaket jeans lusuhnya, memandangku, sambil telunjuk
tangan kirinya itu digerak-gerakkan ke arah bawah. Kukira itu kode untuk
menyuruh aku turun.
Aku
bilang “kiri” untuk meminta sopir menghentikan angkotnya. Aku turun dan bayar.
Kudatangi Dilan yang sudah berhenti di tepi jalan.
“Hey”,
kusapa dia
“Aku
tadi ke sekolah”
“Ngapain?”
“Nyari
kamu”
“Aku
gak tahu”
“Sekarang
tahu”
“He
he he iya”
“Aku
pernah meramal kamu nanti akan naik motorku. Ingat?”
“Iya”
“Bantu
aku”
“Bantu
apa?”
“Mewujudkannya”
“Ha
ha ha”
“Mau
bantu?”
“Ng…Mau!”
“Aku
suruh, atau kau naik sendiri?”
“Suruh!”
“Ikut
aku, Lia”
“Kalau
gak mau?”
“Kamu
ingkar janji”
“Kok?”
“Tadi
kamu sudah bilang mau”
“Ha
ha ha ha”, aku ketawa sambil naik motornya. Sebelum jalan, Dilan nanya:
“Aku
bingung, kubawa jalan-jalan dulu, atau langsung kubalikin ke dealer?”
“Siapa?”
“Kamu”
“Heh?
Emangnya aku kendaraan?”
“Ha
ha ha ha. Katanya, perempuan gak suka ditanya. Ya udah. Langsung kubawa
jalan-jalan aja”
“Kemana?’
“Jangan
tahu, gak perlu, yang penting berdua sama kamu”
“He
he he. Ini mau jalan apa enggak?”
“Mau,
tapi kamu jangan meluk”
“Enggak”
“Kecuali
kau mau”
“Ha
ha ha mau!!”
Kemudian
kami jalan. Itu adalah hari yang kuingat sebagai hari pertama kalinya aku naik
motor Dilan. Aku tidak tahu kata-kata apa yang tepat untuk mengungkapkan rasa
senangku, mudah-mudahan kamu bisa tahu bagaimana perasaanku. Berdua dengan
Dilan, menyusuri jalan Buahbatu, lalu belok kanan ke arah jalan Laswi. Enggak
tahu mau dibawa ke mana. Terserah Dilan.
“Sudah
makan?”, Dilan nanya
“Perempuan
gak suka ditanya”
“Ha
ha ha! Oke, kita makan dulu”
“Kemana?”
“Perempuan
gak suka ditanya. Lebih suka banyak nanya”
“Ha
ha ha ha terserah KAU lah, Gengster!!”
“Ha
ha ha”
54
Akhirnya,
kami milih makan bakso, di “Baso Akung”. Itu warung tenda. Dulu lokasinya di
jalan Banda, dekat GOR Saparua. Di sana sedang tak banyak orang, maksudnya cuma
ada tiga orang sedang makan dan bicara berketawa.
Kami
masuk dan kuawali dudukku sambil sebentar memandangnya. Memandang Dilan yang
juga mulai akan duduk. Aku nyaris tak percaya bahwa hari itu akan ada: Ah, aku
makan berdua dengan Dilan.
Dilan
pesan Bakso Kuah, aku pesan Bakso Yamin.
“Aku
suka, mereka bisa mengenang pahlawan dengan bakso”, kata Dilan, suaranya pelan
berbisik sambil memajukan mukanya agak sedikit ke arahku
“Caranya?”
“Dia
namai Bakso Yamin”
“Kok?”
“Aku
jadi inget Muhammad Yamin”
“Ha
ha ha”.
“He
he he”
“Kalau
Bakso Kuah?”, kutanya dia
“Itu
akan membuat aku ingat……….”
“Ingat
apa?”
“Akan
membuat aku ingat, ke kamu, aku pernah makan bakso kuah sama kamu, di sini”
“He
he he”
Angin
berhembus, sedikit agak kencang, memberi kepastian tentang perlunya daun-daun
pohon damar itu berguguran, untuk aku merasa romantis dalam kesenduan.
“Kau
lihat orang itu..”, kata Dilan sambil memberi kode, dengan mukanya, untuk aku
melihat kepada seorang laki-laki dan wanita berhadapan, yang duduk agak jauh di
sana. Mereka baru usai dari makan, dan ngobrol sambil tangannnya berpegangan.
Tapi sebelum kutahu maksud Dilan, bakso pesanan sudah datang, dan disimpan di
depan kami.
“Kenapa
orang itu?”, kutanya dengan suara pelan sambil mulai mengaduk bakso
“Aku
suka laki-lakinya”, jawab Dilan sambil mengaduk juga baksonya
“Heh?!”
“Bukan.
Laki-lakinya, kayaknya dia gak mau, tangan pacarnya itu hilang”
“Tahunya?”,
kataku, dengan suara yang sama pelan, sambil senyum ke dia
“Makanya
dia pegang terus”
“Ha
ha ha”
“Heeeh…Jangan
ketawa”, perintahnya dengan suara pelan lalu menyuapkan makanan ke mulutnya
“Kenapa?”,
tanyaku sambil merapikan rambutku.
“Nanti
laki-laki itu jadi suka ke kamu”
“Kenapa
emang?”, tanyaku sambil menyuapkan makanan, sedikit, karena merasa kikuk makan
di depannya
“Ketawamu
bagus”
“He
he ketawa ah”
“Terserah!
Nanti aku berantem dengan dia”
“Karena?”
“Rebutan”
“He
he he. Kamu yang menang”
“Karena?”
“Aku
ingin kamu yang menang he he he”
Kamu
tahu tidak? Saat itulah aku ingin nanya ke Dilan, untuk dapat kepastian, apakah
aku dengannya sudah pacaran atau belum? Mungkin buatmu itu gampang, ya aku juga
sudah lama berencana mau nanya soal itu, kelak, kalau berjumpa dengan dia. Tapi
ketika sudah ada di depannya, kenapa jadi seperti susah kuungkapkan?
Atau
sudah tak perlu lagi kutanyakan, tinggal kuanggap sudah. Bisa begitu, tinggal
jalan. Tapi akan lebih afdol lagi kalau resmi. Aku jadi punya hak untuk
mengklaim Dilan sebagai pacarku, dan dia juga begitu. Aku yakin kamu mengerti
maksudku.
Dilan
berdiri dan bergerak mengambil kerupuk di dalam kalengnya.
“Ini
buat kamu”, katanya
“Makasih”
“Awet-awet”
“Sampai
besok? He he he”
“Sampai
malam. Sekarang dimakan setengahnya. Sisanya buat di rumah, makan malam”
“He
he he kan bisa beli lagi?”
“Enggak,
harus itu. Nanti aku minta plastik, dibungkus”
“Serius
ini? He he he”
“Iya”
“Ya
udah”, kupotong kerupuk itu jadi dua, “Yang ini buat malam he he he”, sambungku
sambil kupandang Dilan. Setengahnya kumakan, setengah lagi kusimpan di sisi
piring pisin.
Sehabis
makan, kami pergi. Menelusuri jalan dengan langitnya yang mendung. Dengan
pohon-pohonnya yang rindang, di sepanjang perjalanan. Dengan bunga-bunganya
yang bagus, karena itu Oktober, memang sedang musimnya. Waktu itu, Bandungnya
masih sepi, belum banyak kendaraan. Jalan juga belum lebar dan masih tentram.
Cobalah ke Bandung pada tahun seribu sembilan ratus sembilan puluh, kau akan
kecewa dengan keadaan sekarang
Aku
gak tahu mau dibawa kemana, dan gak mau tahu, aku hanya ingin berdua dengan
Dilan hari itu. Siapa pun, jangan ada yang bilang tidak boleh, termasuk kamu,
juga Susi, juga Beni, Kang Adi, Nandan, Suripto, dan lain-lain, karena itu
pasti akan membuat aku sedih.
Senang
sekali rasanya bersama orang yang kuanggap bisa memberiku penghiburan. Tenang
sekali rasanya bersama orang yang kuanggap bisa memberiku perlindungan. Riang
sekali rasanya bersama orang yang aku rindukan bisa berdua denganku. Biarkan
aku memilih dan memiliki kesenangan sendiri. Dia adalah Dilanku, jangan
diambil.
55
Motor
melaju dengan pelan di jalan Telaga Bodas. Itu saat Dilan akan mengantar aku
pulang
“Itu
pohon”, kata Dilan di atas motor, sambil nunjuk satu pohon. Dia memang bilang,
saat itu, ingin jadi guideku, katanya biar lebih kenal Bandung
“Wow”,
jawabku sambil senyum, pura-pura terperangah seolah aku baru tahu pohon
“Itu
langit!”, dia angkat telunjuknya ke atas
“Mendung”
“Iya.
Itu Mang Jajang”, Dilan menunjuk tukang dagang di pinggir jalan
“Kamu
kenal?”
“Kita
namai aja Jajang”
“Ha
ha ha”
“Itu
uang!”, Dilan nunjuk bapak-bapak yang sedang jalan di trotoar
“Mana?”,
kutanya
“Di
dalam kantongnya”
“Tahu
ada uangnya?”
“Kita
anggap begitu”
“Kita
anggap uangnya semilyar”
“Jangan,
nanti dia kecewa”
“Kenapa?”
“Pas
dirogoh, kantongnya kosong”
“Kan
kita lagi anggap-anggapan ih!?”
“Dia
ingin nyata”
“Ha
ha ha”
“Ini
kamu”, dia menunjukku dengan mengarahkan telunjuknya ke belakang
“Aku
baru tahu”, kataku sambil senyum
“Pemakan
lumba-lumba”
“Ha
ha ha kamu beneran bilang begitu ke Bunda?”
“Iya”
“Mmm…kamu
beneran bilang aku berkumis ke Bunda?”
“Iya”
“Mmmm…..Kamu
beneran bilang…..aku pacarmu ke Bunda?’
“Iya”
“Emang
kita pacaran?”
“Iya”
Aku
langsung diam mendengar dia bilang “iya”. Aku langsung bingung gak tahu aku
harus ngomong apa. Bisakah itu kuanggap Dilan sedang nyatain? Bisakah itu kuanggap
bahwa dengan sendirinya kami resmi pacaran sejak itu? Ih, Dilan!
“Kenapa
diam?”, tanya Dilan
“Eh?
Enggak. Ga apa-apa”
56
Waktu
tiba di rumahku, ada Bang Faris, pamanku, sedang mengikat satu dus di ujung
belakang jok motornya, entahlah apa isinya. Bang Faris lalu bilang bahwa ibu
nanyain aku. Aku jawab ada acara di rumah teman. Kuperkenalkan Dilan kepadanya.
“Mau
masuk dulu gak?”, kutanya Dilan
“Langsung
aja”
“Oke,
Makasih ya”
“Sama-sama”
Setelah
permisi ke aku dan Bang Faris, Dilan lalu pergi.
“Pacarmu?”,
Bang Faris nanya
“Teman”,
jawabku. Ah, kenapa harus bilang Dilan cuma teman? Gak enak rasanya.
“Awas,
dia nakal”
“Dia
baik”
“Kamu
ikut besok?”
“Ke?”
“Acara
syukuran”
“Syukuran
apa?”
“Di
rumah Adi. Ayah, ibu juga ikut”, jawabnya. Adi yang dia maksud adalah Kang Adi
“Oh?
Besok?”
“Iya,
malam”
“Syukuran
apa sih?”
“Itu,
syukuran buka toko di BIP”, jawabnya. Bandung Indah Plaza memang baru launching
bulan Agustus kemaren.
“Kok
baru ngasih tahu?”
“Tanya
ibu deh. Tadi nyari sampai nelepon ke sekolah”
“Oh?
Ya udah”
Aku
masuk dan kudapati ibu marah karena aku pulang telat. Marah sedikit, tapi itu
juga marah. Kubilang terus terang bahwa aku habis jalan-jalan sama Dilan. Ibu
bilang kalau pulang telat aku harus kasih khabar dulu ke rumah.
Ibu
nanya menyinggung hubunganku dengan Beni. Aku ingin bilang bahwa hubunganku
dengan Beni sudah lama berakhir, tapi gak jadi, gak usah. Jadi kujawab
baik-baik saja. Ibu memang belum tahu, belum kukasih tahu. Maksudku, butuh waktu yang tepat untuk aku ceritakan.
57
Malamnya
Kang Adi nelepon, dia bilang soal acara syukuran yang akan diselenggarakan di
rumahnya. Dia meminta aku datang, katanya sekalian kenalan dengan anggota
keluarga Kang Adi.
“Insya
Allah, ya Kang”
“Mau
nyiapin makanan khusus buat Lia”
“Gak
usah, Kang. Ngerepotin”
“Buat
Lia sih enggak?”
“Gak
usah, Kang”
“Pokoknya
istimewa. Masakan super istimewa”
“Samain
aja dengan yang lain”
“Ini
saya lho yang masaknya. Gini-gini juga bisa masak he he he”
“Besok
malam ya?’, kutanya
“Iya,
datang ya. Pokoknya ada makanan istimewa buat Lia”
“Makasih.
Insya Allah, ya Kang”
“Atau
mau kujemput?”
“Ikut
ayah kayaknya, Kang”
“Pokoknya
ditunggu. Mama juga bilang: Lia ajak ke sini”
“Mama…?
Mama Kang Adi?”
“Iya.
Mama saya”
“Oh”
“Ya,
sekalian kenalan lah. Tak kenal maka tak sayang kan?”
“Iya.
Insya Allah”
Seusai
Kang Adi nelepon, aku pergi ke dapur untuk makan, dengan pikiran dipenuhi
banyak hal tentang Dilan, termasuk jadi ingat kerupuk. Kuambil kerupuk yang
tinggal setengah itu, dari dalam tas sekolahku, dan kumakan bersama makan
malamku, sambil senyum: Aku habiskan ya, Dilan! Terimakasih kerupuknya. Enak.
58
Tadi,
di sekolah, aku gak semangat. Selalu begitu sejak sekolah gak ada rasa
Dilannya. Tapi tadi aku ketemu Piyan, di tempat tukang photo copy, dan ngobrol
soal Wati yang izin gak masuk sekolah karena sakit. Juga ngobrol soal Dilan.
Pastilah itu.
“Pokoknya
cuma kamu yang tahu ya aku sama Dilan? Maksudku aku mau sama Dilan he he he”
“He
he he iya. Dilan kan gak suka kalau pacaran diumum-umumin”
“Dilan
bilang gitu?”
“Gak
perlu kata dia sih, gak perlu orang tahu”
“Bilang
gitu ke kamu?”
“Iya.
Dia mah curhatnya ke saya”, jawab Piyan
“Oh”
“SD,
SMP, aku bareng sama Dilan terus”, kata Piyan
“Oh
ya?”
“Dilan
pernah pacaran gak?”, kutanya
“Waktu
SMP, pernah sama Hemi”, jawabnya
“Putus
kenapa?”
“Tanya
langsung Dilan aja. Takut salah”
“Iya.
Katanya suka pada kumpul ya di rumah Dilan?”.
“Iya”
“Ngapain?”
“Paling
gitar-gitaran. Main domino. Jagoan dia”
“Domino
itu apa?”
“Main
gaple”
“Oh.
Aku pengen ikut ngumpul…..”
“Tapi
kan itu malem”
“Kan
bisa izin dulu ke ibu. Bilang nginep di rumahnya Wati he he he. Tetanggaan,
kan?”
“Iya”
“Bikin
acara yuk sama Dilan?”
“Malam
minggu suka nyate di belakang rumahnya”
“Sate
ayam ya?”
“Apa
aja”
“Ayamnya
dari mana?”
“Ya
beli lah”
“Katanya
pernah ngambil ayam ibunya Wati?”
“Ha
ha ha ha iya, sekali. Kok tahu?”
“Kata
Wati ha ha ha”
“He
he he”
“Tahu
ayamnya diambil, terus apa kata ibunya Wati?”
“Ya,
ga apa-apa. Gitu aja. Kan saudaranya”
Oh,
waktu SMP Dilan pernah pacaran. Kenapa putus ya? Apakah Dilan nyeleweng? Siapa
tadi namanya? Hemi. Seru enggak ya Dilan pacaran sama Hermi? Sedikit ada
cemburu, meskipun harusnya aku sadar, toh aku juga pernah pacaran dan putus.
Iya sih.
Selain
itu, tadi juga kami obrolkan soal Susi, tapi kata Piyan: sudah tidak perlu
diambil pusing. Ya sudah! Yang penting Dilan gak mau sama Susi.
59
Sorenya,
dengan mobil ayahku, aku pergi bersama ayah, ibu, dan adikku, ke rumahnya Kang
Adi. Sopirnya Bang Faris. Kamu pasti tahu, meskipun aku ikut, sebetulnya aku
malas. Kata ibu, mendingan ikut aja, gak enak. Aku nurut. Padahal aku lebih
suka di rumah, dan mungkin akan dapat telepon dari Dilan.
Kami
datang lebih awal, karena Ayahku, yang diwakilkan kepada Bang Faris, adalah
pihak yang menjadi rekan bisnis ayahnya Kang Adi, sehingga otomatis kami
menjadi bagian dari panitia penyelenggara acara syukuran itu.
Sebelum
magrib, kami sudah tiba di sana. Ayah ngobrol dengan Ayahnya Kang Adi di
Paviliun, Ibu dan adikku juga. Kang Adi meminta aku untuk membantu ibunya di
dapur yang sedang sibuk menyiapkan makanan. Aku nurut, kau tahulah, pasti
dengan terpaksa.
Di
dapur, tidak cuma ada aku, Kang Adi dan ibunya, tapi ada juga tantenya dan seorang ibu, yang aku gak tahu siapa dia.
Pada sibuk nyiapin ini itu. Tugasku menghekter dus kertas sambil duduk di
lantai. Dus itu akan dipakai untuk tempat makanan yang akan dibawa pulang para
tamu. Aku tidak kerja sendiri, tapi ditemani Kang Adi.
‘Bu,
disimpan di mana ini?”, kutanya ibu Kang Adi sambil berdiri membawa beberapa
dus kosong.
“Di
situ aja, Neng” kata ibunya Kang Adi sambil nunjuk ke atas meja.
“Jangan
manggil ibu lah, panggil Mimih aja”, kata Kang Adi yang masih duduk bersila di
tempat yang banyak tumpukan kertas-kertas dus itu.
“Iya”,
jawabku sambil menumpukkan dus kosong di atas meja
“Mih,
ini tuh Lia, anak Pak Adnan”, kata Kang Adi kepada ibunya yang sedari tadi
berdiri membungkus beberapa makanan di atas meja panjang. Aku senyum kepada
ibunya yang menoleh kepadaku dan bertanya:
“Kelas
berapa sekarang?”
“SMA,
Bu”, jawabku
“Ibu
lagi. Panggil Mimih aja”, kata Kang Adi
“Iya,
Kang”, jawabku sambil kembali kerja
“Teh,
itu mah dipisahin aja kayaknya”, kata Ibunya Kang Adi kepada ibu-ibu yang
disampingnya yang lagi sibuk misah-misahin makanan.
“Udah
besar ya?”, kata ibunya Kang Adi entah kepada siapa.
“Siapa?”,
tanya ibu-ibu di sampingnya
“Itu
anak Pak Adnan”, jawab ibunya Kang Adi. Oh, ke aku.
“Iya,
Mih?”, tanyaku
“Kamu
udah besar. Kelas berapa?”
“Kelas
dua, Mih”, jawabku
“Kenal
Adi di mana?”, tanya Tantenya yang lagi duduk sambil ngelapin buah-buahan
“Saya
ngebimbing dia belajar”, jawab Kang Adi
“Oooh,
kirain pacarnya”, kata Tantenya
“Bukan”,
jawabku
“Cantik
juga”, kata Tantenya lagi
“Makasih
he he”, jawabku. Habis itu permisi untuk mau shalat magrib.
60
Menjelang
acara dimulai, sudah banyak tamu yang datang, tidak semuanya kukenal. Sebagian
besar pada kumpul di ruang tengah, dan aku juga di situ, bergabung bersama
ayah, ibu dan adikku. Kang Adi berdiri di sampingku, sedangkan Bang Faris
berdiri bersama Ayahnya Kang Adi.
Setelah
ayah Kang Adi ngasih sambutan, acara disusul oleh dibacanya doa-doa. Baru
kemudian giliran Bang Faris, diberi mandat untuk memotong tumpeng itu. Pucuk
tumpengnya disimpan di atas piring dan kemudian diberikan kepada ayahku. Acara
syukuran pun selesai, ditutup oleh seluruh tamu dipersilakan menikmati hidangan
yang sudah disediakan.
Kang
Adi ngajak aku untuk pergi ke Paviliun, dan bilang:”Kenalan sama temen-temen.
Sebentar”. Aku ke sana dan kudapati ada 4 orang yang sedang duduk di sofa
merah. Semuanya laki-laki, sebaya dengan Kang Adi. Setelah kenalan, Kang Adi
menyuruh aku duduk di bangku yang ada di sampingnya.
Kelima
orang itu semuanya mahasiswa, masing-masing kuliah di tempat berbeda. Katanya
mereka temen Kang Adi waktu dia di SMA. Kang Adi pergi dan tak lama datang
kembali dengan membawa makanan bersama minuman coca-cola.
“Saya
bikin khusus buat Lia nih”, kata Kang Adi
“Wey,
enak nih!”, kata temannya
“Heh,
buat Lia, ini”, kata Kang Adi seolah meledek temannya itu
“Makasih”,
kataku
“Bagi
ya, Lia?”, pinta temen Kang Adi yang satunya lagi
“Bareng-bareng
aja”, jawabku
“Lia
yang bagiin dong”, kata Kang Adi
“Aku
yang banyak ya, Lia. Belum makan dari SD nih”.
“Gimana
pacaran sama Adi?”, tanya temannya yang pake sweater
“Pacar
apaan?’
“Maafin
nih, kita-kita emang suka pada ngebodor”, potong Kang Adi
Sebenarnya
aku bingung, di situ harus ngapain, selain untuk menikmati makanan dan
ber-ha-ha-he-he mendengar mereka yang masing-masing pada berusaha ngebodor.
“Anjiiir
ha ha ha ha ha terus ceweknya gimana?”, tanya orang yang bernama Rudi kepada
orang yang bernama Diki.
“Kepanasan
lah, kan ditanganku ada Rhemasonnya ha ha ha ha ha ha!!”
“Ha
ha ha ha ha ha ha, parah!”, Rudi ketawa, Gagan juga, Diki juga, Pipin juga,
Kang Adi juga, aku cuma bisa he he he.
“Kalau
udah kumpul kita mah ya gini, Lia. Seru”, kata Kang Adi
“Iya”,
jawabku
“Kamu
pernah gak, tali BH nya kamu tarik dari belakang? Ha ha ha ha”, Rudi nanya ke
orang yang bernama Gagan
“Ha
ha ha ha!!”, hampir semua ketawa, aku cuma bisa he he he.
Saat
itu, saat mereka ngebodor itu, pikiranku sedang naruh curiga, jangan-jangan,
tanpa sepengetahuanku, Kang Adi ngaku-ngaku pada mereka bahwa aku adalah
pacarnya dia. Sialan, kau. Tadinya mau kubilang bahwa aku sama sekali bukan
pacarnya. Tapi tak kunjung bisa kuucapkan, mungkin aku merasa ini tak enak bila
aku katakan sedangkan aku berada di rumahnya.
Serius,
aku ingin pulang. Atau minimal aku ingin bergabung dengan ayah dan ibuku di
ruang tengah. Serius, selagi aku di situ, iya betul, diriku memang di situ,
tapi pikiranku sepenuhnya pergi ke Dilan! Dilan, di mana kamu? Lagi ngapain?
Kamu pasti nelepon ya? Akunya gak ada ya? Yang ngangkat si Bibi ya? Kasian.
Nanti ya, Sayang, akunya lagi bosan dulu di sini.
Lalu
ayah manggil, katanya sudah saatnya untuk pulang. Memang, sebagian besar tamu
juga sudah pada pergi pulang. Aku berdiri dan pamit pada mereka, lalu pergi ke
ruang tengah disusul oleh Kang Adi. Rasanya aku seperti bahagia karena lepas
dari tempat yang bikin aku bosan.
Di
ruang tengah sudah tak banyak orang, tinggal keluarga Kang Adi dan keluargaku.
Ada beberapa orang lainnya yang entah siapa mereka aku gak tau.
“Ini,
anak saya, Bu”, kata ibuku memperkenalkan aku kepada ibunya Kang Adi
“Iya,
tadi di dapur. Bantu-bantu. Kirain siapa”, jawabnya
“Terimakasih,
Adi udah mau ngebimbing Lia”, kata ibuku lagi
“Ga
apa-apa. Senang kok”, jawab Kang Adi nyerobot
“Adi
itu suka ngebimbing adik-adiknya juga. Kadang-kadang ada anak tetangga yang
pada ikut belajar di sini”, sambung ibunya
“Wah
bagus itu”, kata ibuku. Sementara ayahku sudah di luar, sedang ngobrol sama
ayahnya Kang Adi dan Bang Faris.
“Jangan
pacaran dulu”, kata ibu Kang Adi kepadaku
“He
he he, iya, Bu”, kujawab. Lalu dia ngobrol dengan ibuku untuk membahas soal
lain.
61
Kami
pulang, setelah saling bersalaman. Sesampainya di rumah, jam sudah menunjuk
angka 10. Jaman dulu, jam segitu, sudah dianggap larut malam. Aku langsung cari
si Bibi, dia ada di kamarnya. Kutanya, apakah Dilan nelepon? Iya katanya.
“Bilang
apa dia?’
“Ngajak
Bibi ngobrol”, jawab si Bibi
“He
he he. Ngobrol apa?”
“Apa
ya? Itu, katanya dia lagi di atas pohon”
“Ha
ha ha ha ha. Terus?’
“Aneh.
Apa lagi ya? Katanya kalau diculik, Bibi mau nolong gak?”
“Ha
ha ha. Kalau dia diculik maksudnya?”
“Iya”
“Terus
apa kata Bibi?”
“Ya,
mau lah. Diculik apa tanya Bibi?”
“Diculik
apa katanya, Bi?”, aku nanya
“Diculik
semut jahat”
“Ha
ha ha ha”
“Terus
katanya mau ngajarin Bibi suara bencong, buat nyamar”, kata si Bibi
“Ha
ha ha ha ha. Terus Bibi bilang apa?”
“Bibi
bilang gak mau”
“Terus
apa katanya?”, aku mulai duduk di kasur si Bibi
“Dipaksa
mau, nanti dikasih uang katanya, seribu”
“Ha
ha ha. Bibi tahu siapa dia?”
“Siapa?”
“Jangan
bilang-bilang ya?”
“Iya”
“Dia
pacar Lia he he he”
“Oh?”,
Si Bibi nampak seperti orang terperangah, mulutnya ditutup dengan kedua
tangannya
“Iya,
Bi”
“Terus
Den Beni?”
“Sudah
hilang!”
“He
he he. Eh? Tadi juga ada yang nelepon”
“Siapa,
Bi?”
“Siapa
ya, Nandan gitu?”
“Oh
iya. Apa katanya?”
“Bibi
bilang Lianya lagi kondangan, terus udah”
“Oh,
ya udah”
Lalu
aku masuk kamar, setelah bersih-bersih dan gosok gigi. Lelah sekali hari itu,
dan langsung pergi tidur, di kasur yang oke untuk tempat rindu Dilan. Setelah
baca doa, seperti biasa aku bilang sambil senyum: “Selamat tidur juga, Dilan.
Dilanku………..Sayangku……….”
62
Hari
sabtu, di sekolah, terdengar ada khabar bahwa Dilan, bersama kelompoknya, mau
nyerang SMA lain di Dago. Aku jadi was-was, meskipun belum pasti apakah itu
benar atau tidak. Kutanya Wati.
“Enggak
tahu. Iya gitu?”, Wati balik nanya
“Katanya”
“Gak
tau ah. Itu mah urusan dia”
Pas
pada waktu istirahat, dengan diantar Wati, aku pergi ke warung Bi Eem. Di sana
sudah ada banyak motor. Tidak kuhitung jumlahnya, kutaksir ada lebih dari 30
motor. Di halaman warung Bi Eem, kudapati banyak orang, sebagiannya lagi pada
kumpul di dalam warung Bi Eem. Itu, semacam ruangan tamu yang biasa dipake oleh
mereka untuk nongkrong.
Dari
wajah mereka, ada yang bisa kukenal, karena memang satu sekolah, meskipun tidak
kutahu namanya. Aku nebak, mereka yang tidak kukenal, adalah siswa dari SMA
lain yang ikut bergabung. Tadinya kami berniat balik lagi. Serem ah, kata Wati.
Tapi kecemasanku akan Dilan menguatkan niatku untuk tetap ke sana.
Waktu
mau masuk ke sana, aku mendengar obrolan orang-orang yang pada duduk di atas
tembok pagar itu:
“Saha
euy. Geulis euy”. (Siapa nih. Cantik euy). Aku yakin mereka adalah siswa dari
SMA lain
“Jeung
aing ieu mah” (Buat saya ini sih)
“Anjrit,
kudu ditangani eiu mah” (Anjrit, harus ditangani ini sih)
“Mau
kemana, Cantik?”. Aku tahu dia nanya ke aku. Aku langsung berbalik menghadap
kepada orang yang bertanya:
“Aku
pacarnya Dilan………….”, kataku
“Oh?”
“Mau
ke Dilan?”, satu yang lain bertanya
“Ada
dia?”, kutanya lagi
“Ada.
Di dalam. Masuk aja”
“Makasih”
“Iya”
Sungguh,
aku tadi keceplosan. Enggak sadar bahwa bersamaku ada Wati. Harusnya Wati kaget
dengan pernyataanku bahwa aku pacar Dilan. Atau tidak? Karena dia sudah tahu
dari Piyan. Tapi kalau Dilan tahu, pasti dia gak akan suka, sebab kata Piyan,
Dilan gak mau kalau dia pacaran semua orang pada tahu. Ah, sudahlah, maafkan
aku, tadi cuma refleks saja.
Aku
masuk ke warung Bi Eem dan bertemu dengan Dilan yang sedang ngobrol bersama
satu orang yang tidak kukenal. Sedangkan di bangku yang lain, beberapa orang
sedang pada asik ngobrol. Dilan meminta kawannya untuk bergeser, agar aku bisa
duduk di sampingnya, dan Wati duduk di sampingku. Aku heran kenapa Wati diam
terus.
“Aku
ingin jalan-jalan sama kamu”, kataku pada Dilan
“Kapan?”
“Sekarang”
“Sekarang?”,
Dilan kulihat kaget karena tahu ini sangat mendadak
“Iya”,
jawabku. Aku lihat Dilan memandang kawannya itu.
“Kamu
kan sekolah?”, tanya Dilan, memandangku lagi
“Aku
mau bolos”
“Heh?
Kamu harus sekolah”
“Aku
bisa ijin”, kataku. Aku lihat Dilan menyerahkan kertas yang penuh coretan
kepada kawannya itu.
“Sekarang
juga?”. Dilan nanya lagi
“Iya”
“Gimana
kalau besok?”
“Aku
ingin sekarang”
“Kalau
sekarang, aku ada perlu, mau pergi”, katanya
“Aku
ingin jalan-jalan sama kamu sekarang”, kataku
“Kan
besok bisa?”.
“Aku
ingin jalan-jalan sama kamu sekarang”. Kataku
“Eh?
Kok nangis?”
“Aku
ingin jalan-jalan sama kamu sekarang”
“Mmmm.
Ya udah, kalau gitu. Langsung?”
“Aku
ambil tas dulu”
“Iya.
Kutunggu di sini”
Aku
dan Wati pergi, meninggalkan warung Bi Eem, untuk mengambil tasku di kelas.
Kepada Wati aku jadi bilang terus terang, bahwa meskipun belum ada pernyataan
resmi, sebenarnya aku merasa sudah pacaran dengan Dilan. Wati hanya menjawab
sambil memandangku:”Iya. Dia baik”
Setelah
selesai kubuat surat ijin, aku langsung pergi untuk kembali ke warung Bi Eem.
Di sana, kudapati beberapa orang siswa dari SMA lain pada pergi dengan
motornya. Di warung Bi Eem, orangnya jadi sedikit, bahkan tak lama kemudian
mereka pada pergi untuk masuk lagi ke kelas.
Aku
duduk dengan Dilan di dalam warung Bi Eem. Orang yang tadi ngobrol dengan Dilan
sudah gak ada.
“Jalan-jalan
kemana?”, Dilan nanya
“Terserah
kamu”
“Ke
Singapur?”
“Kalau
aku ingin ke rumahmu?”
“Rumahku
di mana ya?’
“Aku
ingin ketemu Bunda”
“Nanti
sore baru pulang”
“Jalan-jalan
dulu aja”
“Oke.
Kita ke…….”
“Ke
Dago yuk?”
“Jangan”,
katanya
“Kemana
ajal deh. Pokoknya jalan-jalan. Nanti…..pulangnya ke rumahmu”
“Iya.
Sudah makan?”
“Perempuan
gak suka ditanya ha ha ha ha”
“He
he he. Oke. Berti jangan ditanya. Kamu belum makan dan mau makan sama aku”
“Iya”
“Kamu
rindu aku semalam”
“Kalau
enggak?”
“Berarti
kamu bohong”
“Ha
ha ha. Eh kamu nelepon ya tadi malam?”
“Iya”
“Terus
ngobrol sama si Bibi?’
“Iya”
“Terus
mau ngajarin dia ngomong gaya bencong?’
“Ha
ha ha ha”
“Kenapa
ketawa?”
“Bener.
Perempuan lebih suka banyak nanya”
“He
he he he. Tahu gak aku kemana semalam?”
“Ke
rumah Kang Adi”
“Hah?
Kok tahu Kang Adi?”
“Bi
Asih yang bilang”
“Itu.
Ada acara syukuran. Aku pergi sama ayah, sama ibu. Kamu tahu gak Kang Adi
siapa?”. Tanyaku, mendadak aku takut dia cemburu.
“Kamu
akan ngasih tahu”
“Dia
yang bimbing aku belajar”
“Iya.
Eh, jadi pergi gak?”
“Iya.
Hayu. Tapi cari telepon dulu ya, mau ijin ke Ibu”
“Aku
yang nelepon”, kata Dilan sambil berdiri
“Aku
aja”, kataku, juga sambil berdiri
“Aku
yang minta ijin, kan aku yang bawa kamu”
“Tapi
aku yang ngajak”
“He
he he he”
63
Tadinya
aku mau nanya Piyan, soal benar tidaknya mereka mau nyerang. Tapi Piyannya gak
ada. Dia gak sekolah. Izin, ada urusan keluarga kata Wati. Sungguh, tadi itu,
aku risau, kebayang dengan resiko yang akan didapat oleh Dilan kalau benar dia
nyerang.
Ya,
betul. Aku bisa langsung nanya Dilan. Tapi kamu tahu, kalau benar mau nyerang,
mana mungkin Dilan ngaku. Sudah bisa ditebak, jika dia kutanya, jawabannya
akan: “Tidak”. Itu pasti laaah. Dilan juga tahu, kalau dia bilang “Iya”, itu
bodoh, aku akan marah dan melarangnya, lalu gagallah rencananya.
Jadi,
aku merasa gak perlu nanya lagi. Kuanggap saja itu benar. Lalu kucari akal
bagaimana bisa gagal. Syukurlah, dengan mengajaknya jalan-jalan, cara itu
berhasil. Aku yakin Dilan heran, kenapa juga harus dadakan.
Jangan-jangan,
sebetulnya dia tahu, apa tujuan asli dari aku mengajaknya. Sebab waktu tadi
kuajak, ah, sampai ada air mata pula di mataku (habisnya kesel), kulihat dia
senyum, tapi aku yakin dia juga bingung, mana yang harus dipilih, sedangkan
teman-temannya sudah terlanjur pada datang.
Bahwa
akhirnya dia lebih memilih mauku. Aku gak tahu, dia bilang apa ke
teman-temannya. Tapi aku yakin, Dilan bisa menanganinya dengan baik, untuk
tidak membuat kecewa kawan-kawannya. Hanya saja, aku jadi gak enak, sudah
membuat Dilan bingung. Sudah membuat Dilan repot.
Tapi
Dilan juga sama! Membuat aku repot! Bikin risau! Bikin cemas! Bahkan gara-gara
soal itu aku jadi gak sekolah. Aku jadi harus jalan-jalan dengannya dan senang
he he he. Kalau kau jadi aku, kau juga akan gitu lah! Percaya deh!
Aku
pergi dengan Dilan, menyusuri Buahbatu yang sepi dan lengang, maksudku bukan
Buahbatu yang ada sekarang, tapi Buahbatu yang dulu. Terus belok, ke arah jalan
Laswi. Yaitu Laswi yang dulu, bukan Laswi yang kini besar dipenuhi oleh banyak
kendaraan.
Di
daerah jalan Riau, Dilan membelokkan motornya, masuk ke halaman perkantoran
yang lumayan cukup luas dan teduh oleh banyak pohon tumbuh. Aku bingung, gak
tahu mau apa? Dilan menyuruh aku turun dan lalu duduk di teras halaman kantor
itu.
“Istirahat
dulu di sini”, kata Dilan
“Ih!
Ngapain?”, kutanya
“Sekalian
ngerencanain mau jalan-jalan kemana”
“Biasanya
juga gak pernah direncanain”
“Sekarang
direncanain”
Tak
lama dari itu, sayup-sayup ada suara gemuruh dari jauh. Makin lama suara itu
makin jelas. Itu adalah suara motor, saking banyaknya, jadi gemuruh. Dari
halaman kantor itu, aku lihat mereka lewat. Pengendaranya berseragam SMA dan
mengacungkan pedang samurai.
Kamu
tidak akan percaya, bahwa jaman dulu, di Bandung, hal itu benar ada. Anehnya,
kondisi macam itu, dulu masih bisa dianggap sebagai hal yang lumrah, tidak
dinilai sebagai satu hal yang menguatirkan. Aku harus bilang apa, untuk kamu
bisa ngerti bahwa gengmotor jaman dulu, jauh berbeda dengan gengmotor jaman
sekarang yang karena sudah menjurus kriminal jadi pantas diberantas.
“Siapa?
Kawanmu?”, kutanya Dilan yang sedang duduk dengan dagu berbantal kedua lengan
disimpan di kedua lutut kakinya.
“Gak
tahu……….”
“Mereka
itu…maunya apa sih? Sok jago! Mengganggu. Menyebalkan!”, kataku seperti ngomong
pada diri sendiri.
“Ada
banyak orang, Lia. Beda-beda. Ada orang yang kayak mereka. Ada orang yang kayak
aku. Ada orang yang kayak kamu. Kamu ingin semua orang sepertimu?”, jawab Dilan
tanpa memandangku.
“Tapi
mereka mengganggu………..”
“Ada
yang sudah mengganggu mereka, yang membuat jadi begitu”
“Apa?”
“Ayo
jalan lagi”
Kami
pergi dari halaman kantor itu, kembali ke jalan Laswi dan belok ke jalan Gatsu.
Itu adalah jalan Gatsu yang lengang dan masih tentram, belum ada BSM nya. Terus
belok ke arah gang Warta dan berhenti di pasar tradisional, entah sekarang
masih ada atau tidak.
“Kita
belanja”, kata Dilan
“Belanja?”
“Iya”
“Buat
apa?”
“Masak
di rumah. Mau ke rumah kan?”
“Iya”
Kami
belanja ini itu. Jalannya becek, sisa hujan subuh tadi.
“Ini
daerah kekuasaan Kang Atot. Aku kenal. Kamu boleh teriak kalau mau”, kata Dilan
sambil jalan menuju ke tempat motor diparkir.
“Gak
mau………..”, kujawab
“Atau
tidur di pasar, mau?”
“Gak!”
“Kamu
bisa bilang “Aku sayang kamu” kalau mau”, katanya. Aku sempet terdiam dulu
mendengarnya.
“Ke
siapa?”, kutanya dia
“Ke
aku”
“Kamu
dulu”
“Ke
siapa?”, dia nanya
“Ke
aku lah”
“Bilang
apa?”
“Aku
sayang kamu”
“Sudah
diduluin sama kamu, barusan”
“Ha
ha ha ha ha ha”
“Dagu
kamu itu bagus, aku tadi takut ada yang nawar”
“Berapa
kalau ada yang nawar?”, kutanya
“Harganya?”,
dia balik nanya
“Iya”
“Seribu
juga kemahalan”
“Semurah
itu?”
“Asal
aku yang belinya”
“He
he he”
Selesai
dari pasar, kami langsung pergi. Menyusuri jalan Gatsu yang belum lebar seperti
sekarang ini. Terus belok kanan ke jalan Kiaracondong yang sepi. Dilan
menjalankan motornya pelan sekali.
“Mau
kemana?”, kutanya
“Bundamu”
“Asiik!”
“Nanti
ke si Bunda bilang kita baru pulang dari Mesir ya”
“Biar
apa?”
“Biar
gak percaya”
“Ha
ha ha ha”
“Terus
nanti kamu pura-pura bisu”, katanya
“Kenapa?”,
kutanya
“Biar
nanti si Bunda bilang, kok jadi bisu?”
“Terus?”
“Nanti
aku jelasin ke si Bunda”
“Bilang
apa?”, kutanya
“Dia
pura-pura, Bunda”
“Ha
ha ha! Terus aku bilang, disuruh kamu”
“Terus
Bunda bilang, mau-maunya disuruh”
“Terus
aku jawab, dipaksa Dilan, Bunda”
“Terus
aku jawab, Maaf, Bunda”
“Terus
tidak dimaafkan sama si Bunda”
“Aku
dikutuk jadi batu”
“Terus
batunya dilempar ke sungai”, kataku
“Terus
hilang”
“Terus
aku sedih……………”
“Terus
nyari batu itu. Kamu jadi tukang batu”
“Terus
ketemu”, kataku
“Mau
diapain?”, dia tanya
“Dibawa
kemana-mana”
“Dikantongin
aja, biar gak sakit perut”
“Ha
ha ha ha”
64
Kamu
pernah merindukan satu tempat, dan ingin pergi ke sana, sangat ingin. Bagaimana
perasaanmu ketika suatu hari ternyata kamu betul-betul ada di sana? Saking
senangnya, kamu merasa kesulitan ketika harus diungkap ke dalam kata-kata. Ya,
aku juga begitu, sama, ketika sampai di rumah Dilan.
Setelah
turun dari motor, Dilan bilang: “Tunggu”, lalu pergi ke sana, mengetuk pintu.
“Iya”,
jawabku, berdiri di samping motor, menenteng belanjaan yang dibungkus dalam dua
kantong kresek.
Pintu
membuka, oleh orang yang keluar dari rumah. Dia adalah anak muda, lebih tua
dari Dilan, berkaus merah, celana pendek. Aku sudah siap untuk senyum kalau dia
memandangku, sambil menebak siapa gerangan orang itu. Mungkin kakaknya, atau
saudaranya.
“Naon,
Lan?”, orang itu bertanya, yang artinya:”Ada apa, Lan?”
“Ceuk
si eta mah, ieu imah urang ceunah, Wan?”, jawab Dilan, sambil mengarahkan
telunjuknya ke aku. Artinya:”Masa’ kata dia, ini rumah aku, Wan?”.
Aku
tidak mengerti bahasa Sunda, tapi aku bisa faham apa yang sedang dibahas.
Sedikit kuhela nafasku merasa sudah dibohongi. Tadi di motor Dilan bilang ke
aku: “Ini mungkin rumahnya”. Aku jadi seperti malu ketika orang itu ketawa.
“Ha
ha ha! Saha, Lan?”. Tanya orang itu. Artinya:”Siapa dia, Lan?”
“Baturan
TK”. Jawab Dilan. Artinya:”Teman TK”
“Sia
mah! Ha ha ha. Masuk heula atuh”. Artinya: “Ah kamu ini. Ha ha ha. Masuk dulu
sini”
“Kenalin,
Wan! Sini, Nak!”, Dilan noleh dan memanggil dengan senyuman menyebalkan.
Suaranya seperti wibawa seorang ayah pada anaknya.
Setelah
kusimpan belanjaan di bawah samping motor, kudatangi mereka, sambil senyum
kepada orang itu. Setibanya di sana,
Dilan jadi seperti orang meringis, karena sengaja kuinjak sepatunya. Orang itu
ketawa.
“Lia”,
kataku, saat berjabat tangan dengannya
“Wawan!
Masuk dulu, Lan”
“Langsung
aja, Wan”. jawab Dilan
“Oh,
ya udah. Rumah Dilan mah di sana”, kata Wawan kepadaku sambil nunjuk ke arah
kanan
“He
he he iya. Belum tahu”, jawabku.
“Nuhun.
Wan. Langsung ya”, kata Dilan sambil mulai akan pergi
“Sami-sami”
“Mangga,
Kang”, kataku ke Wawan
“Mangga.
Makasih sudah mampir”
“Sama-sama,
Kang”
Dilan
menaiki motornya sambil senyum-senyum gak jelas. Aku juga naik, sambil mencari
jenis hukuman yang pantas untuk Dilan, karena sudah berhasil menipuku.
Hukumannya adalah: aku gak mau ngomong dengannya sepanjang perjalanan, bahkan
tidak kujawab ketika dia nanya.
“Ha
ha ha ha”, Dilan ketawa setelah dia sadar aku gak mau ngomong dengannya.
“Kamu
benar-benar bisu ini mah. Bukan pura-pura”, katanya lagi, seperti bicara pada
dirinya sendiri. Aku tetap diam dan berharap jangan sampai dia lihat sebenarnya
aku senyum.
Aku
terus begitu, gak ngomong-ngomong, sampai tiba di rumah yang ada mobil Nissan
Patrolnya. Itu mobil si Bunda, aku langsung yakin, kalau yang itu adalah asli
rumah Dilan. Ada seekor anjing menggonggong, ketika aku turun dari motor, dan
berhasil dijinakan oleh Dilan. Anjing itu lalu pergi, kembali, ke tempat di
mana dia tadi.
Aku
senyum melihat papan kecil yang ditempel pada sebuah batang pohon dengan
tulisan yang diukir: “AWAS, YANG PUNYA ANJING GALAK”.
“Hm
hm hm hm?”, Dilan ngomong aneh, tapi aku mengerti dari isyarat tangan yang ia
gerakkan sambil memandangku. Artinya kira-kira:”Mau masuk gak?”. Aku ngangguk.
Gak ada senyuman!
Di
ruang tamu, aku duduk dan Dilan ke sana:
“Bunda!
Ada Debt Collector!”, Dilan teriak. Tak lama Bunda datang, bersamaan dengan
Dilan masuk ke dalam.
“Siapa?”,
tanya Bunda sambil jalan menuju ruang tamu
“Bunda!”,
panggilku sambil berdiri dari duduk
“Hai!!”,
Bunda teriak setelah melihatku. Dia berdiri seperti orang terkejut. Tangannya
berkacak pinggang dengan mata seperti orang terperangah:
“Nona
cantik rupanya!!!”, seraya mendatangiku: “Wah wah wah”.
“Bunda,
Lia rindu”, kataku di dalam pelukannya
“Wow!
Sama, Nak, Bunda juga! Selamat datang di rumah Dilan”, kata Bunda sambil
melepas pelukan. Kedua tangannya memegang dua bahuku.
“Iya”
“Kalau
kamu yang datang……..”, kata Bunda bagai berbsisik
“Ya,
Bunda?”
“Dia
gak akan masuk lemariiiiiii…”,
“Ha
ha ha ha ha”
“Apa
ini?”, Bunda nanya soal dua kantong kresek yang ada di kursi
“Tadi,
belanja ke pasar sama Dilan he he he”
“Okey!
Ayo kita ke dapur”
“Iya,
Bunda”
“Mana
Dilan?”, Bunda nanya seperti pada dirinya sendiri ketika kami berjalan menuju
dapur.
Di
dapur ada seorang ibu yang sedang duduk mengiris daun bawang. Dia sedikit lebih
muda dari Bunda. Ibu itu adalah pembantu di rumah Bunda.
“Diah,
siapa coba ini?”, tanya Bunda ke orang itu, sambil merangkul bahuku
“Siapa
ya?”, Bi Diah nanya
“Mi..le…a!”,
jawab Bunda
“Oh.
Temen Dek Dilan ya? Cantik”
“Iya
dong”
“He
he he makasih”, kataku.
“Jangan
sampe kena bau bawang atau cabe ya”, kata Bunda ke Bi Diah sambil dia
gerak-gerakkan telunjuknya
“He
he he he, Lia pengen ikut bantu masak, tapi, Bunda”, kataku
“Mau
masak buat Dilan yaaa?”, Bunda seperti orang meledek
“He
he he Dilan sukanya apa?”, kutanya Bunda
“Dilan?
Dilan sukaaa……kamu laaah!”, jawab Bunda sambil menyentuhkan telunjuknya ke
hidungku
“Ha
ha ha ha ha, maksud Lia masakan, Bunda, Dilan suka masakan apa? He he he”
“Apa
aja yang kamu bikin, dia akan su..ka!”
“Ha
ha ha”
“Ya
udah, sini bantu Bunda”, katanya sambil duduk.
“Ini
Bunda lagi masak sayur lodeh. Kau suka?”, kata Bunda lagi sambil menggeser
kursi untuk tempat aku duduk.
“Suka,
Bunda”
“Dilan
juga suka”
“Dilan
mana, Bunda?”
“Mungkin
di kamarnya. Nanti, Bunda panggil”
“Dalam
lemari kayaknya, Bunda?”
“Ha
ha ha ha ha”
Telepon
rumah Bunda berdering. Bunda pergi ke sana untuk mengangkatnya. Lalu kudengar
dia teriak:
“Dilan!
Telepon!”
“Siapa?”,
tanya Dilan, kayaknya keluar dari kamar
“Anhar!”
Anhar?
Mau apa dia? Memang, harusnya hal itu gak perlu kupikirkan. Siapa pun orangnya
bebas mau nelepon. Tapi instingku bicara soal lain, entah mengapa, aku merasa
gak enak. Tadi itu, Anhar ada ikut berkumpul bersama Dilan di warung Bi
Eem.
65
Aku
ngobrol dengan Bunda, sedangkan pikiran terus ke Dilan. Maksudku, aku menduga,
bahwa motif Anhar nelepon Dilan, pasti ada sangkut pautnya dengan rencana
penyerangan. Keduanya terus saling berusaha untuk menjalin koordinasi dari
jauh.
Dilan
datang ke Dapur dengan tangan menenteng jaket. Dia izin ke Bunda untuk pergi
dulu sebentar. Ada perlu katanya.
“Lia,
kamu sama Bunda dulu ya?”, katanya kepadaku.
“Kemana?”,
kutanya
“Ada
perlu. Sebentar. Nanti kembali. Pergi dulu ya?!”, jawab Dilan sambil pergi.
Lalu aku pamit ke Bunda, untuk ada yang perlu diomongkan dengan Dilan dan
segera menyusulnya.
Di
ruang tamu, aku dan Dilan saling berdiri berhadapan, beradu mata:
“Aku
ikut”, kataku dengan suara pelan
“Ga
usah. Kamu di sini aja. Cuma sebentar”, Dilan menjawab sambil dia pakai
jaketnya
“Kalau
kamu pergi, aku ikut!”, suaraku masih seperti yang tadi, takut kedenger sama
Bunda
“Iya.
Tapi cuma ke situ. Sebentar”
“Aku
ikut!”
“Mau
ambil barang di teman”
“Aku
ikut!”
Tiba-tiba
dari luar terdengar ada salam:
“Salamlikum!”
“Kumsalam”,
jawab Dilan bersamaan dengan pintu kebuka. Orang yang ngasih salam itu masuk,
dia perempuan berseragam SMP
“Adikku”,
kata Dilan ke aku
“Oh”,
aku tersenyum kepadanya, berusaha untuk ramah
“Hey!”.
katanya kepadaku,”Aku Disa”
“Lia”,
kujabat tangannya sambil senyum
“Tahu
gak nama panjangku?”, dia nanya ke aku
“Apa
nama panjangnya?”, kutanya
“Disaaaaaaaaaaaaaaaaa!!”
“Ha
ha ha”, aku ketawa
“Panjang
kan?”, dia nanya
“He
he he. Iya”
“Aku
masuk dulu ya?”, katanya kepadaku
“Iya”,
jawab Dilan. Disa masuk dan teriak manggil Bunda:
“Bunbun,
Dadaaa. Bunda!!”
Aku
senyum, tetapi saat kupandang lagi Dilan, jadi tidak:
“Aku
ikut! Kalau kamu pergi, aku ikut!”, kutatap matanya.
“Ya
udah. Kalau gitu gak jadi pergi”, katanya, sambil membuka lagi jaketnya.
Aku
ke sana, duduk di sofa ruang tamu, sambil terus memandangnya yang mulai akan
duduk di sofa yang lain, yang ada di seberang meja, menghadap kepadaku.
“Emang
mau kemana sih?”, tanyaku denga suara yang sudah jadi kalem
“Itu,
ke teman”
“Anhar?”
“Bukan”
“Kalau
mau ke temanmu, nanti aja bareng”
“Jam
berapa sekarang?”, tanya dia sambil memandang jam dinding di atas buffet. Sudah
pukul setengah dua.
Tiba-tiba
di luar kudengar suara motor, memasuki halaman. Pengendaranya langsung masuk ke
rumah
“Ow.
ada tamu”, kata orang itu setelah melihatku
“Abangku”,
kata Dilan ke aku
“Oh”,
aku senyum sambil lalu berdiri
“Kenalin,
Bang. Lia”, kata Dilan ke abangnya
“Oh?
Banar!”, katanya sambil dia jabat tanganku
“Lia”
“Mana
minumnya?”, tanya Bang Banar
“Udah,
Bang di dapur”
“Oke”,
katanya sambil masuk ke dalam
Habis
itu, kupandang lagi Dilan, tapi tanpa bicara. Nampak tangannya, yang kiri,
menggaruk-garuk kepalanya. Di mulutnya ada sedikit senyuman. Lalu datang Disa:
“Boleh
ikut ngobrol?”, tanya Disa dan aku tersenyum kepadanya
“Sini”,
kata Dilan sambil memegang sofa di sebelah kirinya
“Oke”,
katanya
“Sini
aja”, kataku sambil sedikit menggeser. Disa memilih duduk di sampingku
“Disa
kelas berapa?”, kutanya
“Kelas
berapa, Bang?”, tanya Disa ke Dilan
“Kelas
Bantam”, jawab Dilan (Aslinya, waktu itu, Disa kelas 3 SMP)
“Kelas
Bantam, Kak”, katanya sambil menoleh kepadaku
“Ha
ha ha ha Sekolah tinju?”, tanyaku ke Disa
“Kakak
kelas berapa?”, Disa nanya
“Tanya
Abang”, jawabku tanpa menoleh ke Dilan
“Kelas
berapa, Bang?”, tanya Disa
“Kelaaaass……menengah
ke atas”, jawab Dilan. Mungkin maksudnya Sekolah Menengah Atas.
“Menengah
ke atas katanya”, kataku pada Disa sambil senyum
“Wow!
Hati-hati jatuh”, katanya
“Kan
pegangan”, kataku sambil senyum
“Ya.
Bagus”, jawab Disa
Tak
lama kemudian kami dengar si Bunda manggil. Dia ngajak kami makan. Aku, Disa
dan Dilan pergi ke ruang makan.
“Aku
nelepon dulu”, kata Dilan kepadaku sambil pergi menuju tempat telepon.
“Iya”
kujawab. Aku dan Disa langsung gabung dengan Bunda dan Bi Diah yang sudah duduk
menghadap meja makan.
“Silakan,
makan sepuasnya”, kata Bunda
“Makasih,
Bunda”, jawabku
“Mana
Banar?”
“Di
kamarnya”, jawab Disa
“Bunda
yang manggil, atau Disa?”, tanya Bunda
“Aku
aja”, kata Disa sambil kemudian dia pergi.
“Ayo,
Lia”, kata Bunda sambil nyodorin piring yang sudah Bunda kasih nasi,”Ini
masakan duet Bi Diah sama Bunda”, sambungnya.
“Nunggu
Dilan, Bunda”, kataku sambil meraih piring itu
“Dilan!”,
Bunda manggil
“Bentar!”,
Dilan menjawab dari jauh. Lalu datang Disa bersama Bang Banar
“Udah
makan tadi di kampus”, katanya
“Ayo
laaah, biar rame”, kata Bunda. Lalu Bang Banar jadi duduk
“Sedikit
aja”, katanya
“Disa
juga sedikit ya, Bunda?” kata Disa
“Kenapa?”
“Sedikit-sedikit
maksudnyaaaa he he he”, jawab Disa
“Seremeh-seremeh?”,
tanya Bunda lagi
“Enggak
ah! Lama”
“Ha
ha ha. Ini Banar, kakaknya Dilan,” kata Bunda kepadaku sambil memegang bahu Bang
Banar,”Ada lagi kakanya Banar: Landin. Tapi belum datang”, kata Bunda lagi.
“Kan
lima Bunda?”, tanyaku
“Ya,
yang sulung. Aida. Dia ikut suami”, jawab Bunda.
“Sudah
punya anak satu. Masih bayi. Lucu..seperti aku. Namanya Beika”, kata Disa
bersamaan datangnya Dilan.
Kata
Bunda, tidak biasanya makan bareng, hanya sesekali kalau kebetulan pada kumpul.
Tapi hari itu adalah hari yang paling bahagia buatku, bisa berada di rumah
Dilan. Bisa kumpul dengan Bunda. Bisa kenal dengan Disa, dengan Bang Banar,
Bang Landin, dan Bi Diah.
66
Sehabis
makan, aku, Disa dan Bunda duduk di ruang tamu, membuka-buka album dan membahas
photo yang ada di dalamnya. Juga ngobrol tentang banyak hal yang cukup berguna
untuk membuat kami akrab sampai kemudian Dilan datang bergabung dengan kami.
Tapi
Dilan seperti orang yang sedang gelisah. Seperti ada yang sedang ia pikirkan
mengenai sesuatu yang harus ia urus. Kukira, itu menyangkut soal rencana
penyerangan yang jadi gagal gara-gara muncul aku di luar dugaannya.
Dia
pasti heran dengan sikapku kepadanya hari itu, tapi bukan cuma dia, aku sendiri
juga heran, kenapa aku bisa menjadi Milea yang tidak biasanya. Menjadi Milea
yang manja, maksa-maksa Dilan untuk mau jalan-jalan denganku. Jadi Milea yang
rewel merepotkan, melarang dia pergi menemui temannya.
Pasti
ada sebuah kekuatan yang sudah mengalahkan kesadaran, yang telah mampu
mendorongku untuk bersikap seperti itu, dan aku tahu kekuatan itu bersumber
dari rasa cemasku pada resiko yang akan dialami oleh Dilan jika benar-benar dia
nyerang.
Dalam
keadaanku yang normal, dengan keadaanku yang sadar, mana mungkin itu bisa,
bahkan aku tak akan berani meski hanya meminta dia untuk mengantarku ke tukang
photo copy. Sungguh, di luar dugaanku bahwa itu benar-benar terjadi.
Meskipun
tadi pagi sudah kubilang kepada orang-orang yang duduk di tembok pagar warung
Bi Eem, tapi sebetulnya aku bukan pacar Dilan, maksudku aku merasa belum resmi
menjadi pacar Dilan, kalau memang untuk itu dibutuhkan adanya pernyataan dari
kedua belah pihak.
Tapi
apakah pernyataan macam itu diperlukan, agar aku dan Dilan tidak cuma dianggap
sebagai sahabat dekat? Meskipun sikapku dan sikap Dilan kepadaku layaknya
seperti orang yang sudah pacaran. Gak tahu. Aku gak ngerti. Aku serahkan
semuanya ke Dilan yang sudah tidur telungkup di atas sofa panjang. Bunda tadi
izin pergi, katanya mau belanja jahe untuk membuat minuman hangat.
“Di
kamar Disa ada selimut?”, kutanya Disa
“Kedinginan
ya?”, Disa balik nanya. Ini Oktober, Bandung sedang dingin.
“Kakak
ambil ya?”, kataku
“Disa
ambilin?”
“Biar
Kakak aja”, jawabku dan lalu pergi ke kamar Disa.
Aku
datang bawa selimut, itu bukan untuk aku, itu untuk Dilan.
“Kirain
buat Kakak”, kata Disa
“Kasian
kedinginan”
“Iya”
“Disa
sayang sama Dilan?”
“Bang
Dilan?”
“Iya?”
“Sayang”,
kata Disa sambil meletakkan album photo di atas meja. Itu adalah album photo
yang dari tadi kami bahas. Rame dan juga sedih karena katanya Disa rindu
ayahnya yang sedang bertugas di Timor Timur.
“Ayah
Disa lagi berjuang. Dia pahlawan”, kataku berusaha menghiburnya
“Disa
takut ayah ditembak musuh”
“Ayah
Disa kan sudah latihan. Dia pasti tahu harus gimana”
“Kok
sama? Bunda juga bilang gitu”
“He
he he”
“Kata
Bunda minggu depan ayah pulang”
“Oh
ya?”
“Kenalan
deh sama tentara”
“Iya.
Pengen”
“Nanti
datang ya kalau ada ayah”
“Iya.
Asik”
Setelah
Dilan kuselimuti, aku duduk lagi.
“Kakak
ngantuk ga?”, tanya Disa
“Mmm,
enggak”
“Disa
ngantuk. Tidur dulu ya?”
“Iya.
Tidur ya”
“Kakak
di sini?”
“Iya”
Disa
pergi untuk tidur di kamarnya, meninggalkan aku yang duduk sendiri, memandang
Dilan yang tidur. Yaitu Dilan yang dulu pernah meramal bahwa aku akan bertemu
dia di kantin dan salah.
Dilan
yang dulu pernah datang ke rumahku memberi surat undangan untuk datang ke
sekolah dari senin sampai sabtu lengkap disertai nama Kepala Sekolah sebagai
orang yang turut mengundang. Bukan surat cinta, cuma surat undangan yang aneh,
tapi ayah dan ibu ketawa setelah kuceritakan.
Dilan
yang pernah ngirim Bi Asih untuk memijit aku agar bisa lekas pulih dari sakit.
Bentuk perhatian macam apa yang bisa menyamai hal itu? Sederhana, tidak semewah
Taj Mahal, tetapi itu lebih baik dari cuma sekedar kata-kata.
Dilan
yang pernah nyuruh tukang koran, tukang sayur, tukang pos, sampai petugas PLN
dan tukang nasi goreng, untuk menyampaikan cokelatnya kepadaku. Seolah-olah
semua manusia di dunia, dengan aneka macam profesinya, bersekongkol untuk
membuat aku senang.
Dilan
yang pernah ngasih kado berupa buku TTS yang lebih berharga dari boneka yang
termahal sekalipun. Cuma buku TTS, itu murah, tapi kebayang bagaimana dia harus
begadang untuk mengisi jawabannya, seperti sebuah perjuangan yang harus ia
tempuh demi bisa membuat aku merasa istimewa.
Dilan
yang pernah berucap dengan aneka macam kata-kata yang selalu bisa membuatku
bahagia, membuatku ketawa. Kata-kata biasa, bahkan cenderung gak penting,
tetapi aku selalu menunggu dia akan meneleponku setiap malam. Betul, bukan
kata-kata cinta, tapi mampu menumbuhkan rasa cinta.
Dilan
yang membuat aku merasa dilindungi, bahkan ketika aku sedang berada jauh
darinya. Aku tahu ia bukan Superman, tapi oleh ada dia aku bisa merasa aman,
seolah-olah dia sudah akan langsung datang untuk menghilangkan setiap orang
yang berani menggangguku, yang berani menyakitiku.
Mungkin
aku terlalu berlebihan dengan menilai dia begitu, seolah-olah dia itu orang
hebat, seolah-olah dia itu jagoan, seolah-olah tak ada hal buruk darinya.
Seolah-olah dia sempurna. Tapi kamu harus tahu, ini adalah hak diriku untuk
menganggapnya begitu. Mugkin kamu tidak mencintai dirinya, tidak menyukai
dirinya, syukurlah kalau begitu, sehingga aku tidak perlu bersaing denganmu
untuk bisa memilikinya.
Dilan
mungkin tidak paham bagaimana seharusnya memperlakukan wanita, tapi dia tahu
bagaimana membuatku merasa istimewa. Tidak perlu berlebihan bagi dia untuk
membuatku merasa lebih. Dia mungkin bukan lelaki sejati, tapi aku butuh lelaki
macam itu. Dia mungkin bukan tipe lelaki yang kamu idamkan, tapi biarlah aku
ingin memilihnya.
Sekarang,
mudah-mudahan kamu maklum, mengapa aku cemas, ketika tahu dia akan menyerang
SMA lain. Aku tak ingin terjadi apa-apa dengannya. Meskipun dia pasti akan
selalu di hatiku tetapi aku juga tak ingin dia hilang dari muka bumi ini, kalau
iya, nanti aku sunyi, nanti aku sedih.
Jadi
ingat dengan apa yang pernah Dilan katakan di telepon:
“Kamu
pernah nangis?”, kutanya
“Waktu
bayi, pengen minum”.
“Bukan
ih! Pas udah besar. Pernah nangis?”
“Kamu
tahu caranya supaya aku nangis?”, dia nanya
“Gimana?”
“Gampang”
“Iya
gimana?”
“Menghilanglah
kamu dari bumi”
Sekarang
Dilan sedang tidur. Aku harus tetap di sini, kalau perlu mungkin sampai magrib.
Pokoknya jangan sampai aku pergi, supaya bisa nahan Dilan jangan sampai dia
pergi. Tadi, sudah kutelpon si Bibi, tolong bilang ke ibu, Lia ada urusan, baru
magrib bisa pulang.
67
Nyatanya
aku baru pulang pukul tujuh. Tapi ga apa-apa, karena bunda sudah nelepon ibuku.
Aku pulang diantar Dilan, naik motor dan pake jaket Army Korea punya Dilan.
Menyusuri jalan Ciwastra yang sepi. Melewati Pasar Gordon yang masih banyak
orangnya. Melewati terminal bemo Sekelimus. Melewati Buah Batu yang bau wangi
oleh sebuah pohon kemuning yang ada tumbuh di pinggir jalan di daerah sebelum
apotik. Pohon itu, mudah-mudahan masih ada
Sebelum
pukul delapan kami sudah sampai di rumahku. Di ruang tamu sudah ada Kang Adi,
lagi ngajarin Airin. Kami masuk setelah memberi salam. Airin yang buka pintu.
“Kenalin,
Kang! Dilan”, kata saya ke Kang Adi, terus duduk. Airin juga duduk lagi di
sampingku
“Hey!”,
seru Dilan, bergegas nyamperin Kang Adi untuk ngajak salaman:
“Dilan!”,
sambungnya.
“Adi”,
kata Kang Adi, sambil masih tetap duduk:”Silakan duduk”, kata Kang Adi lagi.
“Makasih”,
kata Dilan sambil duduk:
“Ini
pasti Melati?”, kata Dilan lagi sambil nunjuk Airin
“Bukan!!
he he he”, kata Airin
“Ini,
namanya Airin”, kataku sambil meluk Airin:”Jago main piano, Lan”.
“Wow.
Keren!”, seru Dilan
“Sedikit”,
kata Airin
“Kita
nyanyi oke?”, ajak Dilan
“Dilan
kan bisa gitar. Nah, main bareng. Dilan yang ngegitarnya”, kataku
“Ada
gitar?”, tanya Dilan
“Ada.
Gitar ayah. Nanti kuambil”, kataku
“Tapi
harus belajar dulu. Lia juga”, kata Kang Adi.
“Ini
Dilan yaaa?”, tiba-tiba ibu datang
“Lan,
ini Ibu Lia”, kataku
“Eh?”,
Dilan berdiri dari duduknya.”Iya. Bu”
“Akhirnya
ketemu Dilan ya”, kata ibu senyum
“He
he he kayak yang pernah hilang”, jawab Dilan
“He
he he. Bukaaan! Lia kan suka cerita kamu. Penasaran kayak gimana sih?”, kata
Ibu
“Kayak
gini aja. Masih orsinil. Belum dimodif”, jawab Dilan
“He
he he”
“Tadi
Lia ketemu Bunda, Bu”, kataku ke ibu
“Iya.
Tadi Bunda nelepon. Dilan mau minum apa?”, tanya Ibu ke Dilan
“Apa
ya? Gak usah repot-repot. Air zam-zam aja, Bu”, kata Dilan
“Ha
ha ha ha ha Itu merepotkan!”, aku ketawa. Bunda juga. Airin juga. Kang Adi
kulihat dia tidak.
“Apa
dong?”, tanya Dilan seperti bingung
“Atau
bikin sendiri? Ayo?”, tanya Ibu
“Iya.
Bikin sendiri aja”, jawab Dilan
“Iya
silakan”, kata Ibu
“Aku
bantuin! Tapi ganti baju dulu”, kataku sambil lalu berdiri.
“Mandi
dulu”, kata Ibu
“Iya”.
“Kang,
mau dibikinin? Spesial”, tanya Dilan ke Kang Adi sambil berdiri
“Gak.
Ga usah. Nanti bikin sendiri”, jawabnya
“Ke
dapur aja ya”, kata Ibu sambil dia pergi masuk. Aku dan Dilan nyusul.
Di
kamar, aku cuma ganti baju. Mandinya nanti aja, gak sabar ingin ke dapur
bantuin Dilan. Pas ke sana sudah ada si Bibi, Ibuku dan Dilan, sedang pada
ketawa sambil membuat minuman jahe. Perasaan, di jaman dulu, kalau gak salah,
di tahun 90an, di rumah-rumah di Bandung, orang-orang masih pada suka membuat
minuman jahe. Juga masih ada tukang Bandrek, Sekoteng dan Bajigur yang suka
lewat depan rumah. Entah kalau sekarang.
“Bi,
ini Dilan”, kataku ke si Bibi
“He
he he. Udah, tadi, kenalan”, kata Dilan yang sedang duduk di kursi dan malah
mainin jahe yang ada di atas meja, bukannya ngebantuin
“Ini,
Bu. Dilan suka ngajak ngobrol si Bibi nih”, kataku ke si Ibu sambil duduk di
kursi berhadapan dengan Dilan, ikut mainin jahe
“He
he he. Ngobrol apa?”, tanya Ibu
“Ngobrol
apa, Bi?”, tanyaku ke si Bibi yang lagi numbukin jahe yang sudah dibakar oleh
ibu dengan api dari kompor
“Banyak
hi hi hi. Mau ngajarin Bibi ngomong bencong. Ngajarin tidur kayak ikan.
Aneh-aneh he he he”, kata si Bibi
“Ha
ha ha. Tuh ajarin!”, kataku ke Dilan
“Bikin
apa?”, tanya Airin yang datang ke dapur
“Jahe”,
kata Ibu,”Udah kamu belajar aja”
“Bosen”,
kata Airin sambil seperti mau bantuin si Bibi
“Ibu?”,
tiba-tiba Dilan nanya
“Ya,
Dilan?”, tanya Ibu
“Kenapa
anak ibu cantik-cantik?”, tanya Dilan
“Iya
dong. Kan ibunya juga cantik he he”, jawab Ibu
“He
he he Iya”, Dilan ketawa
“Itu
yang namanya Kang Adi”, bisikku ke Dilan. Aku kuatir dia cemburu. Atau tidak.
Entahlah.
“Iya.
Ganteng”, jawab Dilan
“Ih!
Kamu suka?”, tanyaku
“Kalau
dia mau. Oke”, jawab Dilan
“Ha
ha ha ha mau ke kamu maksudnya?”, tanyaku lagi
“Mudah-mudahan
mau”, jawab Dilan
“Kenapa?”,
tanyaku
“Biar
enggak ke kamu”, kata Dilan
“Ha
ha ha. Dia pengen ke aku”, kataku ke Dilan masih dengan suara berbisik
“Aku
pengen ke dia”, kata Dilan
“Ih,
serius”, kataku
“Kalau
ada yang mau ke kamu, udah biasa kan? Banyak. Gak usah diceritain”
“Tapi
aku gak mau ke dia”, kataku
“Kalau
ada yang gak mau ke dia, udah biasa kan? Banyak”, kata Dilan
“He
he he kamu kan mau?”, tanyaku
“Kenapa
kamu gak mau?”, Dilan balik nanya
“Gak
mau aja”
“Maunya
ke siapa?”, tanya Dilan lagi
“Ke…Iiiiiih.
Perempuan gak suka ditanya”, kataku masih bersbisik
“Kamu
maunya ke aku”, kata Dilan dengan santai
“He
he he”
“Apa
ini pada ketawa gak ngajak-ngajak”, kata si Ibu, sepertinya minuman jahe sudah
siap disajikan
“Bu,
kayaknya Lia gak belajar ah malam ini?”, kataku ke Ibu
“Ya
bilang dong ke Kang Adi”, kata Ibu
“Iya”,
jawabku
Si
Bibi membawa minuman jahe ke ruang tamu. Ibu juga pergi ke sana bersama Airin.
Aku masih duduk dengan Dilan di dapur. Kedua tangan Dilan tiba-tiba memegang
dua tanganku.
“Doain,
Lia”, katanya
“Doain
apa?”, tanyaku setelah sekilas tadi melihat gerakan tangan Dilan mengelus
jemariku. Mendadak perasaanku seperti dilanda sesuatu yang sungguh sulit
kuungkapkan.
“Doain,
Kang Adi gak mau ke aku….”, jawab Dilan dengan suara berbisik. Kedua tangannya
masih memegang kedua tanganku. Dia lakukan dengan sikap seolah-olah baginya,
itu adalah hal biasa, padahal sungguh, demi Tuhan, baru malam itu ia lakukan
dan aku nyaris gak percaya.
“Ih!
Katanya tadi mau?”, kataku, dengan isi kepala yang terus mikirin tangan Dilan
yang masih megang tanganku
“Udah
berubah…”, kata Dilan
“Dilan!
Lia!”, Ibu manggil kami dari ruang tamu
“Iya,
Bu. Bentar”, aku teriak menjawabnya
“Gimana
kalau kang Adi mau ke aku? Aku takut!”, tanya Dilan berlagak seperti orang yang
ketakutan. Kedua tangannya masih mengelus dua tanganku. Sungguh, aku bingung.
Serius. Ini apa? Di saat tangannya begitu mesra memegang tanganku, tapi yang ia
bahas justeru malah soal Kang Adi.
“Liiiiiiaaaa”,
Ibu manggil lagi
“Iya,
Bu! Ke sana yuk?”, ajakku ke Dilan
“Takut,
ada Kang Adi”, kata Dilan berbsisik, tangannya masih memegang tanganku
“Biar,
sekarang giliran aku melindungimu he he he”
“Jadi
tenang”, kata Dilan
“Ha
ha ha”
Aku
dan Dilan berlekas pergi dari dapur dengan tangan saling bergandengan, dan lalu
dilepas sebelum sampai ke ruang tamu.
“Lindungi
aku, Lia”, bisik Dilan seperti orang merengek
“Siap!”,
jawabku sambil senyum memandang matanya. Lalu kami duduk bersama Airin, Ibu dan
kang Adi yang nampak bingung dia harus bagaimana.
68
“Kang,
Lia gak belajar ah malam ini”, kataku ke Kang Adi, sambil menuangkan minuman
jahe ke gelas
“Irin
juga”, kata Airin
“Eh,
kenapa?”, tanya ibu
“Malam
ini aja”, jawab Airin
“Ga
apa-apa. Besok sore aja ya? Kang Adi besok santai kok”, kata Kang Adi sambil
dia beresin buku di atas meja itu
“Ya
udah. Malam ini, karena ada Dilan, belajarnya libur dulu”, kata Ibu
“Tiap
malam minggu ya belajarnya?”, tanya Dilan sambil memegang gelas dengan kedua
tangannya
“Iya.
Tiap malam minggu”, jawab Ibu
“Kalau
tiap malam minggu aku ke sini, nanti gak belajar-belajar he he he”, kata Dilan
“Ya
belajar dong. Ayo, ikut belajar sama Adi”, kata Ibu,”Adi, ayo diminum jahenya”,
sambung Ibu ke Kang Adi
“Iya”,
jawab Kang Adi sambil membaca buku. Air jahenya masih utuh karena belum
diminum.
“Ibu
ke dalam dulu ya”, kata ibu sambil lalu dia pergi. Di ruang tamu jadi cuma
berempat. Aku duduk dengan Airin di sofa yang panjang, Kang Adi duduk di sofa
yang ada di sebelah kanan Airin. Dilan duduk di sofa yang ada di samping
kiriku.
Tak
lama dari itu, telepon rumah berdering. Ibu yang ngangkat, katanya itu dari
Bunda buat Dilan. Dilan ke sana untuk ngobrol dengan Bunda di telepon.
“Diminum,
Kang”, kataku
“Kurang
suka jahe”, kata Kang Adi sambil masih juga baca bukunya. Itu adalah buku Novel
yang dia pernah janji mau dikasihin ke aku
“Ooh”,
kataku sambil mereguk minumanku
“Haru
semangat belajar, Airin”, kata Kang Adi sambil menyimpan buku yang sedang ia
baca. Aku merasa, dia bilang begitu, seolah-olah juga untukku.
“Jangan
belajar terus ah, Kang Adi”, jawab Airin.
“Kan
cuma malam minggu. Gak tiap hari”, kata Kang Adi
“Iya”,
jawab Airin
“Ini
novelnya”, kata Kang Adi, menyerahkan novel itu ke aku sambil memandangku.
“Oh,
makasih, Kang”, kataku sambil kupandang buku itu
“Bagus
novelnya! Kang Adi sukanya novel-novel yang mikir gitu”, kata Kang Adi
“Bahasa
Inggris?”, tanyaku sambil masih kulihat-lihat buku itu
“Iya
lah”, Jawab Kang Adi
“Kak,
Irin mau ke ibu dulu”, kata Airin sambil beranjak dari duduknya.
“Iya”,
kataku.
Beberapa
detik setelah Airin pergi, Kang Adi pindah tempat duduknya, ke tempat di mana
tadi Airin duduk, yaitu di sampingku.
Asli, aku merasa risih, tapi gak tahu harus gimana. Kutolak gak enak. Bersikap
menjauh juga gak enak. Ya sudah lah. Mudah-mudahan, Kang Adi bukan bermakusd
ingin membuat Dilan panas, tapi kurasa iya.
“Ini
deh. Pas bagian ini lucu”, kata kang Adi sambil meraih buku di tanganku. Sikap
tubuhnya, bisa kubaca, seperti orang yang ingin mendekat. Aku berusaha
merhatiin bagian buku yang ditunjukkan oleh Kang Adi dengan badan yang kujaga
untuk tidak mendekat kepadanya, meskipun tetap dalam sikapku yang santai. Tapi
kurasa dia tahu.
Dari
tempat Dilan nelepon, dia ngomong ke aku sambil masih memegang gagang telepon,
katanya Bunda ingin ngobrol sama aku.
“Bentar
ya, Kang”, kataku pada Kang Adi sambil mulai berdiri dari duduk. Kang Adi tidak
menjawab. Dia masih membaca bagian buku yang katanya lucu.
“Gimana
aku?”, tanya Dilan ketika berpapasan denganku
“Gimana
apa?”,
“Lindungi
aku, Please”
“Ha
ha ha ha. Gengster kok minta dilindungi! Lawan sendiri!”, jawabku berbisik
sambil berlalu. Dan Dilan kembali ke ruang tamu.
Aku
angkat telepon dan langsung kusapa Bunda:
“Hei,
Bunda!!”
“Hei,
Cantik”
“He
he he makasih”
“Tahu
gak, kenapa Bunda tahu ada Dilan di situ?”.
“Karena….Bunda
tadi nelepon he he he” jawabku senyum
“Iya.
Pintar kamu. Bunda pengen ke situ, Liaaa……….”
“Iya
sini, Bunda”,
“Katanya
lagi makan sate kelinci ya? Emang Lia suka ya?”,
“Hah?
Ha ha ha ha ha enggak, Bunda! Dilan bilang gitu?”
“Astagfirullahaladziiiiiiim.
Dia itu yaaa!”, Si Bunda seperti orang yang kesel
“Ha
ha ha ha ha ha. Cuma minum jahe, Bunda”.
“Dia
bilang lagi nyate kelinci”,
“Ha
ha ha enggak”
“Dasar!
Jahe lagi? Tadi di rumah Bunda, Jahe. Sekarang jahe lagi”
“Iya.
Mabuk jahe, Bunda”.
“Tadi,
Bunda kira, beneran nyate kelinci”.
“Ha
ha ha. gak suka”
“Sama
laah”
“Sini,
Bunda”, kuajak
“Pengen.
Memangnya kau punya monyet ya? Bunda kok gak lihat waktu ke situ?”.
“Monyet
apa? Gak punya monyet, Bunda”.
“Ngarang
lagi tuh dia!”
“Dilan
bilang ya?”.
“Iya.
Katanya judes. Mana ada monyet judes”, kata Bunda
“Ha
ha ha ha ha! Gak punya Bunda”
“Bilangnya
gitu ke Bunda, tadi itu, dia!”
“Bilang
punya monyet? Ha ha ha”.
“Iya.
Segala minta dilindungi sama kamu. Katanya takut sama monyetnya”, kata Bunda
“Ha
ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha ha”
“Iya!
Masa sampai takut gitu”.
“Ha
ha ha ha ha ha ha ha ha”
“Ngarang
terus dia itu. Awas kalau dia pulang!”.
“Ha
ha ha ha ha ha ha Mau bilang ah ke Dilan. Jangan pulang. Mau dimarah Bunda.
Biar tidur di sini he he he”
“Itu,
dia orang, suka ngarang kalau ngomong”.
“Ga
apa-apa, Bunda. Lia suka”.
“Iya.
Makasih! Makasih sudah suka sama Dilan” kata Bunda pelan
“Lia
juga makasih, Bunda sudah ngelahirin Dilan he he he”, akhirnya kubilang juga
“Sama-sama.
Bunda juga senang Dilan sukanya sama kamu”
“Iya…..Bunda.
Lia juga suka”, aku gak tahu, mendadak susah mau ngomong
“Itu,
tadi Bunda telepn Dilan, ada tamu di rumah. Katanya mau ke Dilan”, kata Bunda
“Oh?
Siapa, Bunda?”.
“Ah!
Siapa itu namanya? Oh. Anhar ya?”
“Oh?
Iya! Sendiri, Bunda?”.
“Bertiga”
Setelah
beres dengan Bunda, aku ke ruang tamu. Tapi gak ada Dilan. Hanya ada Kang Adi
yang sedang baca buku.
“Mana
Dilan, Kang?”, kutanya Kang Adi
“Gak
tau….” jawabnya. Aku pergi keluar.
“Biarin
atuh, pengen di luar”, kata Kang Adi
“Bentar,
Kang”, kataku sambil kubuka pintu. Rupanya dia sedang duduk di bangku yang ada
di bawah pohon jambu itu. Aku ke sana dan duduk di sampingnya.
“Kirain
kemana?”, tanyaku
“Gak
ada kamu. Takut”
“Sama
monyet?”, tanyaku
“Ha
ha ha ha ha”
“Iya
sih!”.
“Ha
ha ha ha ha”
“Aku
tadi dicakarnya nih!”, kata Dilan. Lengan tangannya dia tunjukkan
“Mana?”,
kataku sambil kupegang tangannya
“Aaahh!!!”,
Dia seperti nahan jeritan, seolah-olah benar luka, yang sakit kalau disentuh
“Gak
ada!”
“Tadi
sih ada”, katanya, sambil melihat lengan tangannya
“Langsung
sembuh”.
Tiba-tiba,
tangan kanannya, memegang tangan kiriku, sambil ia tatap mataku dan senyum. Aku
juga sama begitu. Dan itu, senyuman yang mewakili kata-kata, ketika sudah
saling mengerti, tak perlu lagi diungkap.
“Masuk
yu?”, kuajak Dilan sambil memandang matanya
“Iya”
“Gak
enak nganggurin monyet ha ha ha ha ha”, kataku
“Heh!
Gak boleh gitu ah!”.
“Kamu
yang duluan! ha ha ha” kataku
“Ha
ha ha! Gak sengaja. Terlalu jujur”.
“Eh.
Bentar. Ngapain Anhar ke rumah?”, tanyaku.
“Mungkin
ada perlu”, jawabnya sambil terus ia pegang tanganku
“Aku
gak suka Anhar”, kataku sambil kupandang lagi dia
“Iya.
Ga apa-apa”
“Ngapain
dia ke rumah?”, kutanya dia
“Mungkin
cuma main”
“Aku
ingin kamu jujur”, kataku
“Jujur
gimana?”.
“Kamu
kemaren mau nyerang?”
“Kan
seharian sama kamu terus?”, katanya
“Kubilang:
Mau. Kalau enggak kuajak. Kamu pasti nyerang”
“Monyet
suka jambu gak?”, tanya dia sambil memandang ke atas pohon jambu
“Aku
gak suka kamu nyerang-nyerang”, kataku
“Aku
ambil jambu dulu ya, buat dia?”, tanya dia
“Kamu
denger aku gak?”, tanyaku
“Iya
he he he”
“Aku
gak suka kamu nyerang-nyerang”.
“Iya,
Lia. Enggak”.
“Janji?”.
“Iya.
Janji”
“Monyet
suka jambu gak?” tanya dia memandangku.
“Tanya
ke dia!”, kataku seperti orang yang kesel
“Bentar”,
kata Dilan sambil beranjak dari duduknya, melepas tanganku dan pergi
“Heh?!”,
aku teriak dengan suara yang pelan, bagai sedang menahan dia pergi
“Bentar”
katanya, sambil terus berlalu dan dia buka pintu:
“Kang,
suka jambu?”, tanya Dilan ke Kang Adi sambil berdiri di pintu dengan tangan
masih memegang handelnya.
“Oh.
Ini, lagi ngambilin jambu, Kang”, Kata Dilan sambil dia tutup pintu itu, lalu
duduk kembali denganku. Aku tebak, tadi Kang Adi jawab:”Tidak”
“Ngapaiiiiinnn
heh??!!!! Hi hi hi”, kataku seperti orang menjerit yang ditahan
“Kirain
suka”, jawab Dilan
“Ha
ha ha ha ha ha. Dia jawab apa?”, tanyaku pelaaan sekali
“Nguk
nguk nguk”
“Ha
ha ha ha ha! Apa artinya?”.
“Monyet
sukanya pisang”
“Ha
ha ha ha ha ha. Kamu suka pisang?”, tanyaku
“Jadi
enggak deh”.
“Ha
ha ha ha”
“Mana
tanganmu?”, Dilan mencari-cari tanganku
“Kenapa?”
“Mau
megang lagi”, katanya, sambil ia raih tanganku.
“He
he he”
“Monyet
kok dipanggil Akang. Heran”, kata Dilan bagai menggumam
“Ha
ha ha! Masuk yuk?”
“Iya”
“Ga
enak. Gak boleh nganggurin orang”.
“Aku
duduk dari jauh ah….”, katanya sambil berdiri
“Iya.
Di sana, di dapur. Hayu!!”, kataku sambil berlalu untuk masuk. Dilan ikut
“Lindungi
ya, Lia”.
“Yang
harus dilindungi itu Monyet”, kataku berbisik di kupingnya.
“Ha
ha ha ha”
69
Tak
lama dari itu, Dilan permisi pamit pulang ke Ibu dan ke Kang Adi. Biar
bagaimanapun, kata dia kepadaku, dia merasa ga enak ninggalin tamu di rumah
yang sedang menunggunya. Aku mengerti. Kuantar Dilan sampai dia naiki motornya.
“Hati-hati”,
kataku
“Iya”
“Boleh
aku nanti telepon kamu?”, tanyaku
“Kapan?”,
tanya Dilan
“Kalau
kamu sudah sampai di rumah”
“Tahunya
aku sudah sampai?’, tanya Dilan
“Kan
kamu nelepon aku”
“Ha
ha ha ha ha ha. Aku tahu, itu berarti kamu minta aku nelepon kamu’
“Ha
ha ha iya. Aku ngikuti caramu”
“Cara
gimana?”, tanya Dilan
“Ya
gitulah! Tidak langsung, tapi kena! Ha ha ha”
“Ha
ha ha ha”
“Dilan!”
“Ya?”
“Pokoknya,
aku gak suka kamu nyerang-nyerang”, kataku sesaat ketika mesin motornya sudah
hidup
“Iya,
Lia. Enggak”
“Janji?”
“Iya….”
“Oke.
Eh? Jaketmu di dalam”, kuingatkan dia untuk membawa jaketnya yang tadi kupake
sepulang dari rumahnya.
“Buat
kamu aja. Aku sih gampang. Kalau mau, tinggal minta lagi ke kamu”
“Ha
ha ha ha ih!”
“Gampang
bukan?”
“Sama
kamu semuanya selalu gampang he he he”, kataku.
“Agak
susah kalau jinakin monyet”
“He
he he”
“Bilang
ke dia, nanti aku kuliah di ITB tapi gak jadi monyet”, kata Dilan
“Ha
ha ha. Aaamiiin”.
Dilan
pulang. Aku kembali masuk ke ruang tamu. Di sana nampak Kang Adi sedang membaca
buku, dan kemudian meletakkannya di atas
meja,
sesaat setelah aku datang. Sebetulnya aku sangat berharap dia akan lekas
pulang, tapi gak tahu gimana caranya
“Di
minum jahenya, Kang”, kataku sambil duduk meskipun sangat malas. Kang Adi duduk
di sofa panjang. Aku duduk di kursi yang lain.
“Ini
novelnya”, kata Kang Adi. Aku meraih novel yang disodorkan oleh Kang Adi.
“Iya,
Kang. Makasih”. Kubuka-buka, dan itu adalah asal buka, seolah-olah aku tertarik
dengan isinya, padahal cuma untuk mengharagai pemberiannya
“Novelnya
bagus. Cerita klasik gitu. Latar belakangnya, sejarah Inggris. Bagus buat
pengetahuan. Bagus banget”, kata Kang Adi lagi
“Oh”
“Satu
aja dulu, nanti kalau suka, Kang Adi bawa lagi. Masih banyak di rumah”
“Ini
juga belum tentu kebaca sehari, Kang”. Kang Adi harusnya bisa membaca bahasa
tubuhku yang sudah merasa enggan untuk ngobrol
“Eh
jadi enggak mau main ke ITB? Gak jadi terus”, tanya Kang Adi
“Gak
tahu tuh. Pengen sih”
“Besok
gimana?’, tanya Kang Adi
“Besok
ya?”
“Iya?
Kebetulan Kang Adi ada acara di kampus. Sekalian anterlah. Yuk?’
“Belum
bisa mastiin. Besok telepon aja bisa apa enggaknya”, kataku
“Oke”
Setelah
bersih-bersih aku masuk ke kamar dan langsung kurebahkan diriku di kasur.
Kuingat kembali rentetan kejadian hari ini. Dipikir-pikir nyaris aku gak
percaya bahwa hari ini aku sudah bersikap keras ke Dilan. Menjadi Milea yang
ikut campur urusannya. Menjadi Milea yang mengatur-ngatur hidupnya. Menjadi
Milea yang sudah sangat merepotkan.
Dia
mungkin merasa terganggu. meskipun aku tidak melihat dia nampak merasa begitu.
Aku melihat dia santai-santai saja, seolah-olah baginya tidak ada sedikit pun
yang harus dipersoalkan dengan semua sikapku. Atau itulah dirinya, yang pandai
menutupi perasaan aslinya, agar aku merasa tidak bersalah dengan apa yang sudah
aku lakukan kepadanya. Kukira dia mengerti, bahwa semua itu kulakukan adalah
karena aku sayang padanya.
Ia
malah tetap bergurau dan bercanda seperti biasa, bahkan di dapur tadi ia
genggam tanganku. Hal yang tidak pernah kusangka. Melambungkan perasaanku dan
membuat deras aliran darah di sekujur tubuhku. Ah, Dilan, mengapa kau selalu
bisa membuatku tentram di saat sedang bersamamu, sehingga ketika kini kau jauh,
aku jadi risau karena rindu.
Suara
telepon berdering. Aku loncat dari kasurku, langsung berhambur keluar dari
kamarku untuk kuangkat telpon itu. Dari Dilan seperti yang sudah kuduga!
“Halo”,
katanya
“Hey”,
jawabku
“Halo?”
“Hey!
Apa?”, kataku bertanya dengan sedikit teriak yang ditahan
“Tolong
aku, Lia”, katanya
“Dilan!
Kenapa?”. Asli, aku cemas mendengar suaranya
“Aku
gak enak ke ibumu”
“Kenapa?’
“Tadi
dia nitip salam buat Bunda”
“Terus?”,
tanyaku
“Lupa
gak kebawa”
“Ih!!!
Besok ambil ke rumah!”
“Ha
ha ha ha”
“Sudah
sampai rumah?”, kutanya
“Aku
tanya dulu ya ke orang?”
“Udah!
Udah! Gak usah! Ha ha ha”, kataku
“Ha
ha ha. Monyet udah pulang?”, tanya Dilan
“Udah.
Dia ngajak aku ke ITB”
“Kapan?”,
tanya Dilan
“Besok
katanya”
“Pergi
seperti aku dengan Susi?”, tanya Dilan
“Maksudnya?”
Aku balik nanya
“Iya
seperti aku pergi dengan Susi lalu kau cemburu?”
“Kamu
cemburu aku pergi dengan Kang Adi?”, kutanya
“Ah,
cemburu itu hanya untuk orang yang enggak percaya diri”
“Jadi?”,
tanyaku
“Dan
sekarang aku sedang tidak percaya diri”
“Ha
ha ha ha ha. Tapi kayaknya enggak ikut deh”
“Aku
tidak melarangmu”, kata Dilan
“Tapi
kamu sedang tidak percaya diri he he he”
“Kayaknya
begitu”
“He
he he he Aku gak akan ikut”, kataku
“Oke.
Sekarang kamu tidur”
“Kamu
juga”, kataku
“Iya”
“Anhar
sudah pulang?”, kutanya
“Sudah.
Cuma sebentar. Nah, sekarang kamu tidur. Jangan begadang. Dan jangan rindu”
“Kenapa?”,
kutanya
“Berat.
Kau gak akan kuat. Biar aku saja”
“Ha
ha ha Biarin”
Senangnya
mendapat telepon dari Dilan. Aku bermaksud kembali ke kamar dengan hati yang
sangat riang, ketika tiba-tiba telepon berdering lagi. Langsung kuangkat, dan
itu masih dari Dilan
“Apa?”,
kutanya
“Lupa,
tadi. Tolong bilang ke ibumu”
“Bilang
apa?”
“Aku
mencintai anak sulungnya”
“Ha
ha ha ha Tolong bilangin juga ke Bunda”
“Ha
ha ha apa?”
“Terimakasih
sudah melahirkan orang yang aku cintai”
“Siapa?”,
Dilan nanya
“Ada
aja”
“Siapa?”
“Kamu!
Ih!”, kataku
“Ha
ha ha ha”
Dengan
senyum dan dengan perasaan yang lain dari biasanya, aku kembali ke kamar.
Kurebahkan lagi diriku di kasur dan berusaha untuk tidur, tapi agak susah
karena pikiranku masih terus dipenuhi oleh Dilan dan oleh aneka macam cerita
yang sudah aku lakukan bersamanya hari tadi.
Kuambil
jaket Dilan yang ada di sandaran kursi itu, lalu kupakai untuk tidur
bersamanya. “Dilan. Dilanku, selamat tidur juga”
70
Hari
minggu, mungkin masih jam tujuh waktu itu, ketika aku nganter ibu ke pasar yang
lokasinya tidak jauh dari rumahku. Tadinya aku gak akan ikut, tapi daripada
kesel di rumah ada bagusnya sekalian olahraga. Kami berjalan berdua menembus
cuaca Bandung yang dingin. Menelusuri trotoar jalan yang basah oleh embun yang
turun semalam, di bawah naungan pohon-pohon yang daunnya menyimpan sisa kabut.
Kira-kira
pukul sembilan, kami sudah pulang dari pasar, mendapati ayah yang sudah bangun
dan sedang duduk di ruang tamu membersihkan senapan angin ditemani oleh Airin.
Ibu ngasih Airin makanan yang tadi dia pesan.
“Pulang
jama berapa malam, Yah?”, tanyaku
“Jam….12″,
jawabnya
“Malam
Dilan ke rumah, Yah he he he”
“Oh
ya? Ngasih yang aneh-aneh lagi?”, tanya Ayah senyum
“Enggak
he he he”, jawabku sambil pergi ke dapur nyusul ibu, untuk membantu Ibu dan
si Bibi membuat masakan.
Tak
lama dari itu, aku mendengar ayah manggil. Rupanya ada tamu, dan dia adalah
kang Adi
“Oh,
Kang”, kataku
“Ini
Om, mau ke ITB sama Lia”, kata Kang Adi ke Ayah. Kang Adi sudah
duduk di bangku dekat Ayah.
“Ada
acara?”, tanya Ayah
“Acara
kampus, Om. Ngajak Lia sekalian memperkenalkan dunia kampus ke Lia”, jawab Kang
Adi
“Tapi,
Kang. Kayaknya Lia gak bisa”, kataku sambil berdiri dengan tangan memegang
sandaran sofa,”Kenapa tadi enggak nelepon dulu”, tanyaku kemudian
“Nelepon!
Tadi kamunya ke pasar”, kata Ayah
“Tapi
gimana yaaa? kayaknya Lia gak bisa”, kataku
“Kamu
ini. Orang sudah jauh-jauh datang”,
“Paling
sebentar aja”, kata Kang Adi
“Duh,
gimana ya?”, tanyaku bingung. Asli bingung. karena aku sudah terlanjur janji ke
Dilan untuk gak akan ikut ajakan Kang Adi.
“Gak
lama kok”. kata Kang Adi
“Lia
ada janji sama temen”, kataku
“Aah,
paling sebentar”, kata Ayah
“Duh!
Enggak kayaknya, Kang”, kataku
“Orang
udah jauh-jauh datang!”, kata Ayah
“Kan
Lia belum bilang bisa”, kataku
“Tadi
Kang Adi nelepon, Lia nya lagi ke pasar”, kata Kang Adi
“Iya.
Udah sebentar aja”, kata Ayah
“Ya
udah. Jangan lama, ya, Kang”
“Iya”
Setelah
mandi dan ganti pakaian, aku pergi dengan Kang Adi naik mobil Toyota Corolla
DX-nya. Aku harap kamu-kamu yang pro Dilan, bisa memahami maksudku, mengapa
akhirnya aku ikut juga. Ya, kuakui aku sudah bohong ke Dilan, tapi bukan begitu
niatku.
Ini
sangat susah kujelaskan, bagaimana aku merasa gak enak sudah selalu memberi
harapan bahwa suatu saat aku akan ikut ajakan Kang Adi untuk pergi ke ITB. Itu
dari semenjak aku belum begitu dekat dengan Dilan. Ya, aku bisa bilang bahwa
ayah tidak mengerti, ketika dia bilang:”Kamu ini. Orang sudah jauh-jauh
datang”, tapi ayah juga bisa bilang bahwa aku tidak mengerti. Dan aku tak ingin
berdebat dengannya, tapi pasti, kalau kutolak ajakan Kang Adi, Ayah akan
menanggung perasaan gak enak juga.
Dengan
hari itu aku ikut, setidaknya aku berharap merasa sudah seperti lunaslah
hutangku, dan itu akan menjadi hari terakhir aku pergi berdua bersama Kang Adi.
Tak akan pernah lagi. Termasuk tak akan pernah lagi memberinya harapan bahwa
aku akan ikut seandainya dia mengajakku pergi lagi.
Okelah,
hari ini aku pergi. Aku bisa menganggapnya sebagai jalan-jalan biasa. Bukan
jalan-jalan khusus sebagai orang yang sedang pacaran. Aku bisa menganggapnya
seolah-olah aku sedang naik angkot dan kebetulan cuma aku penumpangnya, aku
jadi berdua dengan sopir, tetapi antara aku dengan dia tidak ada hubungan
khusus sama sekali.
Atau
bisa kuanggap seolah-olah aku sedang naik ojek. Memang pergi berdua, tetapi
tidak pacaran. Bahwa kalau kemudian tukang ojeknya mau sama aku, aku kan punya
hak untuk nolak. Kalau dia macam-macam, Ayah sudah akan menembak kepalanya.
Lagi
pula ini kan cuma sebentar. Toh hal yang paling penting dari itu, aku cuma
ikut, tidak dalam rangka pacaran dengan Kang Adi, meskipun tetap aku berharap
bahwa Dilan gak akan tahu bahwa aku pergi dengan Kang Adi.
Toh
hal yang paling penting dari itu, aku cuma ikut, aku tidak ada sama sekali
punya perasaan suka ke Kang Adi, meskipun tetap aku berharap bahwa Dilan tak
akan memergoki aku sedang berdua dengan kang Adi. Aku takut dia cemburu dan
marah karena sudah dianggap berbohong kepadanya.
Di
perjalanan, Kang adi banyak bicara soal ini itu, dari mulai soal outlet
bapaknya di BIP, lagu Air Supply kesayangannya, dan bisnis dia bersama dua
kawannya mahasiswa Senirupa ITB.
“Kita
ke sana ya. Bentar. Lihat-lihat aja”, katanya. Tidak kujawab. Kang Adi
membelokkan mobilnya ke arah jalan Kebon Bibit, itu di daerah Taman Sari,
Bandung. Dulu belum ada Mall, jadi masih terlihat sangat asri.
“Ini
tempat Kang Adi bisnis kecil-kecilan sama teman senirupa”
“Oh”
“Kecil-kecilan,
tapi lumayan”. Katanya lagi. Kemudian mobil berhenti di depan sebuah Paviliun.
“Hayu!”,
Kata Kang Adi mengajak aku turun
Aku
dan kang Adi masuk. Itu adalah sebuah Paviliun ukuran kira-kira 10 kali 6
meter. Kang Adi dan kawan-kawannya menyewa itu untuk dijadikan sebagai sebuah
toko kecil yang menjual aneka macam handycraft.
Di
dalam toko itu, sudah ada dua orang yang sedang ngobrol sambil ngopi. Orang itu
adalah kawan kang Adi, mahasiswa senirupa ITB, namanya kang Idam (kini sudah
Almarhum) dan Kang Soni. Aku berkenalan dengan mereka.
“Selain
toko, ini juga studio buat berkarya. Lia boleh ikut-ikut bantulah kalau mau”,
kata Kang Adi sambil membawaku untuk melihat barang-barang handycraft itu.
“Nah
ini bagus, buat hadiah ulangtahun. Bagus kan? Orang yang dikasihnya pasti suka.
Unik, lain dari yang lain”. Kata Kang Adi memperlihatkan barang itu.
Kupegang
barang itu, serta merta aku jadi ingat TTS yang dikasih oleh Dilan sebagai
hadiah ulangtahun darinya untukku. Bukan handycraft yang indah dan unik atau
mahal, cuma buku TTS, tapi aku senang karena merasa istimewa oleh betapa ia
jadi harus begadang demi mengisi jawabannya agar aku tidak pusing.
“Bagus”,
jawabku sekedarnya
“Kalau
kamu mau, ambil aja. Berapa yang ini, Dam?”, tanya Kang Adi ke kawannya
“Itu?
30 ribu”, jawab Kang Idam dari agak jauh
“Gak
usah, Kang”, kataku
“Ambil
aja”, kata Kang Adi ke aku,”Dam, aku ambil ini ya”, kata Kang Adi lagi ke Kang
Idam
“Yoi”,
jawab kang idam sambil masih ngobrol sama temannya
“Nah
kalau ini dus buat bungkus coklat. Beli coklatnya sih di warung, terus masukin
ke sini. Kreatif kan? Biasanya buat Valentinan gitu lah”, kata Kang Adi. Kalau
Kang Adi pernah denger bahwa Dilan suka ngasih aku cokelat, dia pikir bahwa itu
hal biasa. Tidak, kang. Bukan cokelatnya, bukan bungkusnya, tapi bagaimana
caranya dia memberi ke aku, itu yang membuatnya menjadi luar biasa.
“Terserah
kamu aja, mau yang mana. Atau ini!?’, kata Kang Adi menunjukkan sebuah tempat
pinsil
“Nanti
aja, Kang”
“Kapan
lagi. Udah ambil aja”
“Ya
udah ini aja”, katakaku ngambil kotak tempat pinsil itu. Kang Adi nyamperin
temannya
“Sini,
Lia. Ngobrol dulu”, dia manggil. Aku nyamperin ke sana.
“Kalau
mau, kamu bisa bantu-bantu di sini. Belajar bisnis. Bener gak, Son?”, kata Kang
Adi ke Kang Soni
“Iya”,
kata Kang Soni (Uci Soni)
“Iya,
kang. Makasih”, kataku kepadanya
“Ini
namanya bisnis kreatif. Lumayan daripada minta ke orangtua”
Kang
Adi lalu ngobrol dengan mereka, aku cuma bisa jadi pendengar yang ingin lekas
pulang. Obrolannya soal bisnis dan hal lain yang terdengar seperti keren,
seolah-olah itu sengaja agar aku bisa mendengar dan jadi kagum kepadanya.
Setidaknya itulah tebakanku.
Selesai
dari sana. Aku dan Kang Adi langsung berangkat lagi untuk pergi ke ITB
“Udah
makan belum?”, tanya Kang Adi
“Udah,
Kang”, kataku, “Tadi makan bubur sama ibu, di pasar”.
“Oh.
kalau mau makan, nanti aja di kantin kampus”, katanya
“Iya”.
Jawabku.
Setibanya
di ITB, kami langsung masuk ke gedung fakultasnya Kang Adi. Di sana ada banyak
mahasiswa yang sedang berkumpul di lapangan, pada asik nonton musik akustik.
Kata Kang Adi, sebagian mereka adalah mahasiswa baru, mereka ditugasi untuk
membuat kampus jadi seru. Ajang kreativitas, katanya. Tapi aku ingin pulang.
“Eh,
kenalin, ini Lia”, kata Kang Adi ke temannya
“Oh,
Binsar”, kata Binsar memperkenalkan dirinya
“Lia”
“Band
mana ini?”, kata Kang Adi ke Kang Binsar yang duduk di samping kanannya
“Mahasiswa
baru”
“Oh.
Lumayan”
Untuk
mereka, itu mungkin acara yang baik, tapi untuk aku, itu sangat membosankan.
Membuat aku ingin pulang. Syukurlah tak lama kemudian Kang Adi menyadari bahwa
aku sudah mulai merasa tidak betah di situ. Lalu dia mengajak aku untuk pulang.
Di
jalan menuju pulang, yaitu di jalan Telaga Bodas, Kang Adi bilang:
“Kang
Adi senang bisa jalan-jalan sama Lia he he he”
“Jam
berapa sekarang?”, tanyaku
“Jam…..satu.
kenapa? Ada acara?”
“Enggak.
Janji mau nelepon”, jawabku
“Kok
nelepon janjian?”
“Iya”
“Seneng
gak tadi ke ITB?”, tanya Kang Adi
“Yaa…Seneng.
Makasih, Kang”
“Sama-sama.
Kalau Kang Adi sih senengnya karena bisa jalan-jalan sama Lia he he he”
“Naik
mobil, Kang”
“Iya.
Maksudnya seneng bisa main sama Lia”
“Kang,
bisa mampir dulu ke warung itu?”
“Oh
boleh. Mau beli apa?’, tanya Kang Adi
“Pesenan
Dilan”. Dilan memesannya waktu dia nelepon tadi malam. Entah untuk apa, sudah
kutanya tapi dia bilang nanti aja dijelasin.
“Oh”.
Lalu mobil berhenti di pinggir jalan.
Aku turun dan segera pergi ke warung untuk membeli materai. Setelah itu masuk
lagi ke mobil
“Beli
apa?”, Kang Adi nanya
“Materai”
“Buat
apa?”,
“Gak
tau. Dilan pesen”, jawabku
“Kok
nyuruh-nyuruh perempuan sih?”
“Gak
apa-apa, aku juga suka nyuruh dia”, kataku
“Ya
tapi kalau sudah nyuruh perempuan, janganlah, hargailah”
“Gak
apa-apa. Lia seneng-seneng aja kok, Kang”
“Hati-hati”
“Kenapa?”,
kutanya sambil kupandang dia
“Dia
anak gengmotor ya?”
“Tahunya?”
“Kan
semalam dia pake jaketnya”
“Iya.
Lia juga gak suka gengmotor, Kang. Kalau Lia suka ke Dilan atau ke siapa pun,
bukan karena dia gengmotor. Lia suka karena dia baik ke Lia. Rame”
“Yaaa,
kan orang bisa bersandiwara, Lia. Namanya pendekatan ya pasti gitu lah”
“Kang
Adi baik ke Lia, ngasih novel, ngasih sweater, sandiwara bukan?”
“Ya
bukan lah. Beda. Kang Adi ngasih ke Lia semuanya tulus! “
“Dilan
juga begitu, Kang, tapi tidak ngomong”. Kataku. Kang Adi lalu diam. Aku berani
ngomong gitu ke Kang Adi, karena aku juga merasa dia sudah berani ke aku
menjelek-jelekan orang yang Kang Adi sendiri padahal sudah tahu bahwa Dilan
adalah orang dekatku.
Tak
lama kemudian kami sampai di rumah. Kang Adi langsung permisi pamit pulang. Si
Bibi bilang tadi ada telepon dari Dilan. Oh!
“Terus
apa kata Bibi?”
“Dibilang
pergi sama Kang Adi”, kata si Bibi.
Oh
Tuhan! Celaka! Tadi lupa tidak pesan ke si Bibi, untuk jangan dibilang pergi
dengan kang Adi kalau nanti Dilan nanya. Ini jelas bukan salah si Bibi. Serta
merta sebagian dari diriku langsung lemas dan juga dilanda perasaan gelisah
yang sangat hebat. Pikiran jadi bingung tak karuan, gak tahu harus gimana dan
bilang apa ke Dilan agar dia mengerti.
Tak
ada yang bisa kulakukan, aku langsung telepon Dilan, tapi yang ngangkat malah
si Bunda
“Ada
Dilan, Bunda?”
“Barusan
dia pergi”
“Kemana,
Bunda?”
“Gak
bilang tuh. Kenapa? Rindu ya?”
“He
he he iya. Pergi kemana ya Bunda? Lia ada perlu”
“Ya,
nanti kalau dia pulang Bunda bilang suruh nelepon Lia. Oke?’
“Iya,
Bunda! Atau bilang aja nanti Lia nelepon lagi. Ya, Bunda, ya?”
“Oke,
Cantikku!”
Selesai
nelepon aku pergi ke kamar dengan perasaan gak karuan. Kurebahkan diriku di
kasur. Kebayang bagaimana tadi Dilan waktu mendengar bahwa aku pergi dengan
Kang Adi. Dia pasti kecewa karena merasa sudah kubohongi. Dan Dilan, pasti akan
sakit hati, karena siapa pun dirinya, hatinya tidak terbuat dari marmer.
Aku
jadi tambah gelisah, karena teringat lagi omongan Dilan di telepon beberapa
waktu yang lalu, waktu dia kutanya:
“Apa
yang Dilan gak suka dari perempuan?”
“Kalau
dia berbohong”
“Kalau
bohongnya kepaksa?”
“Apa
susahnya dia bilang?”
“Kalau
mau bilang tapi susah?”
“Berarti
dia takut, karena pacarnya pemarah”
“He
he he”
Sekarang,
semuanya sudah terjadi, tak ada lagi yang perlu kusesali. Aku tinggal pasrah
pada konsekuensi yang harus kuterima. Meski aku tetap harus ngomong, mungkin
nanti malam kutelepon, memberinya penjelasan mengapa akhirnya aku ikut juga ke
ITB. Habis itu, terserah Dilan mau gimana kepadaku. Mudah-mudahan dia maklum.
Kulihat
dari jendela, di luar langit mendung, untuk aku yang sendiri di kamar dan
bimbang, rasanya ingin nangis dan berharap langit lebih baik runtuh saja, agar
bisa menguburku, bersama perasaan bersalahku, maka selesailah semuanya, tak
lagi ada yang harus kurisaukan.
71
Meski
aku sekarang bisa tersenyum mengenangnya, tetapi yang kurasakan waktu itu
betul-betul sudah membuat diriku berdebar, membayangkan bagaimana Dilan kecewa
setelah tahu aku sudah berbohong.kepadanya. Membayangkan Dilan akan langsung
menjauh untuk kuterima sebagai hukuman. Aku merasa bersalah dan sekaligus juga
malu.
Kau
pasti bisa merasakan bagaimana diriku waktu itu. Ketika kau bisa menahannya
untuk tidak sampai menangis, itu karena kamu kuat, tetapi aku tidak.Sebagian
diriku rasanya lunglai oleh tekanan rasa bersalah dan sekaligus juga malu. Malu
pada Dilan yang sudah begitu baik kepadaku. Ketika aku tak sanggup membalasnya,
aku justru malah membuatnya kecewa.
Betul-betul
tak pernah kusangka bahwa hari macam itu akan bisa kualami. Aku kecewa pada
diriku sendiri, seperti sedang mendapatkan harinya, di mana apa-apa yang sudah
kubangun selama itu sedang mengalami keruntuhan oleh akibat perbuatanku
sendiri. Ya runtuh, sebetul-betulnya runtuh, menimbunku dalam keadaan masih
hidup untuk bisa berkata: “Dilan, Dilanku, aku tahu wajar kau marah, tetapi
jangan, biar bisa kau maafkan”
Ah!
Mengapa harus ada hari itu, padahal di hari sebelumnya, aku dan Dilan boleh
dibilang sedang mesra-mesranya. Bersikap layaknya dua orang yang sedang
berpacaran. Jalan-jalan dan dia memegang tanganku. Bahkan aku bisa main ke
rumahnya, bagai sebuah hadiah yang paling istimewa berupa sebuah kesempatan
yang sangat kuinginkan
Ketemu
Disa, Bang Banar, Bang Landin, Bi Diah dan si Bunda. Bunda yang ajaib, yang
bisa langsung membuat aku merasa bahwa dia adalah juga ibuku. Aku diajak ke
kamarnya, jangan sampai Dilan tahu katanya, dia menunjukkan kumpulan puisi
Dilan kepadaku.
“Mana,
Bunda?”, kataku tak sabar, sambil mulai duduk di kasur di samping Bunda
“Ini.
Ini! Judulnya Milea he he he”, kata Bunda dengan volume suaranya bagai berbisik
“Waaah”
“Milea
1″
Bolehkah
aku punya pendapat?
Ini
tentang dia yang ada di bumi
Ketika
Tuhan menciptakan dirinya
Kukira
Dia ada maksud mau pamer
Dilan,
Bandung 1990
“Ha
ha ha ha ha bagus, Bunda!”, kataku
“Ssst!
Ini buat kamu juga”, kata Bunda menunjuk puisi yang lainnya
“Milea
2″
Katakan
sekarang
Kalau
kue kau anggap apa dirimu?
Roti
cokelat? Roti Keju?
Martabak?
Kroket? Bakwan?
Ayolah!
Aku
ingin memesannya
untuk
malam ini
Aku
mau kamu
Dilan,
Bandung 1990
“Ha
ha ha ha ha”, aku ketawa
“Ha
ha ha ha ha”. Bunda juga ketawa. Demi Tuhan! Aku seperti dilambungkan ke
angkasa, luas dan penuh warna.
“Bunda,
aku boleh mencatatnya?”
“Oh
iya! Boleh. Jangan bilang Dilan kamu sudah tau puisinya”
“Iya,
Bunda”
“Bunda
yang ambil atau kamu? Pulpen sama kertasnya itu di meja”
“Biar
Lia aja”. Aku beranjak dari kasur untuk ngambil kertas dan pulpen di atas meja
kerja Bunda dan lalu menyalin puisi Dilan yang dia bikin untukku. Semuanya ada
empat belas. Puisi lainnya tidak kucatat, karena banyak, terkumpul dalam satu
buah buku tulis.
“Bunda,
Lia senang. Suka”
“Bilanglah
ke Dilan”
“Katanya
jangan bilang?”
“Oh,
lupa he he he”
“Ini
buat Disa ya?”, tanyaku untuk sebuah puisi:
“Jangan
Jauh”
Dik,
jangan pergi jauh-jauh
Kan
ada darahku di tubuhmu
Dilan,
Bandung 1990
“Iya”
“Merinding”
“Pas
Bunda bacain ke Disa. Disa menjawab “Iya” ha ha ha”
“Ha
ha ha ha!”
“Ha
ha ha ha!”
“Bunda,
Dilan pernah punya pacar? He he he”, tanyaku
“Seperti
ke kamu?”, Bunda nanya balik. Nampaknya Bunda selalu beranggapan aku sudah
pacaran dengan Dilan.
“Ng..Iya”
“Tidak
seperti ke kamu”
“Kalau
Bunda jadi Lia gimana rasanya kalau dapat puisi ini?”
“Bunda
akaan…..terimakasih ke ibunya, karena sudah membocorkan puisi-puisinya”
“Ha
ha ha ha. Makasih, Bunda”
“Ha
ha ha ha”
Kamu
bisa bayangkan setelah itu, setelah semuanya terbangun dengan indah, lalu aku
bertemu hari minggu, hari di mana Kang Adi datang ke rumahku untuk aku merasa
terpojok sehingga sulit bisa menolak ajakannya sebagaimana yang sudah
kujelaskan, lalu aku pergi dan kemudian semuanya terjadi: bangunan itu, yang
sudah begitu indah, bagai runtuh tiba-tiba.
Hari
Seninnya, aku terbangun sebelum subuh, terduduk di atas kasur, dan sendirian.
Rasanya sangat sunyi, rasanya sangat hampa, rasanya seperti orang yang baru kehilangan
sesuatu dan paling berharga dalam hidupnya. Suara sunyi, di luar dan di dalam
kamarku juga. Kupeluk diriku untuk bisa memeluk jaket Dilan yang sedang
kupakai. Aku merasa malu sama Dilan sudah membuatnya kecewa, bahkan tadi malam,
sebelum tidur, aku tidak berani mengucapkan:”Selamat tidur juga, Dilan”
Pokoknya,
aku harus ketemu Dilan di sekolah. Meski bingung dengan kalimat apa harus
kumulai. Serta merta, dalam pikiran yang kalut, aku mencoba menyusun kata-kata,
berharap bisa bicara dengan lancar pada saat nanti kujelaskan semuanya. Kukira
tidak gampang, mengingat posisiku adalah sebagai orang yang bersalah yang harus
berhadapan dengan orang yang makin sini semakin wibawa di mataku.
72
Di
sekolah, hari itu, kalau kamu bertemu denganku, mungkin akan melhatku nampak
murung. Memang iya, dan badan ini rasanya juga lesu. Perasaan bimbang
diubek-ubek persoalan yang tengah kuhadapi, jadi kemelut yang melanda pikiran
sepenuhnya.
Diam-diam
kucari Dilan, tapi sampai jam istirahat, tak juga kunjung ketemu. Aku sempat
menduga hari itu Dilan mungkin tidak masuk, atau dia sekolah, tapi sembunyi,
karena tidak mau bertemu denganku yang sudah membuatnya kecewa.
Kemana
Dilan? Bisa saja kutanya Wati, tapi mana mungkin dia tau. Dia tidak tinggal
satu rumah dengan Dilan, juga tidak sekelas. Aku bisa cari sendiri dengan pergi
ke warung Bi Eem, berharap jumpa dengan dia. Tapi yang kudapati di sana cuma
ada Piyan, Anhar dan: Susi! Susi bersama dua teman perempuannya, kalau tidak
salah namanya Sari dan Iis.
Melihat
ada Susi, tadinya aku mau langsung balik lagi, malas rasanya kalau harus gabung
dengan orang macam dia, kau mengertilah pasti, terlebih dengan kondisi aku yang
sedang sensitif oleh rasa kesal dibebani persoalan dan menstruasi.
Karena
Piyan memanggilku dan juga didorong oleh rasa gengsiku yang tak mau jadi
Pecundang seolah takut sama Susi, akhirnya aku masuk. Aku tidak langsung nanya
Dilan, gak enak rasanya ada Susi.
“Tumben.
Ada apa?”, tanya Piyan sambil bergeser dari duduknya untuk memberi aku tempat
“Pengen
mampir aja”, jawabku sambil mulai duduk
“Nyari
Dilan!”, kata Anhar yang duduk dekat Susi, dia bicara seraya makan kue dan
tidak memandangku. Nada suaranya juga gak enak didengar, membangkitkan
imajinasi untuk ingin merobek mulutnya
“Sampai
dicari-cari gitu”, kata Susi nimbrung, kutangkap matanya sebentar mendelik ke
arahku sambil menghembuskan asap rokoknya. Kukira dia tahu aku sedang
memandangnya.
“Kalau
aku cari Dilan emang kenapa?”, kutanya Anhar sambil kupandang dirinya. Jarak
antara aku dengan Anhar hanya dua meter. Mereka duduk di kursi yang lain.
“Jangan
terlalu dikekanglah!” kata Anhar sambil menghisap rokoknya.
“Apa
maksudmu?”, tanyaku.
“Ga
ada maksud apa-apa”, jawab Anhar sambil berdiri dan lalu bergerak ngambil kue
di meja itu. Kupandang dia dengan perasaan yang marah tetapi bisa kutahan.
“Udah.
Makan dulu, Lia”, kata Piyan, lebih bermaksud untuk mendinginkan suasana
“Iya,
Piyan. Gak ke Wati?”, Tanyaku. Maksudku kenapa Piyan tidak gabung dengan Wati
di kantin sekolah
“Enggak.
Nanti pulang bareng”
“Emangnya
harus bareng terus?”, Susi bicara seolah bukan ke aku. Tidak kutimpali. Aku
cuma diam sambil bingung harus ngapain. Kuambil kue dan langsung kumakan
“Bareng
terus laaaah sampai memble he he”, kata Anhar sambil duduk makan kue
“Eh.
Bentar! Maumu apa sih?”, mendadak aku berdiri sambil berkacak pinggang
menghadap ke arah Anhar, tetapi juga sekaligus ke Susi cs.
“Apa?”,
kata Anhar seolah tidak mengerti apa-apa
“Anjrit,
wanian kieu?”. Sari mulai bicara dalam bahasa Sunda, artinya: Anjrit, sok
berani gini?
“Aku
bicara ke Anhar!”, kataku ke si Sari dengan nada yang sedikit agak tinggi.
“Udah.
Udah. Har”, kata Piyan sambil berusaha menyuruh aku duduk, tapi aku tetap
berdiri.
“Jawab,
Har!”, kata Susi
“Naon?
Ka aing?!!!“, kata Anhar mendongakkan kepalanya kepadaku. (Apa? Ke saya?)
“Iya!”,
jawabku dengan nada yang tinggi
“Aku
cuma nasehati kamu!”, jawab Anhar memandangku
“Har,
udah!’ Kata Piyan sambil berdiri. “Lia. Kita keluar aja”, sambung Piyan
kepadaku.
“Bentar”,
kataku menolak ajakan Piyan
“Udah.
Udah”, kata Piyan meraih bahuku untuk sedikit memaksa aku pergi keluar
“Bawa
lah ka luar. Trouble maker!”, Kata Anhar
“Heu’euh!”,
Susi menimpali. Sesaat setelah itu, aku maju dan langsung merenggut kerah baju
si Anhar. Anhar berdiri.
“Sekarang
kau mau apa?!”, kataku dengan mata melotot. Piyan bergerak memposisikan dirinya
berada di antara aku dan Anhar, berusaha melerai. Susi dan kawan-kawannya sudah
mulai berdiri. Anhar berusaha menyingkirkan tanganku yang memegang kerah
bajunya. Tetapi cengkramanku sungguh kuat. Kulihat mata Anhar mulai marah, dia
mendorongku membuat aku nyaris jatuh untung bisa kutahan.
“Neng,
udah. Jangan berantem”, kata Bi Eem berdiri dari memasak bala-bala. Sesaat
kemudian tiba-tiba Anhar menampar pipiku. Sangat keras dan sakit rasanya. Aku
berusaha membalas tetapi mengenai bahu Piyan. Piyan mulai kewalahan untuk bisa
berusaha melerai walaupun akhirnya bisa juga dia pisah. Aku langsung pergi
keluar disusul oleh Piyan. Kudengar Susi dan kawan-kawannya bicara dengan
kata-kata yang tidak enak kudengar.
“Piyan,
mana Dilan?”, kataku menangis sambil berjalan dengan Piyan menuju sekolah
“Gak
sekolah kayaknya”, jawab Piyan. Aku diam
“Ada
apa Lia?”, tanya Piyan
“Ga
apa-apa, Piyan”
Setelah
masuk ke sekolah, kami ketemu Wati yang nanya kenapa aku nangis, kukira orang
lain yang kebetulan ada di sekitar diriku juga pada lihat aku nangis. Ah,
seandainya bisa kutahan saat itu.
“Gak
apa-apa”, jawab Piyan. Aku, Piyan dan Wati masuk ke kelas. Orang-orang yang
sudah ada di kelas pada bingung ada apakah gerangan, Rani, Revi dan beberapa
yang lainnya mulai berekerumun, mengitariku yang sudah duduk dengan Wati. Piyan
tetap berdiri. Aku masih nangis sambil menutup mukaku dengan kedua telapak
tanganku.
“Kenapa?”
tanya Wati mendongak ke arah Piyan, mungkin dia kuatir aku nangis karena Piyan
“Berantem
sama Anhar”, jawab Piyan. Kayaknya kepaksa harus Piyan katakan biar Wati tidak
menuduh dirinya.
“Hah?
Kok? Gara-gara apa?”, tanya Wati ke Piyan.
“Gak
tau. Tiba-tiba berantem”
“Kok
gak tau?”, Wati nanya lagi. Tidak lama kemudian datang Anhar. Dia masuk ke
kelas. Kuduga dia mau meminta maaf. Sebagian orang yang mengelilingiku bergeser
untuk memberi jalan ke Anhar agar bisa menemuiku. Wati berdiri
“Kamu
apain?”, tanya Wati ke Anhar.
“Ga
diapa-apain”, jawab Anhar
“Bohong!”,
kata Wati
“Lia,
maaf”. Kata Anhar. Tapi tidak kujawab.
“Tadi
gak sengaja. Gak ada maksud menamparmu”, kata Anhar lagi
“Hah?
Kamu tampar?!” tanya Wati
“Gak
sengaja, Wat”, jawab Anhar
“Bilangin
siah ke si Dilan”, kata Wati. (Siah: luh)
“Gak
sengaja. Beneran. Tadi panik”
“Ah
bilangin ku aing“, kata Wati. (Ku Aing = Oleh aku)
“Beneran
gak sengaja, Wat. Lia, maaf ya”
“Udah
sana!!!!”, kata Wati mengusir Anhar. Piyan sih diam terus.
“Lia,
Maaf”, kata Anhar lagi
“Udah
sana! Sana! Sana!” kata Wati mulai bergerak berusaha mengusir Anhar. Anhar
akhirnya pergi.
Mengenangnya
hari ini, mungkin aku bisa senyum, tetapi itulah harinya, hariku, hari yang
penuh dengan aneka macam masalah. Ketika pelajaran dimulai, semuanya menjadi normal
kembali, tetapi pikiran dan juga perasaanku tentu saja belum.
————————————————————————————————–
BERSAMBUNG
(Sampai sini sudah 75 %)
“DIA
ADALAH DILANKU” (karya Pidi Baiq)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar